Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #11

Masjid Langka

Oleh: Jendra Wiswara

Malam kian padat merayap. Sapuan gelombang air laut yang menghantam badan kapal membuyarkan angan-angan kami. Pelabuhan Ketapang tampak lengang. Angin laut menerjang dengan kencang. Udara malam mulai menunjukkan kegarangannya. Dingin. 

Sekali kau terjun ke laut rasakan sendiri akibatnya; beku atau hilang terbawa derasnya arus.

Perairan selat Bali memang dikenal sebagai perairan berbahaya. Tampak permukaannya saja tenang, tapi kedalamannya bagai raksasa yang kelaparan. 

Bila sedang pasang, gelombang laut tingginya bisa mencapai 5 meter disertai kecepatan angin 40-60 km/jam. Kalau sudah begitu jangan harap kapal-kapal ferry di pelabuhan Ketapang-Gilimanuk berani menyebrang, kalau tidak ingin dihantam gelombang.

Saat itu udara malam benar-benar membuat orang bermalas-malasan di tempat duduknya. Cuma segelintir orang memadati geladak, selebihnya memilih berselimut di badan kapal dengan berselimut bantalan kursi yang empuk. 

Cuaca kali ini sangat mendukung perjalanan kami. Bintang-bintang di langit saling mengeroyok memperebutkan ruang kosong untuk bertengger. Ditandai pula kemunculan bulan dengan gagah dan perkasanya. Seolah dia ingin berkata: Akulah satu-satunya penerangan manusia di bumi selain matahari.

Sombong! 

Begitu motor terparkir bersama puluhan roda kecil hingga roda besar ke dok kapal, kami lantas menaiki geladak. Tangga berjalan ke atas yang sempit membuat kami harus merayap bergiliran. Sayup-sayup terdengar suara anak kecil meraung mengiba bundanya mengeluarkan buah dadanya. Lalu seorang penjaja makanan menawarkan makanan bungkus yang mungkin sudah basi.

Cukup tiga ribu perak kau akan dapatkan kekenyangan sesaat. Soal kualitas makanan, hmm, benar-benar meragukan. 

Dari atas kapal kami dapat menyaksikan segelintir orang sibuk melemparkan kailnya ke tengah-tengah laut; berharap mendapatkan ikan yang lezat untuk santap malam. Sepengamatanku bila malam tiba dermaga Ketapang kerap didatangi orang-orang yang mengharap keberuntungan dari ikan-ikan kelaparan. Sementara siang hari, dermaga sepenuhnya menjadi milik anak-anak kecil yang berlomba menyelam demi uang receh dari para penumpang.

Bagi penumpang tentunya hal ini semacam tontonan gratis yang menghibur. Sekali lempar koin ke dasar laut, maka koin-koin tersebut akan jadi rebutan. Bagi anak-anak yang notabene perenang handal dan memiliki nafas kuat–karena sudah menjadi kebiasaan, hal ini bukan sesuatu yang sulit. Bahkan seorang anak mengaku bisa mendapatkan dua puluh lima ribu perhari untuk sekali selulup (menyelam).  

Perjalanan menyeberangi Gilimanuk memakan waktu sekitar 30-45 menit. Yang paling lama menunggu kapal melepas sauh, dan sebaliknya sandar dari dermaga satu ke dermaga lain.

Sambil menunggu kapal berlayar, kami mencari bangku kosong. Kebetulan di dek kapal masih ada bangku yang belum terisi. Yoga yang matanya sudah memerah langsung menyandarkan kepalanya di pagar pembatas. Sekian menit kami terlibat obrolan mengenai konsep koran. 

Sebelum berangkat kami sempat didaulat oleh Lakila kiranya dapat memberi nuansa baru bagi koran yang menjadi tempat bernaung kami. Sayang, obrolan tak bertahan lama sebab Yoga sudah ‘tewas’, namun sedikit banyak kami sudah memiliki gambaran.

Bali, bagi kami, memiliki prospek menjanjikan. Terbukti masih banyak aspek-aspek di Bali yang belum tersentuh media saat ini. Salah satunya masyarakat serta budayanya yang unik. 

Selama ini kami mendengar dan melihat Bali dari permukaan, belum menyentuh kedalamannya. Dari jaman nenek moyang, media lokal maupun nasional masih berkutat tentang pariwisata Bali, fasilitas dan transportasi.

Seorang teman pernah menasehati kami bahwa di Bali ada sekelompok manusia–suku pedalaman–yang  mendiami pegunungan. Karena letaknya sangat pelosok dan sulit dijangkau manusia, nyaris tak seorang pun yang mengetahuinya. 

Suku ini, kata teman, mengaku keturunan langsung Nabi Adam.

Selain berita-berita news dan investigasi, kiranya konsep-konsep semacam ini yang dapat memberi nuansa baru bagi koran tersebut. 

Lima belas menit kami menunggu kapal bergerak namun tak kunjung bergerak. Entah sampai mana temanku hilang kesadarannya. Kukira ia tak peduli apakah aku ada di sampingnya atau tidak.

Perjalanan dari Surabaya ke Bali memang cukup menguras tenaga. Sebelumnya tak terperkirakan kami sanggup melewati rute yang panjang dan melelahkan itu. Andai fisik dan mental tak prima mungkin kami sudah ambruk di jalan. 

Bukan Yoga seorang yang lelah, pun aku merasakan lelah luar biasa. Tiap kali memejamkan mata entah kenapa bayang-bayang rumah nun jauh di sana selalu menganggu. Buru-buru kubuang bayang-bayang menyesatkan tersebut; rumah, ibu, sepupu, keponakan, teman-teman seperjuangan, Kayla, dan RAR.

Perjalanan ini baru awalnya saja. Masih banyak sesuatu yang bakal terjadi di pulau Dewata ini. Dan aku tidak tahu apakah itu. Belum saatnya memikirkan kampung halaman. 

Untuk menghilangkan kejenuhan lagi-lagi sebatang rokok melesat masuk ke permukaan mulut. Merokok sambil menikmati pemandangan malam hari di atas kapal ferry ternyata memberi kesan tersendiri. Gelombang pasang air laut yang menggoyahkan kapal sempat mengingatkanku akan adegan romantis Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet di film Titanic.

Andai peristiwa Titanic menimpa kami, apa kiranya Yoga bersedia menjadi pendamping hidupku. Semisal kapal kami tenggelam di dasar laut, aku tak ingin menjadi satu-satunya roh yang menunggu kekasih melainkan aku ingin menjadi orang yang masih hidup (seperti Kate Winslet) yang ditunggu kekasih di alam baka sana. 

Kupikir, biarlah Yoga yang mati duluan. Membayangkan peristiwa masa lalu tenggelamnya kapal Titanic, cukup menguras pikiran. Bagaimana rasanya orang tenggelam di dasar samudra. Meski beberapa dari mereka berhasil selamat setelah mengenakan pelampung tapi banyak juga yang akhirnya mati kedinginan.

Tragedi kapal Titanic tak urung satu-satunya peristiwa yang menginspirasi kita. Sebagai bukti banyak transportasi laut di negeri ini yang carut marut tanpa pernah mementingkan keselamatan manusia. Entah diakibatkan kesalahan manusia (human eror) atau faktor alam yang tidak mendukung. Hingga kini kita masih saja menjumpai kapal-kapal negeri ini mengekori Titanic. Satu persatu tenggelam di dasar laut. Ujung-ujungnya kita juga yang menjadi korban. 

Masih ingat tragedi Tampomas yang terkenal itu. Akibat keteledoran manusia, Tampomas terbakar di tengah laut. Puluhan nyawa melayang sia-sia.

Beruntung kejadian Titanic tidak terulang di kapal yang kami tumpangi. Lambat laun kapal merapat mendekati pelabuhan Gilimanuk. Sebelum sandar di dermaga, lagi-lagi kami harus menunggu lima belas menit. 

Sejurus kemudian perjalanan menuju Denpasar kami lanjutkan.

Memasuki Bali kami masih harus berurusan dengan petugas jaga di pos pemeriksaan. Seperti kami duga sebelumnya pemeriksaan hanya sebatas SIM dan STNK. Mungkin hari sudah larut, dan petugas terlihat kelelahan memeriksa satu persatu penumpang, urusan kelengkapan surat-surat wes hewes hewes bablas angine. Tanpa menoleh belakang kami meninggalkan Gilimanuk dengan gas penuh.           

Puas beristirahat–walau sejenak–kuamati temanku seakan mendapat pencerahan. Matanya mulai terjaga mengawasi setiap langkah kami, bahkan sewaktu memasuki hutan Melaya Yoga kerap memberi aba-aba agar waspada dan berhati-hati. Lagi-lagi kami mendapati jalanan sepi dan lengang. Tak satu pun kendaraan melintas.

Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Kendati demikian perasaan kami sedikit lebih tenang. Sedikit demi sedikit kami berhasil mengusir rasa takut dan kekhawatiran akan ban bocor di tengah jalan. 

Melihat kondisi jalanan Bali yang nyaris sempurna alias mulus dan tidak berlubang, membuat kami tertantang. Beberapa halangan sempat menganggu. Anjing-anjing buduk milik penduduk yang berseliweran di tengah jalan itulah penghalangnya.

Kadang kami terpaksa melambatkan motor untuk menghindari penganggu-penganggu berkaki empat tersebut. Malah, beberapa anjing menyalak di kegelapan dan hendak menggigit. 

Kalau sudah begitu kami harus melajukan motor dengan kecepatan penuh. Aku tak peduli apakah nanti menabrak anjing-anjing tersebut. Penyet ya penyet, pikirku.

Setidaknya satu halangan sudah terlewati. Sebaliknya Yoga malah berpikiran lain. Sebagai navigator yang bertugas di belakang kemudi, ia cukup cerewet. Berulang kali ia menasehatiku supaya berhati-hati terhadap anjing-anjing tersebut. Temanku bilang mereka bukan anjing biasa. Penduduk Bali menganggap anjing-anjing itu sakral dan di-dewa-kan. Sok tahu. Itu kan cuma kisah-kisah tak masuk akal, atau mungkin manifestasi perasaan Yoga akan ketidakberdayaan menghadapi kenyataan yang ada. 

Temanku yang satu ini memang selalu menganggap segala hal menjadi irrasional. Kalau sudah begitu aku jarang mengiyakan keputusannya. Kalau ya itu sebatas menyenangkan hatinya.  

Sudah dua jam kami berjalan. Di atas langit bertaburan bintang. Di sekeliling kami keheningan kota Bali di waktu malam. Di mana-mana lampu. Hanya dalam hati tak ada lampu, tak ada bintang. Gelap. Pekat. Yang ada: Ketakutan. 

Aku sedikit malu pada bumi di bawah kakiku, pada langit di atasku, pada semua manusia di sekelilingku. Entah berapa lama lagi kami sampai Denpasar.

Seingatku sudah separuh perjalanan. Dapat kurasakan kedua bola mataku berat. Setiap saat pandangan dapat berubah menjadi kabur. 

“Yog, aku sudah tak kuat lagi,” kataku, “sebaiknya kita cari tempat istirahat saja. Tapi dimana? Kita tak mungkin menginap di hotel sebab uang kita hanya pas-pasan.”

“Cari masjid aja!” Boleh juga usulnya. 

“Rasanya di sini masjid sulit dicari.” Bantahku.

“Yah, kita jalan dulu sambil lihat-lihat.” 

Tumben ia menunjukkan kesabaran. Biasanya bila masalah mendera, laki-laki itu selalu mengedepankan emosi ketimbang akal sehat. Kali ini Yoga berusaha menenangkanku. Maklum sudah jadi bapak, sebentar lagi tambah anak.

Benar juga dua puluh menit berjalan kami belum menemukan masjid. Ternyata mencari satu masjid di Bali tak semudah mencari masjid di Jawa. Di mana-mana yang kami temui kuil. Sementara mataku sudah tak sanggup diajak kompromi. Urusan perjalanan selanjutnya kuserahkan ke Yoga. 

Kali ini ia yang pegang setir. Giliran aku navigator. Untuk menjaga seandainya mata terpejam dan tidak jatuh dari motor, kusilangkan kedua tangan di pinggang temanku. Kurus, kecil, dan berbalut tulang belulang, itulah perut Yoga.

Memegang perutnya seolah memegang tembok. Keras. Segera kurebahkan kepala di pundaknya. Sekilas kami mirip pasangan dimadu asmara. 

Dalam perjalanan itu aku berusaha untuk terjaga. Sesekali mataku celingukan ke kanan dan kiri, berharap menemukan masjid untuk kami jadikan tempat bermalam. Waktu itu aku melihat sebuah gubuk kecil di pinggir sawah. Dari kejauhan mirip gubuk, setelah didekati ternyata bangunan mungil terbuat dari bebatuan. Lebih mirip kuil dibanding gubuk.

“Kita bermalam di sini saja,” aku berusaha memprovokasi, “lagipula, kelihatannya pemandangan di sini sangat indah. Tidur di pinggir sawah sambil menikmati udara malam.”

“Kamu gila apa mau tidur di sini!” Ia mengumpat. 

Sepanjang perjalanan baru kali ini Yoga mengumpat.

Aku sangat paham bermalam di jalanan tak pernah mengenakkan, apalagi tidur di pinggir sawah dengan kondisi terbuka. Dapat kau bayangkan betapa dinginnya angin malam yang berhembus menusuk tulang. 

Yoga keukeuh mencari tempat bermalam yang layak. Seperti kesepakatan awal kami harus mendapatkan masjid. Bersamaan itu udara malam tak habis-habisnya mengutuk dan melukai fisik kami.

Memasuki Mendaya, sebuah masjid berdiri kokoh di pinggir jalan. Kami berhenti di depannya. Bagai disambar petir kami dikejutkan letak masjid yang menyorong ke bawah jalan. Membayangkan bagaimana motor kami dapat turun ke sana, kami mengurungkan niat. Sepertinya masjid tersebut dibangun hanya untuk dimasuki pejalan kaki, bukan motor. Masya Allah betapa sulitnya mencari masjid di kota ini. 

Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Geram, marah, jengkel sudah mencapai ubun-ubun. Kesabaran tak lagi menyertai kami. Kesepakatan pun dirombak total. Jika lima belas menit tak menemui masjid kami sepakat tidur di jalanan; pos polisi, warung kopi atau gubuk tengah sawah, apa saja asal kami dapat istirahat.

Beberapa kilometer dari lokasi masjid pertama, kami mendapati masjid lagi. Bedanya, bangunan masjid kedua tak megah alias biasa-biasa saja. Biar begitu kami bersyukur akhirnya mendapat tempat untuk bermalam. 

Ketika memasuki pelataran masjid kami mendapati pagar masjid tidak dikunci. Inilah kebanggaan kami. Tempat ibadah bagi kami adalah tempat yang suci dan bebas dimasuki kapan dan siapa saja, terlebih bagi mereka yang membutuhkan bantuan.     

Waktu menunjukkan pukul tiga pagi, kami tak sempat menemui marbot (penjaga) masjid. Pikir kami tak ada salahnya meminta ijin esok hari. Toh, mereka pasti mengerti kesulitan kami. 

Saat ini yang kami pikirkan adalah merebahkan badan: tidur dan tidur.

Setelah seharian melakukan perjalanan, debu-debu jalanan yang menempel di wajah sudah menumpuk. Pun pakaian jadi bebal dan lusuh. Belum lagi keringat yang sudah mengering, tak ayal mengeluarkan aroma busuk yang menyerbak kemana-mana. Dengan sekali basuh aku yakin debu-debu tersebut akan luntur. Begitu pula menanggalkan pakaian kotor membuat kami bagai manusia baru. Usai membersihkan diri kami rebahan di lantai. 

Lama kelamaan tidur beralaskan lantai membuat badan tak sanggup menampung hawa dingin yang menyengat. Satu jam saja tidur di lantai, kami yakin bakal masuk angin. Berkali-kali kami merubah posisi tidur, lagi-lagi yang kami mendapati lantai yang sama; dingin menyengat.

Seketika terbayang ambin rumah yang empuk dan hangat. Mendadak teringat sebuah pepatah: seburuk-buruknya rumah tak ada yang mengalahkan kenyamanan di rumah sendiri. 

Jika dipikir-pikir aneh juga kenapa kami memilih bersusah payah tidur di jalanan. Seandainya orang rumah melihat penderitaan kami, mungkin mereka akan nelangsa. Selama satu jam kami tak jua memejamkan mata. Kulihat Yoga berusaha memejamkan mata, namun ia terjaga lagi karena lantainya terasa menusuk-nusuk tulang belulang.

Menginjak pukul empat pagi, seorang laki-laki muncul entah darimana. Sayup-sayup kudengar dia melontarkan kata-kata.  

Assalamualaikum, pagi mas. Kalau mau tidur di belakang ada tikar.

Seketika kubangkit dan mencari tikar. Akhirnya kami dapatkan apa yang kami inginkan. Sebuah tikar panjangnya dua meter dengan lebar satu meter. Sungguh beruntung kami. Mendapatkan satu tikar seolah menemukan segenggam emas. 

Mendadak kami bagai anak kecil berebut mainan. Yoga buru-buru mengamankan posisi tidurnya di sampingku. Belum sepenuhnya kesadaranku hilang, tiba-tiba suara speaker masjid membuyarkan mimpi. Adzan subuh.

Kali ini Allah benar-benar tak membiarkan kami tidur dengan tenang. Namanya juga panggilan, sudah sepantasnya aku menjawab panggilan. Setelah menunaikan sholat Subuh, aku pun kembali menunaikan kewajiban lain: tidur. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...