Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #41

Cerita Setelah Perpisahan

Oleh: Jendra Wiswara

Kerinduan antara ibu dan anak masih belum berkesudahan. Iksan tahu, masih banyak setumpuk cerita yang hendak disampaikan anak-anaknya pada ibunya. Demikian pula sebaliknya, Nunuk pasti sangat ingin menanyakan banyak hal pada anak-anaknya. Namun Iksan melarang dan meminta anak-anaknya kembali ke pondok. Melanjutkan rutinitas seperti biasanya.

“Nanti saja ceritanya. Kalian kembali ke rutinitas. Masih banyak waktu untuk bersama ibu,” kata Iksan memastikan.

Ketiga buah hatinya menuruti kata ayahnya. Mereka tidak membantah. Aisyah kembali ke dapur. Fatimah kembali ke kelas. Muhammad langsung pergi ke kamar untuk beristirahat, sebab sorenya dia harus kembali ke kelas.

Betapa banyak hal baru yang harus dihadapi perempuan bahu laweyan tersebut. Melihat sikap anak-anaknya patuh pada orangtua, buah dari kedisiplinan yang diterapkan oleh Iksan.

Sebelum pergi, ketiga anaknya mencium tangan Nunuk bergantian. Mereka pun berlalu dari hadapannya. Seiring dengan itu, timbul kesenyapan. Suasana menjadi agak tegang antara Iksan dan Nunuk.

Iksan mengajak Nunuk duduk di belakang pondok. Di sana ada balai-balai terbuat dari bambu. Ada meja dan kursi yang juga terbuat dari bambu. Tempat yang pas untuk berbagi cerita setelah 6 tahun berpisah.

Sementara bapaknya Nunuk memilih untuk melepas lelah di masjid. Urusan Iksan dan Nunuk hanya mereka berdua yang tahu. Sebab keduanya adalah orangtua dari cucu-cucunya. Apa yang nanti diputuskan, maka itu sudah menjadi urusan keduanya. Hal itu dipahami Iksan.

“Saya pamit mau ngajak Nunuk ke belakang pondok. Kalau bapak butuh apa-apa, tinggal panggil saya,” kata Iksan.

Monggo. Nak Iksan selesaikan dulu urusannya dengan ibunya anak-anak. Bapak di sini saja.”

Keduanya pun berlalu.

Di balai-balai bambu Nunuk duduk saling berhadap-hadapan dengan Iksan. Agak canggung. Dulu benih-benih cinta pernah tumbuh di antara mereka. Iksan selalu mampu membuai hati Nunuk dan mempesonakan. Begitu juga sebaliknya. Selama 9 tahun membina rumah tangga, cinta keduanya dapat dipelihara dengan baik tanpa ada secuil masalah.

Namun betapa malangnya cinta keduanya yang harus kandas karena ulah Gendro Swara Pati yang terus-terusan haus darah tumbal manusia. Gagal merasuki raga ibunya, Gendro Swara Pati mencoba masuk ke raga anaknya.

Nunuk bersandar pada tempat duduknya dan mengenangkan kelamnya peristiwa masa lalu. Hingga membuatnya terpisah dari keluarganya. Sejak awal hidupnya telah dihancurkan oleh Gendro Swara Pati. Saat dia mulai merasakan kedamaian bersama Iksan dan menemukan kebahagiaannya, makhluk jahat itu kembali datang. Dan akibatnya tak bisa ditanggung oleh keduanya.

Berpisah selama 6 tahun bukan waktu singkat, apalagi perpisahan tersebut bukan dilatarbelakangi keretakan hati. Pasalnya, kedua belahan jiwa itu masih saling mengasihi, saling menjaga, dan mengawasi satu sama lain, baik sebelum dan sesudah berpisah.

Dan kini, dua jiwa itu bertemu lagi. Nunuk dibuat bimbang dengan perasaannya terhadap mantan suami. Debaran jantungnya tak kunjung berhenti. Mungkin Iksan juga merasakan hal sama. Namun perasaan itu harus ditepis jauh-jauh. Sebab di tengah-tengah perasaan itu ada perasaan lain yang harus dijaga, yakni Sahid.

Ya, saking tak kuasanya membendung perasaan, Nunuk mencoba menghembuskan nafas besar sampai dua belah pipinya melembung. Dengan jari tangan kirinya diraba-raba di belakang kuping kemudian dia mulai membuka percakapan.

“Tempatnya sepi, Mas. Hawanya sejuk. Tenang dan damai.  Seperti di rumah,” kata Nunuk, nampak masih ada canggung dari nada bicaranya.

“Ya, beginilah Dik, pondok di desa. Seperti yang kau lihat,” Iksan memperhatikan sekeliling seolah mau menunjukkan ke Nunuk bahwa semua keadaan baik-baik saja, “Alhamdulillah, anak-anak betah tinggal di sini.”

“Syukurlah, Mas!”

“Bagaimana kabarmu?” Tanya Iksan.

“Alhamdulillah, aku baik sekarang. Mas Sahid, dia telah…”

“Mas Sahid?” Iksan memotong kata-kata Nunuk.

“Mas Sahid seperti yang pernah dulu Mas ceritakan. Dia yang akhirnya mengusir Gendro Swara Pati.”

“Dia sudah menjadi suamimu?” Tanya Iksan bimbang.

Nunuk mengangguk.

“Apakah kau benar-benar menunggunya?”

“Iya, Mas,” jawab Nunuk dengan wajah murung mengenang penantian panjang itu, “Saat Mas Iksan membisiki aku bahwa yang mampu mengalahkan Gendro Swara Pati adalah seorang Wali Allah, aku sangat yakin dengan itu.”

“Aku pun meyakini itu. Karena Wali Allah itu sering bertemu kyai sepuh di sini. Atau saat itu, kyai sepuh menemui Wali Allah tersebut. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas pesan kyai sepuh seperti itu, dan kuteruskan pesannya padamu.”

Nunuk mendengarkan cerita Iksan dengan serius.

“Hanya saja kyai sepuh berpesan bahwa tidak mudah menanti kedatangan Wali Allah. Setiap manusia yang hendak bertemu Wali Allah harus rela berkorban. Mengorbankan perasaannya. Mengorbankan duniawinya. Selain itu dia juga harus bersabar.”

“Aku tahu itu, Mas. Sejak kita berpisah, aku memang sudah memutuskan untuk menyerahkan segala hidupku pada Allah. Aku tahu yang namanya menunggu itu membosankan. Tapi aku harus tetap bersabar. Selama 6 tahun aku menanti Mas Sahid.”

“Sungguh, aku tidak tahu kau akan menunggu selama itu, Dik!”

“Awalnya aku juga tidak menyangka akan bertahan selama itu, Mas. Tapi aku terus meyakinkan diriku bahwa yang namanya pertolongan Allah pasti akan datang.”

“Apa yang kau kerjakan selama menunggu?” Tanya Iksan penasaran.

“Aku tinggal di hutan di bawah kaki gunung Penanggungan, Mas. Dibantu bapak dan warga kampung, aku dibangunkan sebuah rumah kecil. Ya, mirip gubuk tapi agak besar. Rumah itu juga kubuat untuk warung. Selama waktu itu, aku berpesan ke bapak agar tidak memberitahu Mas Iksan maupun anak-anak tentang keadaanku.”

Iksan terhenyak mendengar cerita mantan istrinya. Andai mereka belum bercerai, mungkin Iksan saat itu sudah memeluk istrinya, menenangkannya dan membisiki kata-kata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun Iksan tak kuasa melakukan hal itu. Sebab hati mereka sudah dipisahkan oleh waktu dan keadaan.

“Maafkan aku, Dik. Tak dapat membahagiakanmu.”

“Bukan salah Mas Iksan. Semua salah Gendro Swara Pati,” sahut Nunuk melemparkan kesalahan pada makhluk halus yang pernah bersemayam di tubuhnya.

Baik Iksan dan Nunuk, keduanya mulai menguji pikirannya sendiri. Pun keduanya mencoba meraih pegangan pada kebenaran yang berakar pada kebenaran. Mereka berusaha menghadapi dan bertahan pada tragedi kehidupan.

“Apa kau tidak merasa kesepian di hutan?” Tanya Iksan penasaran.

“Rasa sepi itu pasti ada, Mas. Awalnya aku takut tinggal sendiri di hutan. Tapi ada bapak yang menemani. Lambat laun aku mulai bisa beradaptasi dengan ketakutan. Setelah ketakutan itu, muncul rasa sepi itu. Tidak ada orang yang bisa diajak bicara. Aku dihadapkan pada keadaan yang memuakkan. Beruntung sejak menikah dengan Mas Iksan, aku mendapat bekal agama yang cukup. Sehingga aku bisa melampaui semua rintangan.”

“Apakah Gendro Swara Pati saat itu ada di sana?”

“Aku tidak tahu. Cuma aku bisa merasakan keberadaan Gendro Swara Pati dan banyak makhluk halus lain yang selalu mengintaiku. Gendro Swara Pati tidak mendekat, sebab tidak ada yang bisa diserang dari aku. Aku tidak punya suami, juga tidak ada tumbal manusia yang bisa dikorbankan. Lagipula Allah telah menolongku.”

“Bagaimana Allah menolongmu?”

“Bekal agama yang diberikan Mas Iksan selalu kuamalkan. Aku selalu menjaga sholatku. Aku selalu menjaga puasaku. Aku selalu mengaji dan berdzikir. Mungkin dari situlah para makhluk halus itu tidak berani mengangguku.”

“Alhamdulillah,” balas Iksan.

“Tapi semua yang kukerjakan selama 6 tahun itu menjadi berantakan, Mas!”

Iksan kaget. Tidak paham berantakan yang dimaksud Nunuk.

“Maksudmu berantakan?”

“Berantakan setelah datang Mas Sahid,” Nunuk tersenyum mengenang peristiwa maha gaib saat diprotes oleh Sahid yang sedang tidur di surau.

Oh, itu,” singkat Iksan mulai paham.

Ya, jalan hidup seorang wali memang sukar ditebak. Cara hidupnya tidak sebagaimana orang-orang pada umumnya. Kadang berbuat sesuka hatinya. Ada kalanya lelakunya dianggap nyeleneh. Orang tidak menyangka bahwa dia seorang wali. Ke manapun dia pergi, sedang apapun yang dia lakukan, seorang wali, lesan dan hatinya tak pernah putus berdzikir.

Nunuk kemudian menceritakan kejadian-kejadian maha gaib yang dialaminya di hutan semenjak kedatangan Sahid. Mulai dari karomah-karomah yang dimiliki Sahid hingga berjumpa dengan ribuan makhluk halus.

“Jadi kau melihat Gendro Swara Pati?”

“Iya, Mas. Di antara ribuan makhluk halus itu, Mas Sahid memanggil nama Gendro Swara Pati. Di situ aku benar-benar melihat wujud asli makhluk jahat itu. Sangat menyeramkan. Namun di hadapan Mas Sahid, mereka patuh dan tunduk. Bahkan Gendro Swara Pati ditempeleng oleh Mas Sahid.”

“Subhanallah. Beliau memang orang pilihan, Dik!”

“Iya, Mas!”

“Apakah Mas Sahid membinasakan Gendro Swara Pati?” Tanya Iksan.

“Tidak, Mas. Gendro Swara Pati hanya diusir saja. Dia tidak akan berani kembali menganggu.”

“Mengapa begitu?”

“Kata Mas Sahid dia tidak punya hak mengambil nyawa makhluk. Yang punya hak adalah Allah.”

“Semoga Allah senantiasa melindungi wali-waliNya,” doa Iksan.

“Amin,” jawab Nunuk.

“Setelah itu bagaimana dengan Mas Sahid?” Pertanyaan Iksan sekaligus memastikan status pernikahan Nunuk dengan Sahid.

“Setelah itu Mas Sahid pergi. Mungkin melanjutkan pengembaraannya, entah kemana aku tidak tahu. Yang jelas aku tak dapat mencegah kepergiannya. Sebelum pergi dia sempat memberiku pilihan untuk kembali padamu. Tapi…”

“Tapi apa, Dik!”

“Maafkan aku, Mas. Sekali lagi aku mohon ampun padamu jika pilihanku tidak menyenangkanmu. Aku tetap memilih bersama Mas Sahid. Bukan karena dia telah membebaskanku dari Gendro Swara Pati. Melainkan keputusan ini kupilih karena Allah.”

“Aku sangat paham dengan keputusanmu, Dik. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik buatmu dan Mas Sahid,” kata Iksan tanpa ada penyesalan sedikitpun.

Nunuk sudah bercerita banyak hal. Sekarang giliran dia menanyakan pada Iksan soal dirinya dan juga anak-anaknya.

“Mas Iksan sendiri bagaimana keadaannya?”

“Alhamdulillah, Dik. Aku baik-baik saja.”

“Bukan itu yang aku maksud. Mengapa Mas Iksan tidak menikah lagi!” Seru Nunuk.

Ah, soal aku tak ada yang perlu diceritakan, Dik. Dengan keadaanku sekarang ini, aku bisa fokus mendidik anak-anak.”

Perpisahan kedua insan itu memang menjadi tragedi kehidupan. Akan tetapi keduanya telah memilih jalan hidup masing-masing. Iksan memahami keputusan Nunuk tetap setia pada suaminya. Begitu pula Nunuk memahami keputusan Iksan untuk tidak menikah lagi. Hal itu tidak dibantah oleh keduanya.

“Anak-anak bagaimana keadaannya selama di pondok pesantren, Mas?”

Dari sini Nunuk menerima cerita perjuangan Iksan membesarkan anak-anaknya usai mereka berpisah. Betapa beratnya perjuangan ustad muda itu. Dia mati-matian mendidik anak-anaknya hingga mencapai tahap sekarang ini.
“Sulit dikatakan saat pertama kita berpisah. Jujur, saat itu aku benar-benar kehilangan arah. Tanpa kehadiranmu sebagai istri dan ibu dari anak-anak, sangat susah bagiku untuk menjaga mereka. Apalagi mereka harus berpisah dari ibunya di usia yang masih terlalu kecil. Aku juga tidak punya pengalaman menjaga anak-anak. Aku bingung saat itu harus bagaimana.”

“Maafkan aku, Mas. Telah menyusahkanmu!”

“Kau tidak salah, Dik. Keadaan yang membuat kita begini.”

Iksan meneruskan ceritanya, “Saat memboyong anak-anak ke pondok, ketiganya terus-terusan menangis mencari ibunya. Mereka minta pulang. Kalau Aisyah mungkin sudah besar, jadi tidak begitu susah memberinya pengertian. Tapi Fatimah, dia selalu rewel mencarimu. Muhammad juga setiap hari menangis karena mencari ASI ibunya.”

“Maafkan aku, Mas!”

“Beruntung di pondok banyak santri dan pengurus pondok yang membantuku. Saat aku sedang mengajar, Aisyah kutitipkan pada santriwati senior supaya dia punya teman. Sedangkan Fatimah kutitipkan pada pengurus pondok secara bergiliran untuk mengasuhnya. Untuk Muhammad, kyai sepuh berpesan agar aku mencarikan pengganti ASI ibunya. Beruntung di kampung ini ada seorang ibu muda baru melahirkan anak. Aku titipkan Muhmmad padanya. Alhamdulillah, dia bersedia menyusui Muhammad.”

“Siapa nama ibu muda itu, Mas?”

“Siti Maimunah.”

“Anaknya?”

“Anaknya Uwais. Dia sekarang menjadi saudara sepersusuan dengan Muhammad. Kau sekali waktu harus mengunjunginya. Rumahnya tidak jauh dari sini.”

“Iya, Mas!”

“Banyak orang telah membantuku merawat dan membesarkan anak-anak kita, Dik,” Iksan meneruskan ceritanya, “Setelah setahun berlalu, anak-anak mulai dapat beradaptasi dengan lingkungan. Awalnya Aisyah dan Fatimah tidur denganku di sana,” Iksan menunjukkan kamarnya.

“Dan setelah Aisyah dan Fatimah mulai mandiri, mereka minta tidur bersama santri-santri lain. Sementara Muhammad tidur denganku hingga sekarang. Itu pun butuh waktu 2 tahun bagi Muhammad untuk bersedia masuk pondok di saat usianya menginjak 4 tahun. Tepat setelah dilepas oleh ibunya Siti Maimunah,” tutur Iksan.

“Dari guru-guru pondok, anak-anak kita mendapat pendidikan agama. Alhamdulillah Aisyah dan Fatimah sudah hafal 30 juz Alquran. Mereka setiap hari mengaji kitab kuning bersama guru-gurunya. Sekolahnya tetap jalan seperti yang kau lihat. Meski ayahnya mengajar di sini, mereka tidak mau diistimewakan. Mereka tetap ingin dianggap sebagai santri seperti lainnya.”

“Alhamdulillah, Mas. Terima kasih kau telah bersedia merawat, membesarkan, dan mendidik anak-anak kita. Maafkan aku dengan segala kekuranganku dan tidak bisa menjadi ibu yang baik bagi mereka.”

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Dik. Semua sudah jalannya Allah.”

“Iya, Mas.” [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...