Rekonsiliasi Budaya Indonesia-Belanda Terkait Pergeseran Aksara Jawa ke Latin
REKAYOREK.ID Ada pergeseran budaya seiring dengan hadirnya bangsa Eropa ke Nusantara pada abad 16. Salah satunya adalah pada literasi bahasa.
Sebelum bangsa Eropa datang, khususnya di pulau Jawa, masyarakat Jawa dalam berliterasi dan berkomunikasi menggunakan bahasa lokal Jawa, khususnya setelah ada perubahan internal dari Kawi ke Jawa (Majapahit ke Mataram). Sementara simbol simbol bahasanya adalah aksara Jawa (hanacaraka) untuk tulis. Bukan aksara latin.
Menurut Prof. George Quinn, guru besar bahasa dan sastra Jawa di Canberra, Australia bahwa Aksara Jawa, Hanacaraka, adalah simbol dari Bahasa Jawa, yang bersumber dari Pallawa.
“Dalam abad ke 20, aksara Jawa (hanacaraka) lama-kelamaan tersingkirkan oleh aksara Latin-Romawi”, jelas George Quinn
Namun pangram Hanacaraka sendiri, sebenarnya sudah muncul pada era berkembangnya Islam di Jawa, tepatnya di Mataram. Seiring dengan masuknya bangsa Belanda di lingkungan Keraton Mataram, disanalah lambat laun aksara latin berpengaruh di wilayah Mataram.
Pergeseran pun terjadi dan aksara Latin semakin populer. Dalam perkembangannya hingga sekarang, pemakaian Aksara Jawa jauh di bawah aksara Latin. Aksara Latin sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat luas. Aksara Jawa menjadi mati. Mati suri. Aksara Jawa tidak menjadi alat komunikasi tertulis, khususnya di luar keraton.
Rekonsiliasi Budaya
Tokoh Penggerak Budaya Surabaya, A. Hermas Thony, yang dalam keseharian menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Surabaya, menerima kunjungan dari seorang peneliti Belanda, Miron, di ruang kerjanya pada Jumat, 3 November 2023.
Miron datang ke Surabaya dalam rangka riset dan sekaligus membuat film dokumenter tentang sejarah 10 November 1945 dalam upayanya mencari perimbangan dengan informasi yang ada di negerinya.
Dia berharap dengan temuannya di Surabaya, ia dapat menyuguhkan informasi yang berimbang di negerinya. Ia ingin mengumpulkan data apa yang diketahui oleh masyarakat Surabaya, utamanya mereka keturunan para tokoh pejuang Surabaya.
“Saya ingin sejarah 10 November 1945 tidak saja dipahami dari sisi Belanda saja oleh masyarakat Belanda. Tapi mereka juga perlu tau dari sisi Surabaya”, jelas Miron di ruang kerja AH Thony.
Di sana, Miron dan Thony juga berdiskusi tentang awal mula bangsa Eropa masuk Nusantara dan pengaruh budaya yang terjadi, khususnya pada bahasa dan simbol simbol bahasa dalam penulisannya. Kala itu Bahasa Jawa ketika dituliskan menggunakan Aksara Jawa.
Karena pengaruh bangsa Eropa itu, maka Aksara Latin lambat laun menggeser Bahasa dan Aksara Jawa. Secara kultur, hal ini disadari oleh Miron yang juga sebagai produser film di negerinya.
Karenanya obrolan santai yang awalnya tentang sejarah 10 November itu bergeser ke tema budaya, khususnya mengenai upaya Pemerintah Kota Surabaya yang sedang membumikan Aksara Jawa. Miron pun ingin tau seperti apa bentuk Aksara Jawa.
Setelah ditunjukkan seperti apa Aksara Jawa yang berbeda dari Aksara Latin, Ia terkagum. Bentuknya indah.
Karena pergeseran aksara dari Aksara Jawa ke Aksara Latin pada masa lalu akibat dari hadirnya bangsa Eropa di Nusantara, khususnya Jawa, maka secara informal di kantor DPRD Kota Surabaya dilakukan simbolisasi rekonsiliasi budaya dengan penandatanganan piagam Rekonsiliasi Budaya antara Indonesia Belanda yang ditulis dalam Aksara Jawa.
Penandatanganan ini dilakukan oleh A. Hermas Thony dan Nanang Purwono mewakili Budaya Indonesia. Sedangkan Miron dan Boy Marlisa mewakili Budaya Belanda. Penandatanganan ini adalah Community to Community (C to C) treaty.
Dalam aksinya kedua belah pihak akan melakukan kegiatan tukar menukar informasi budaya dalam bentuk karya karya seni budaya.
Selama di Surabaya, Miron mendokumentasikan serangkaian kegiatan warga Surabaya dalam memperingati Hari Pahlawan 10 November 2023.@tim