Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Suksesi, Turbulensi, dan Hukum Besi

Minoritas yang terorganisir, akan selalu mendominasi mayoritas yang tidak terorganisir

~ Pareto dan Mosca

Tahun 1915, seorang sosiolog Jerman mengenalkan sebuah teori dari hasil studinya tentang partai politik. Namanya Robert Michels. Teori itu dituliskan dalam buku berjudul Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. Teori ini, kemudian populer dengan nama Iron Law Oligarchy atau Hukum Besi Oligarki.

Michels memulai studinya saat menemukan adanya gejala oligarki elite pada tubuh Partai Sosial Demokrat di Jerman. Oligarki ini dinilai sebagai sebuah kontradiksi, dimana Partai Sosial Demokrat yang sejarah kelahiran maupun tipikal kepartaiannya masuk kategori partai berbasis kader (membership-based party), mulai berubah.

Mulanya, kader partai diberi ruang yang lebar untuk ikut menentukan dan ikut dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan partai. Namun, pada kelanjutannya, para pemimpin Partai Sosial Demokrat melakukan pengendalian terhadap proses rekrutmen pemimpin baru.

Dalihnya untuk menjaga kelestarian proses suksesi. Para pemimpin politik di Partai Sosial Demokrat Jerman kemudian mempersiapkan dan memilih pemimpin dari kalangan sendiri, atau orang-orang yang kelak dapat meneruskan strategi dan kepentingan pemimpin sebelumnya. Ini yang kemudian disebut sebagai a self reproducing class, dan berakibat menjauhkan jarak sosial antara elite partai dan massa.

Studi Robert Michels merupakan pengembangan dari teori yang dibuat oleh dua sosiolog sebelumnya: Vilfredo Pareto dari Prancis dan Gaetano Mosca dari Italia. Mosca seorang pemikir politik, pejabat publik di parlemen, dan juga jurnalis yang lahir tahun 1858. Sementara Pareto lahir di Paris tahun 1848.

Mosca terkenal dengan teori tentang kelas penguasa. Sementara Pareto dikenal sebagai pendukung paradigma fungsionalisme. Hasil studi Robert Michels, memperkuat dengan apa yang disebut sebagai “Teori Elite”, yang sudah diintrodusir oleh Pareto dan Mosca. Bahwa, dalam skala organisasi sebesar apapun, oligarki kekuasaan akan tetap muncul: “Minoritas yang terorganisir, akan selalu mendominasi mayoritas yang tidak terorganisir”.

Kata elite sendiri berasal dari kata latin eligere, yang berarti memilih. Elite kemudian digunakan sebagai istilah untuk menunjuk sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Elite digunakan untuk membedakan minoritas personal yang diangkat untuk melayani kolektivitas. Elite memiliki posisi tertentu yang memberikan kekuasaan untuk menentukan suatu proses pengambilan keputusan. Elite berada pada lapisan atas.

Secara teori, elite terbagi menjadi elite yang memerintah (governing elite) dan elite yang tidak memerintah (non-governing elite). Teori Hukum Besi Oligarki menajamkan peran elite, sebagai kecenderungan dominasi (penguasaan) oleh sekelompok kecil orang atau minoritas terhadap organisasi, kepemimpinan, hubungan dengan rakyat dan kekuasaan pemerintahan.

Kekuasaan elite dalam Hukum Besi Oligarki, akan ditandai oleh dua hal utama: Pertama, kekuasaan dalam masyarakat tidak terdistribusi secara merata dan hanya dimiliki oleh orang atau sekelompok orang tertentu. Kedua, secara internal elite bersifat homogen, bersatu dan memiliki kesadaran kelompok untuk mengatur sendiri kelangsungan hidupnya. Inilah yang membuat elite menjadi otonom.

 

Pergantian Kepemimpinan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan pada 30 November 2018, seluruh proses produksi dan distribusi logistik untuk segel, tinta, sampul, hologram Pemilu 2019 sudah selesai. Sementara untuk kotak dan bilik suara, rencananya akan mulai proses produksi pada awal Januari 2019.

Secara nasional, jadwal agenda Pemilu 2019 sebagian sudah terlaksana. Sebagian lagi dalam proses, dan bagian akhirnya menunggu hari H pencoblosan di bulan April 2019, hingga pada tanggal 6 Oktober 2019 akan dilakukan penetapan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih, sebagai proses yang harus dilalui untuk agenda pergantian kepemimpinan nasional.

Sepanjang bulan September 2018 hingga 13 April 2019, jadwal yang ditentukan oleh KPU adalah kampanye calon anggota DPR, DPD, DPRD serta pasangan capres dan cawapres. Selain itu, ada juga jadwal untuk laporan dan audit dana kampanye yang sudah mulai dibuka sejak tanggal 22 September 2018, dan akan ditutup pada 2 Mei 2019.

Menurut jadwal, tanggal 14 hingga 16 April 2019, telah ditetapkan oleh KPU sebagai masa tenang. Tanggal 8 April hingga 17 April 2019, dijadwalkan untuk pemungutan dan penghitungan suara. Tanggal 18 April hingga 22 Mei 2019, dijadwalkan untuk rekapitulasi penghitungan suara.

Secara teknis, penyelenggaraan Pemilu 2019 hingga saat ini sudah sesuai jadwal. Sepanjang tidak terjadi situasi yang menonjol atau ekstrem pada kondisi alam dan sosial, seluruh rangkaian tahapan pelaksanaan akan terlaksana sesuai jadwal.

Namun dalam kajian sosial-politik, peta dan dinamika pada Pemilu 2019 ini, masih sulit untuk diprediksi. Terutama, implikasi-implikasi yang akan terjadi pada hasil perolehan suara Pemilu 2019, baik untuk pemilu legislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia.

Delapan peneliti dari Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) telah melakukan riset dan kajian untuk membaca peta politik dan kekuasaan di Indonesia. Hasil penelitian ini telah dipublikasi dan menjadi buku berjudul “Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi.”

Kedelapan peneliti tersebut adalah: Aisyah Putri Budiatri, S.Sos, MA, Prof. Dr. Syamsuddin Haris, Prof. Dr Lili Romli, Dr Sri Nuryanti, S.IP, M.Si, Moch. Nurhasim, SIP, MA, Luky Sandra Amalia, S.IP, MDS, Devi Darmawan SH dan Ridho Imawan Hanafi, M.I.P.

Dalam ulasan awalnya, para peneliti bersepakat bahwa partai politik setelah 1999 hingga saat ini, telah menjadi tulang punggung bagi berjalannya proses demokrasi.

Partai di Indonesia, telah memegang peranan penting hampir di semua lini kehidupan politik. Partai telah menjadi kendaraan politik satu-satunya dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Juga pemilihan kepala daerah.

Hasil riset yang dilakukan oleh Aisyah Putri Budiarti, menyebutkan bahwa harapan besar pada partai politik era reformasi adalah menggiring kepemimpinan partai yang demokratis dengan mengutamakan anggota dan konstituen partai. Namun dalam rentang waktu yang lama, yang terjadi pada partai-partai justru menuju ke arah yang sebaliknya.

Kajian beberapa pengamat politik seperti Syamsuddin Haris, Lili Romli, Alfan Alfian dan Eko Prasojo menyebut kepemimpinan yang melanda partai politik selama dua dekade ini sebagai personalisasi partai politik.

Arti sederhana dari istilah personalisasi partai politik ini, dirumuskan sebagai suatu kondisi dimana aktor individu politik menjadi lebih utama dibandingkan dengan partai politik atau identitas kolektif lainnya.

Individu tokoh-tokoh tersebut memiliki pengaruh yang amat besar terhadap partai politik. Selain menjadi pendiri partai, mereka memegang posisi kepengurusan yang sentral dan mampu menentukan kebijakan partai. Para individu tokoh tersebut rata-rata menduduki posisi puncak lebih dari lima tahun.

Akibat personalisasi politik ini, parpol bukan saja dikuasai oleh elite. Tapi juga menjadi wadah politik bagi keluarga elit. Sehingga, partai seolah-olah bukan lagi sebagai institusi demokrasi.

Dan, inilah yang menjadi menarik. Karena, situasi seperti ini justru terjadi pada mayoritas partai besar yang berhasil bertahan hidup dalam sistem demokrasi politik yang mulai ditetapkan pasca tumbangnya rezim Soeharto pada tahun 1999.

 

Anatomi Partai, Siapapun Presidennya

Peneliti P2P-LIPI, Luky Sandra dan Lili Romli dalam riset dan kajiannya menyebutkan, personalisasi partai politik bukan hal baru di Indonesia. Jika ditelusuri, pola seperti ini sudah ada sejak tahun 1920, ketika partai politik bermunculan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Hal itu bahkan berlanjut hingga pada era Demokrasi Terpimpin.

Pada masa itu, peran pemimpin parpol sangat mempengaruhi sepak terjang parpol tersebut. Terutama dalam berinteraksi dengan partai-partai lain dalam peta politik Indonesia saat itu. Yang membedakan antara partai yang satu dengan yang lain, adalah akar ideologi yang kuat.

Setiap pemimpin partai merumuskan perilaku dan interaksi partai berdasarkan ideologi yang dianutnya. Kuatnya ideologi antarpartai ini yang kemudian menimbulkan masalah. Karena, masing-masing partai merasa ideologinya paling baik dan paling sesuai untuk penataan arah politik Republik Indonesia.

Dalam perkembangannya, personal politik itu dikategori berdasarkan struktur otoritas, karakter dan sumber otoritas itu sendiri. Dari situ, setidaknya ada empat kategori yang mengarah pada terbentuknya partai personal. Yaitu: pertama, partai karismatik (charismatic parties).

Pemimpin karismatik menganggap atau mencoba mengasumsikan dirinya pada peran transformasional. Mereka menganggap sebagai agen perubahan sosial besar yang melampaui partai atau ideologi tertentu.

Sumber identitas berasal dari dirinya sendiri. Gaya personalnya adalah mesias. Biasanya, pemimpin kategori ini menahan pengikutnya untuk mempertahankan kekuasaannya.

Kedua, partai patronase (patronage parties). Pemimpin kategori ini memainkan peran sebagai distributor sumber daya partai dalam wilayah kendali dan tanggung jawab mereka. Partai patronase memiliki beberapa pemimpin dan identitas yang berakar pada satu bagian partai.

Pemimpin kategori ini mempertahankan kekuasaan bukan hanya mengontrol sumber daya dan aktivis partai. Tapi juga menegosiasikan distribusi sumber daya dengan patron-patron partai lain.

Ketiga, partai kuadran-karismatik (quasi-charismatic parties). Pemimpin kategori ini bertindak sebagai wakil ideologi tertentu dan merepresentasikannya di dalam partai, di dalam pemerintahan dan negara jika mereka memegang kekuasaan. Identitas politiknya lebih dekat pada filosofi tertentu daripada partai. Pemimpin ini lebih dinamis dan berani. Mereka mengontrol faksi dominan untuk mempertahankan kekuasaan.

Keempat, partai non-karismatik (non-charismatic personal parties). Partai dengan pemimpin kategori ini mengandalkan hubungan transaksional dalam kepemimpinan mereka. Mereka mengolah konflik internal untuk mempertahankan soliditas partai.

Mereka memediasi konstituensi dengan tendensi di dalam partai. Mereka berusaha keras menjadikan dirinya sangat diperlukan di partai. Otoritas kepemimpinan bergantung pada kemampuan mengelola konflik internal.

Dari perjalanan sejarah politik Indonesia, kategori kepemimpinan di atas telah terjadi bahkan sebelum masa kemerdekaan. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pemimpin partai politik lebih banyak berjuang untuk merebut kemerdekaan, baik melalui strategi kooperatif maupun non-kooperatif.

Personalisasi pemimpin partai sangat menonjol. Bahkan, hidup-matinya partai tergantung pada pemimpinnya. Jika pemimpin partai dibuang oleh Belanda, kegiatan politik partai juga terhambat. Bahkan vakum. Nasib partai mengalami masa sulit karena tekanan pemerintahan kolonial.

Masa setelah merdeka, partai politik masuk pada tahap pembangunan dan konsolidasi. Pada masa ini personal pemimpin partai makin menonjol dan mempengaruhi arah perilaku partai. Pemimpin politik berkesempatan memperdalam dan mengimplementasikan ideologinya yang sempat terhambat pada masa kolonial.

Ideologi partai juga digunakan untuk memenangkan kompetisi antarpartai untuk memperoleh dukungan rakyat. Menjelang pemilu, perbedaan ideologi menjadi representasi pembelahan orientasi politik masyarakat. Pemerintahan yang terbentuk pun, akan mendasarkan kebijakan pada ideologi partai penguasa atau pemenang pemilu.

Pada saat itu, hampir semua partai hingga tahun 1965, berkompetisi dengan mengusung ideologi sebagai landasan pergerakan mereka untuk memenangkan suara rakyat. Di kubu nasionalis, PSI menjadikan sosialisme sebagai ideologi partainya. PKI mengakar pada komunisme, sementara PNI memilih nasionalisme sebagai ideologi.

Partai lain, seperti PSII, Masyumi dan NU, menjadikan agama Islam sebagai landasan ideologi partainya. Pada masa itu pula, partai mengembangkan pola patronase dalam sistem kaderisasi. Para pemimpin menjadi patron atas anggota dan simpatisan partainya. Dinamika kepemimpinan lebih banyak terjadi karena faktor internal.

Pada masa itu, hampir semua partai politik tidak mengalami personalisasi karena kuatnya pengaruh ideologi partai. Munculnya figur-figur pemimpin partai, tidak mendominasi partai. Mereka muncul karena dianggap sebagai orang paling baik di partai. Figur dihormati sebagai tokoh partai yang paling dapat mendefinisikan ideologi partai.

Pada masa Orde Baru, partai politik semakin melemah. Melalui kebijakan fusi partai, menjadikan peran partai politik melemah. Demikian pula dengan undang-undang untuk memperkuat mesin politik penguasa. Partai politik juga dipaksa untuk mengganti ideologinya dengan ideologi Pancasila. Pada sistem partai hegemoni seperti ini, personalisasi partai tidak terjadi. Kecuali, pada partai politik penguasa.

 

Nasib Sistem Presidensial

Pada sistem pemerintahan presidensial dalam negara demokrasi, cenderung memunculkan partai klientelistik-karismatik. Ini berbeda dengan sistem parlementer yang cenderung melahirkan partai programatik.

Partai klientelistik-karismatik menempatkan partai sebagai institusi yang dikuasai dan bergantung pada individu elite partai yang berkarisma, dan dapat menjadi patron. Sementara partai programatik, lebih mengedepankan program dan ideologi partai. Bukan pada sosok-sosok politikus tertentu di partainya.

Dalam kajian yang dilakukan oleh peneliti P2P-LIPI, Aisyah Putri Budiatri disebutkan bahwa sejak reformasi politik berlangsung tahun 1999, konstitusi Indonesia yang diamandemen melalui empat tahap, makin melembagakan sistem presidensial di negara ini. Istilah yang dimunculkan adalah purifikasi sistem presidensial, yang tujuannya untuk pemurnian sistem presidensial.

Namun, dalam kajian politik kekuasaan, sistem presidensial mendorong terbentuknya personalisasi politik. Setidaknya ada tiga karakter di dalam sistem presidensial, yang bisa dimaknai sebagai proses terbentuknya individu elite yang memiliki peran dan posisi lebih utama dibandingkan dengan partai politik atau identitas kolektif lainnya.

Karakter pertama terciptanya personalisasi adalah penekanan kekuatan politik pada individu, bukan institusi. Ini karena tampuk kekuasaan politik tertinggi dimiliki presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Sementara parlemen berfungsi sebagai penyeimbang dan pengawas.

Karakter kedua, kompetisi politik presidensialisme menitikberatkan pada proses pemilihan presiden, bukan pemilihan legislatif. Maka, memenangkan presiden menjadi strategi politik yang terpenting. Partai akan mengerahkan sumber daya yang dimiliki dan menjadi bergantung pada individu yang mereka unggulkan sebagai presiden.

Karakter ketiga adalah, presidensialisme membuka peluang besar bagi individu elite politik yang populer, karismatik dan menjadi patron untuk memenangkan kekuasaan. Efeknya, partai akan menjadi pragmatis untuk mendorong kemenangan dan tidak lagi mengedepankan ideologinya, atau program kerjanya.

Reformasi yang berlangsung selama hampir dua dekade di Indonesia, secara merata telah membentuk dominasi dan penguasaan individu elite pada partai-partai politik, hingga membentuk personalisasi politik. Hal ini, menjadi ancaman serius bagi demokrasi, karena sistem presidensial yang juga menguatkan personalisasi politik individu.

Dalam kajian P2P-LIPI, peneliti Syamsuddin Haris mengungkapkan bahwa akibat situasi ini, kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi negeri ini lebih merupakan “beban” ketimbang korupsi. Partai politik yang menjadi tulang-punggung pelaksanaan proses demokrasi, menjadi masalah bagi pelaksanaan demokrasi itu sendiri.

Berbagai agenda, termasuk penegakan pemerintahan yang bersih, akhirnya tersandera oleh kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara yang berasal dari partai.

Fenomena personalisasi partai politik ini, secara langsung terkait dengan maraknya suap dari korupsi di lingkungan pejabat publik dari partai politik.

Absennya kepemimpinan institusional, tidak adanya standar etik yang memadai, belum adanya sistem kaderisasi terukur dan rekrutmen politik yang demokratis, serta rendahnya kualitas akuntabilitas publik oleh partai dan politisi partai, menjadi penyebab fenomena maraknya korupsi.

Dampak lainnya adalah: tidak adanya kanalisasi kepentingan publik. Ini yang menyebabkan aksi demo dan unjuk rasa tetap marak sebagai akibat tersumbatnya aspirasi rakyat. Sementara, pemilu-pemilu legislatif tiap lima tahun selalu menghasil wakil-wakil rakyat yang dipilih secara bebas dan demokratis. Termasuk di dalamnya adalah pemilihan kepala daerah.

Personalisasi partai menjadikan partai menjadi milik individu atau segelintir elite. Akhirnya, partai hanya melayani kepentingan dan aspirasi pemilik dan pemegang saham partai, dibanding aspirasi dan kepentingan rakyat serta konstituennya.

Dalam jangka pendek, kepemimpinan personal suatu parpol oleh “orang besar”, barangkali memang diperlukan. Sekurang-kurangnya dalam rangka pemenuhan sumber daya finansial, soliditas dan konsolidasi partai. Dalam jangka panjang, personalisasi partai politik berpotensi besar untuk menghasilkan Hukum Besi Oligarki.

Ini tidak memberikan intensif bagi perbaikan kualitas demokrasi dan tata kelola pemerintahan ke depan. Karenanya, harus ada upaya, baik negara —melalui Undang-undang atau regulasi— maupun desakan elemen masyarakat sipil, untuk mengurangi fenomena tidak sehat tersebut.(*)

DalangPolitik

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...