Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #22

Rinjani

Oleh: Jendra Wiswara

Memasuki musim kemarau, udara dingin mulai merambati sekujur tubuh. Tak seorang pun menyertaiku, hanya beban ransel yang terpikul di pundak. Aku melangkahkan kaki menuju terminal Ubung Denpasar. 

Beberapa langkah kaki turut menyertaiku. Mereka calo-calo terminal. Tampangnya lumayan seram. Pukul sepuluh malam suasana Ubung masih ramai. Para calo berlomba mengeluarkan rayuan gombalnya. Bus-bus hilir mudik, berjejalan memenuhi pelataran terminal. Pun angkot dengan sabar menunggu penumpang penuh baru berangkat. Tukang parkir sibuk mencatat nomer kendaraan yang keluar masuk. Penjual rokok dan minuman menawarkan dagangannya dengan cara berteriak-teriak. Pengemis dan pengamen jalanan menjadi sosok yang berkuasa.

Di antara mereka, aku menunggu angkot yang hendak membawaku ke Padangbai, pelabuhan paling ujung. 

Calo-calo angkot tak segan menaikkan tarif sebesar-besarnya. Sempat terjadi otot-ototan yang pada akhirnya aku harus mengalah. Dua jam perjalanan menuju Padangbai. Pukul nol-nol aku tiba di pelabuhan. Ini kali kedua sepanjang hidupku naik kapal ferry.

Bila naik pesawat terbang, mungkin lain ceritanya. 

Aku sendiri masih bingung menentukan waktu antara WIB, WIT, dan WITA.

WIB ke WIT terpaut satu jam. WIB ke WITA terpaut dua jam. Perhitunganku sendiri perjalanan melintasi selat Bali dan selat Lombok ditempuh selama empat jam. 

Di atas anjungan kapal, tempat paling leluasa melihat pemandangan. Namun sesuatu yang hebat menimpaku. Sesuatu itu membuat perutku dipilin-pilin. Ditendang. Diinjak. Sakit. Dari kerongkongan kurasakan sesuatu hendak menyembur keluar.
 
Aku mabuk.

Baru kali ini aku mabuk laut. Dengan angin malam yang kencang disertai ombak laut yang mengguncang-guncang kapal, ususku serasa ditampar-tampar. Kepala pening. Pandangan kabur. Bumi bergoyang, berputar membentuk lingkaran 180 derajat. 

Mabuk darat dapat kutahan, mabuk laut entahlah. Kucoba untuk menggerakkan badan, tapi rasa itu masih belum hilang. Kucoba turun dari dek, melihat air laut mungkin bisa mengobati sakit dadakan ini.

Di sana kulihat mobil, truk, motor yang terparkir bergerak-gerak. Rupanya air pasang laut telah membuat kapal ini seperti memiliki pikiran sendiri. Di bawah dek kapal gulungan ombak berkali-kali menghempas setinggi meter ke udara. Ngeri. Siapapun yang terjatuh kupastikan takkan selamat, meski mahir berenang. 

Keadaan ini tak kunjung memulihkan sakit dadakanku, justru makin menyiksa. Sebaliknya beberapa orang tampak santai. Lainnya malah tertidur pulas. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan kondisi laut. Aku, jangankan laut, ini adalah kali pertama aku bepergian jauh dari rumah. Menyebrangi dua pulau sekaligus.

Karena terlalu capek kuputuskan untuk berbaring di atas lantai geladak dengan berbantal ransel. Ternyata dengan tidur rasa sakit sedikit berkurang. Apalagi jika kau membayangkan orang-orang tercinta. Semua penderitaan seakan hilang. Dalam hitungan menit kesadaranku mulai hilang disertai mimpi-mimpi yang mengembara nun jauh di sana.  

Lewat waktu subuh, pukul empat, kapal tiba di pelabuhan Lembar. Aku turun. Satu jam menunggu angkot tak kunjung muncul. Rasa lapar mulai menghimpit. Tengok kanan, tengok kiri. Yang kulihat cuma penjual nasi bungkus. Lumayan untuk mengganjal perut.

Usai makan, sebuah colt tiba. Lagi-lagi aku harus berurusan dengan transaksi menyebalkan. Adu otot tak terhindarkan. Aku kalah. Namun kali ini aku ingin diantar ke Universitas Mataram (Unram). Teman-teman Surabaya pernah mengingatkanku jika ingin ke Rinjani harus mampir dulu ke kampus Mataram. Entah hukumnya wajib atau tidak, tapi petunjuk mereka kuikuti juga.

Kepada sopirnya aku minta diantar ke sekretariat Grahapala Rinjani Universitas Mataram. Aku yakin para sopir ini sudah biasa mengantar pendaki ke sana. Jadi aku tak perlu susah-susah menanyakan alamatnya. 

Setiba di sana aku diterima seorang wanita, mungkin anggota pecinta alam (PA).

“Apa kabar, mau ke Rinjani?” Kami berjabat tangan ala pendaki. 

“Sendirian saja, Mas?” Dia bertanya heran. 

Ternyata benar, kunjungan ke Unram memang sangat kubutuhkan. Selain bisa istirahat barang satu jam, aku juga butuh petunjuk rute perjalanan. Mereka memberiku rute dalam bentuk peta. 

Untuk mendaki Rinjani, katanya, ada dua jalur pendakian: Bayan dan Sembalun. Keduanya sangat asing bagiku. Kupilih Sembalun saja.

Sebelum berangkat, teman-teman dari Unram memberiku pengarahan mengenai Sembilan Bukit Penderitaan. Pikirku, ya nanti pasti ketemu juga dengan bukit itu. 

Pukul delapan pagi aku berangkat. Di terminal Sweta, Mataram, calo-calo menyambutku dengan gegap gempita. Bagai melihat mangsa segar aku dikerubungi seolah: I’am the next victim.

Sempat terbesit kebanggaan, kedatanganku membawa rejeki bagi mereka. Sayang, aku sempat dibuat tidak ngeh oleh ulah-ulah para calo. Cara mereka mencari rejeki lebih menyerupai paksaan ketimbang tawaran. Risih juga melihatnya. 

Perjalanan menuju Rinjani ternyata tidak semudah yang kubayangkan. Selain rutenya panjang, aku harus menempuh perjalanan dengan memutari hampir separuh pulau Lombok.

Dari Lombok Barat, Lombok Tengah hingga Lombok Timur. Jauh sekali. 

Belum lagi sampai tujuan, aku kembali didera kesusahan dengan diturunkan di sebuah pasar atau terminal paling ujung bernama Aikmel. Di sini aku terpaksa menunggu kendaraan selama berjam-jam. Adanya kendaraan pun belum bisa memastikanku berangkat. Sebab awak kendaraan tidak bersedia mengantar bila penumpang yang menuju ke Sembalun kurang dari lima orang.

Udara siang mulai membakar kulit kepala. Resah menghinggapi. Sampai kapan aku harus menunggu begini. Tiada seorang pun dapat kuajak ngobrol. Di pinggir jalan, di kampung orang, ratusan kilometer dari rumah, sendirian pula, benar-benar menyesakkan. Haruskah aku bermalam di sini? Tapi dimana? Bukankah perjalanan yang harus kutempuh masih panjang? 

Tiba-tiba lelaki berperawakan sangar mengambil ranselku. Tanpa bicara dia kemudian lari menuju kendaraan yang terparkir 10 meter dari tempatku berdiri. Baru kuketahui dia seorang kernet. Yang tak kusuka caranya, sangat tidak ramah. Aku sempat ngomel. Dia bilang kalau mau berangkat sekaranglah saatnya. Berangkat sih berangkat, tapi berapa ongkosnya, kataku.

Pengalaman sebelumnya membuatku mawas diri. Di sini rata-rata para sopir dan kernet maunya menang sendiri. Konyol jika termakan janji-janji mereka tanpa deal yang jelas. 

Setelah terjadi kesepakatan, akhirnya kulanjutkan perjalanan. Kali ini perjalanan sedikit menantang. Kendaraan yang kutumpangi harus meliuk-liuk melintasi bukit-bukit. Naik turun, naik lagi, turun lagi.

Sesekali kami, para penumpang harus turun ketika melintasi tanjakan yang curam. Salah melangkah, jurang menunggu di depan. Keluar masuk hutan menjadi rutinitasku selama lima jam. Ketegangan sedikit terobati manakala kendaraan menyisir pantai-pantai. Sekali lagi melihat deburan ombak menggulung-gulung mengingatkanku pada Kuta.  

Pukul lima sore akhirnya aku tiba di Sembalun Lawang. Turun dari mobil aku langsung disambut pemandangan alam pegunungan nan indah. Aku tak jua bergerak menikmati pemandangan kampung Sembalun. Penduduk desa sangat ramah. Mereka selalu melemparkan senyum dan sapaan setiap kali bertemu dengan orang asing. Setelah puas aku segera mendaftarkan diri di pos penjagaan sebagai syarat kelengkapan administrasi sebelum mendaki gunung Rinjani.

Tanpa terasa hari sudah senja. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh. Aneh, padahal matahari belum tenggelam. Inilah bedanya WIB dan WITA, terpaut 2 jam. Semakin malam udara pegunungan kian menyengat kulit. 

Kabut pegunungan perlahan turun dengan membawa kelupan asap putih yang mengibas-ngibaskan keperkasaannya di atas rumah-rumah penduduk. Aku keluar sebentar. Tak seorang pun tampak. Dari kejauhan cuma kudapati lampu-lampu minyak penduduk yang menerangi seisi rumah. Saat itu kurasakan sebuah kedamaian.

Sempat terlintas dalam benak: betapa bahagianya mereka yang berada di sini. Jauh dari mana-mana. Tak perlu repot memikirkan permasalahan yang dihadapi manusia perkotaan. Damai. Tenang. Tuhan Maha Adil.

Malam itu aku menginap di pos penjagaan. Perjalanan dilanjutkan keesokannya. 

Pukul tujuh pagi, aku terjaga. Hal pertama yang kulakukan adalah melakukan packing, pengecekan perbekalan. Ketika mentari ngintip dari balik perbukitan, aku tahu ini saatnya.

Perjalanan kumulai dengan melewati ladang-ladang penduduk. Masih sendiri. Tak ada teman. Pun tanda-tanda sesama pendaki belum nampak. Hari ini petugas penjagaan memberitahukan, bahwa di atas ada lima pendaki dari Jakarta yang baru kemarin berangkat. 

Jalur pendakian relatif datar. Untuk memasuki pos kedua dibutuhkan waktu 2-3 jam. Sedangkan antara pos dua dan tiga berjarak dibutuhkan 1,5-2 jam. Dari kedua pos ini yang kutemui hanyalah padang savana, tanpa ada pepohonan rindang sebagai tempat berteduh. Kondisi jalan sedikit menanjak, namun seringkali aku harus memutar.

Sesampai di pos ketiga aku beritirahat sejenak. Makan-makan, ngemil, tidur dan sholat. Pemandangan di pos ketiga tidak begitu mengasikkan. Banyak ranting berserakan serta pohon-pohon tumbang. Sedang di belakangku jurang terjal. Entah berapa kedalamannya, aku sendiri enggan mengukurnya. 

Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Hari masih terang, perjalanan dilanjut. Inilah kesalahanku yang fatal akibat tidak paham rute. Maka sepanjang perjalanan menuju Plawangan Sembalun, aku disambut ketakutan tiada henti. Daya tahan fisik dan mental benar-benar kubutuhkan agar dapat survive.

Yah, akibat meremehkan cerita teman-teman Unram, mau tak mau akhirnya aku harus berhadapan dengan Sembilan Bukit Penderitaan. Seandainya ada teman yang bisa kuajak sharing, mungkin aku akan menangis di pangkuannya. 

Sebelumnya teman Unram berpesan demikian: jika melewati Sembilan Bukit Penderitaan sebaiknya persiapkan mental kuat. Sebab tidak sedikit para pendaki yang mengalami drop dan balik kucing. Beruntung bagi mereka yang memutuskan pulang. Sial bagi mereka yang kemudian pingsan di tengah jalan akibat stres.

Istilah Sembilan Bukit Penderitaan memang baru kali ini kudengar. Kupikir bukit penderitaan tak beda dengan bukit-bukit lain. Biar sembilan atau dua puluh bukit penderitaan sama saja. Sembilan Bukit Penderitaan terletak di atas pos ketiga, ke arah Plawangan Sembalun. Treknya bikin bulu kudu berdiri. 

Sangat…sangat…terjal. Nyaris mendekati kemiringan 90 derajat.

Jika tidak berhati-hati bisa gulung kumingSial kalau nyemplung jurang. Tanjakan demi tanjakan melintasi lereng-lereng cukup menguras tenaga serta pikiran. Tantangan yang sesungguhnya sudah menghadang di depan mata. Entah berapa kali aku harus berhenti. Keluar masuk hutan. Sementara beban ransel seberat tiga puluh kilogram mulai terasa di punggung dan sendi-sendi. Kaki terasa ngilu.

Andai kudapat melihat wajahku sendiri, alangkah menderitanya aku waktu itu. Belum lagi bertebarannya kabut dingin yang turun, kelelahan sudah menjadi-jadi. Mata mulai sulit diajak kompromi. Ngantuk tak terbendung. Stres menggelayuti. 

Yang menyesalkan, di tengah-tengah hutan rimba aku harus bertarung sendirian. Ketika hari mulai senja, ketakutanku kian menggema yang kemudian mengusung pikiran-pikiran kosong. Beberapa kali aku jatuh bangun, berhenti, dan berjalan lagi. Sesekali kuatur nafas, pun ritme pendakian kulakukan dengan sangat pelan tapi pasti.

Jujur, medan Rinjani belum pernah kutemui sebelumnya. Dari kejauhan aku melihat sebuah bukit. Semula kukira sudah sampai. Dan setelah kulalui yang kudapat malah bukit berikutnya hingga mencapai sembilan. 

Keterjalan gunung Rinjani kuakui hampir dimiliki semua gunung-gunung di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dari gunung Semeru, Arjuno-Welirang, Penanggungan, Lawu, Merapi-Merbabu, hingga Slamet-Senduro-Sumbing.  

Kendati lelahsetidaknya aku masih bersemangat karena dapat menyaksikan pemandangan alam Rinjani. 

Sembilan Bukit Penderitaan adalah titik awal menuju puncak. Setelah seharian berjalan–hampir 15 jam–akhirnya aku tiba di Plawangan Sembalun tepatnya pukul sembilan malam.

Coklat pemberian Astrid segera kubuka untuk memulihkan tenaga sembari menikmati keindahan danau Segara Anak yang diterangi cahaya rembulan. 

Di sini aku mendirikan tenda. Beberapa tenda dari pendaki tampak berjejer. Mereka menyambutku dengan suka cita.

“Yang lainnya mana, Mas?” Tanya seorang dari mereka. 

“Sendirian, Mas!” Sahutku, “Mas darimana?”

“Jakarta!” 

“Saya Surabaya.”

Kami berkenalan. 

“Kalau lapar Mas datang saja ke tenda kami,” seorang menawarkan minuman hangat padaku.

Mereka kemudian membantuku mendirikan tenda. Cuma selama membereskan itu aku disapa ratusan primata liar berekor panjang. Mereka datang bergerombol seperti hendak mengeroyok. Kera-kera ini suka menganggu kemah para pendaki. Mereka pandai membuka tenda dan mengambil makanan. 

Di saat lengah, seekor kera mendekat dan mencuri logistikku. Saat kukejar dia lari menuju bibir jurang bersama lainnya. Di sana dia berpesta bersama teman-temannya.

Malamnya, aku bertemu dengan penduduk yang turun dari puncak usai melakukan ritual. Dengan membawa obor disertai anjing peliharaannya, mereka berpesan supaya berhati-hati membawa logistik. Sebab primata itu sewaktu-waktu bisa mencuri makanan. 

Dulu, kata penduduk, kera-kera tersebut masih alami. Tapi setelah kedatangan pendaki-pendaki bule, kera-kera ini jadi manja. Mereka sering diberi makanan keju, roti, kornet, mie instant dan sebagainya. Jadi, salahkan saja pendaki bule jika kera-kera itu jadi pencuri ulung.

Hari itu aku beristirahat total. Sebab besok masih harus meneruskan perjalanan ke puncak. 

Tepat pukul tiga dinihari, perjalanan diteruskan. Seorang pendaki membangunkanku. Kali ini aku tak perlu membawa ransel yang berat. Perjalanan ke puncak membutuhkan waktu 3-4 jam. Semua barang bawaan kutinggalkan di tenda, kecuali back packing berisi makanan secukupnya.

Aku sempat kewalahan menaklukkan puncak Rinjani sebab treknya berkerikil dan berpasir. Enam pendaki termasuk aku akhirnya berhasil mencapai puncak sebelum sunrise. 

Dari atas panorama pulau Lombok terbentang luas. Nyaris-nyaris semua mata dapat memandangnya. Indah. Lekukan-lekukan pulau Lombok yang terpotong di antara bibir-bibir pantai terlihat dengan jelas.

Dari kejauhan Lombok berwarna kebiru-biruan. Kalau seluruh kepulauan Lombok tampak dari puncak Rinjani, kenapa aku harus mengunjungi tempat-tempat indah tersebut. Toh, aku sudah melihatnya semua. Lagipula kata orang Lombok, jika kau berhasil menaklukkan puncak Rinjani, itu sama dengan menaklukkan seluruh kepulauan Lombok. 

Gunung Rinjani atau dikenal Rengganis ini memiliki ketinggian 3.726 mdpl, mendomonasi sebagian besar luas pulau Lombok. Terletak di sebelah timur pulau Bali. Dia termasuk gunung tertinggi ketiga di Indonesia setelah Jaya Wijaya dan Kerinci.

Rinjani masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani, dengan luas taman sekitar 40.000 hektar. Dikelilingi oleh hutan dan semak belukar seluas 76.000 hektar. Memiliki kawah dengan lebar sekitar 10 km, terdapat danau kawah yang disebut Segara Anak dengan kedalaman sekitar 230 m. Air yang mengalir dari danau ini membentuk air terjun yang sangat indah, mengalir melewati jurang yang curam. Di danau terdapat ikan yang berlimpah. 

Sementara puncak Rinjani diyakini masyarakat Lombok sebagai tempat bersemayam ratu jin, penguasa gunung Rinjani yang bernama Dewi Anjani. Dari puncak ke arah tenggara terdapat sebuah kaldera lautan debu yang dinamakan Segara Muncar.

Pada saat-saat tertentu dengan kasat mata, dapat terlihat istana ratu jin. Pengikutnya adalah golongan jin yang baik-bauk. 

Menurut kisah masyarakat Lombok, Dewi Anjani adalah seorang putri raja yang tidak diijinkan oleh ayahnya menikah dengan kekasih pilihannya, maka ia pun menghilang di sebuah mata air yang bernama Mandala, dan kemudian berubah menjadi penguasa dunia gaib.

Percaya atau tidak, toh puncak Rinjani sampai kini diyakini sebagai tempat yang wingit. Kendati demikian kedatangan kami bukan untuk menganggu penunggu Rinjani. Kami datang dengan damai sambil mengibarkan bendera merah putih di puncak Rinjani penuh kebanggaan. 

Ini adalah momen tak terlupakan. Karena saat itu aku tidak membawa kamera, aku lantas nunut pendaki lain berfoto. Aku bilang pada mereka kalau fotonya jadi tolong dikirim ke emailku. 

Satu jam di puncak kami disapu angin kencang. Kami buru-buru turun dan melanjutkan perjalanan ke danau. 

Dari atas pemandangan Danau Segara Anak sungguh menggiurkan mata. Sekali lagi perjalanan–meski treknya turun–ditempuh dengan super hati-hati. Selain terjal, jalanan setapak juga berbatu-batu. Aku kadang harus merambat dan merangkak untuk sampai ke bawah. Kadang berpegangan pada akar-akar yang menjuntai di bibir tebing agar tak terjatuh.

Terus terang aku cuma bisa geleng kepala melihat rute demi rute yang ditampakkan Rinjani. Semoga sekarang dan selamanya Rinjani tak memakan korban jiwa. Biarlah Rinjani bangga dengan dirinya sendiri tanpa harus mengorbankan orang lain. 

Sesampai di danau, tidak ada yang bisa mewakili kegembiraanku. Menerkam hawa dingin gunung Rinjani merupakan pengalaman tak terlupakan.

Membayangkan diri menyusuri lembah bukit penderitaan adalah tantangan terberat. Menuruni bukit terjal danau menjadi kebanggaan tersendiri. 

Rasa letih sehabis memanggul beban berat tiba-tiba sirna. Warna biru danau Segara Anak telah menyejukkan hatiku. Inilah salah satu keeksotisan Rinjani, yakni danau Segara Anak yang terbentuk secara vulkanik akibat letusan gunung Rinjani.

Danau ini terletak di ketinggian 2800 mdpl dan kaya akan flora fauna. Kekayaan danau ini sering dieksploitasi oleh penduduk setempat dengan mengambil ikan-ikannya. Namun satu yang perlu dicatat adalah kearifan penduduk setempat sehingga eksploitasinya tidak sampai menimbulkan kerusakan lingkungan. 

Ikan-ikan yang banyak terdapat di danau ini adalah ikan mas, mujair dan karper. Pada bulan Februari 2005 tim pendaki dari Astacala berhasil menombak ikan mas seberat 3,5 kg.

Danau Segara Anak dipercaya warga setempat mempunyai tuah yang dapat menyembuhkan penyakit, juga sebagai tempat pemujaan mendapatkan benda-benda sakti. 

Di dekat Segara Anak terdapat gunung kecil yang disebut Gunung Baru. Jarang orang bisa mencapi puncak Gunung Baru walau menurut informasi sudah ada jalur menuju kesana. Bisa jadi hal ini disebabkan Gunung Baru masih aktif dan mengeluarkan gas.

Seorang pendaki menyempatkan diri memancing. Ikan di danau sangat besar seukuran paha orang dewasa. Kebanyakan ikan karper. Di sinilah dulu ikan-ikan ini ditanam oleh mendiang Presiden Soeharto. 

Saat itu aku segera menceburkan diri ke air. Kendati kadar airnya bercampur belerang, tapi tak membuatku risih. Kebahagiaanku tidak berhenti sampai di situ. Usai menikmati mie rebus serta hangatnya kopi, malamnya aku menuju ke pemandian air panas. Letaknya tak jauh dari danau.

Pemandian tersebut memiliki dua hingga tiga pancuran. Airnya bersumber dari atas gunung. Seperti pemandian air panas Pacet, Jawa Timur, di sini juga mengandung belerang. Baunya sangat menyengat. Cocok bagi yang memiliki masalah dengan kulit. Soal jerawat, panu dan kadas, kurap, kujamin pasti hilang. 

Cukup lama aku berendam di air panas sampai-sampai lupa kalau hari sudah larut. Kuputuskan kembali ke tenda. Namun ketika hendak masuk tenda, seorang warga setempat mendekatiku dan menawari ikan hasil tangkapannya.

“Dua lima ribu saja, Mas!” Tawarnya. 

Besar amat, pikirku. Pasti enak kalau dibakar. Terus bagaimana membakarnya. Lelaki tersebut menawarkan diri. Aku kebagian masak nasi, dia ikannya.

Malam itu aku dan sang pemancing membakar ikan di tepi danau. Dari sini kuketahui kalau dia adalah orang Sasak, suku asli Lombok. Dia pula yang bersama teman-temannya kutemui baru turun dari puncak Rinjani setelah melakukan ritual sajian. Tak ayal, kami pun terlibat obrolan semalaman suntuk. Bahkan darinya kutahu cerita-cerita mengenai kehebatan suku Sasak yang terkenal itu, berikut budaya orang-orang Lombok jaman dulu. 

[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...