Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #24

Perpisahan

Oleh: Jendra Wiswara 

Mentari menyeruduk memasuki pori-pori kulit kepalaku, aku telah menginjak Denpasar. Reza duduk di galeri memandangi lukisan terbarunya. Bibirnya komat-kamit. Ucapannya tak jelas, mungkin juga mengkhayal. Kau, lukisanku yang indah sekali. Wajah dan senyumnya bersih, seperti orang yang hendak menyerahkan semua kesulitan dunia pada Tuhannya, dan bersyukur pada setiap kegembiraan sekecil apapun yang didapatnya.  

“Assalamualaikum!” Aku uluk salam. 

“Waalaikumsalam, baru tiba Mas?”

“Iya.” 

Kujawab sekenanya tanpa peduli lukisannya. Ransel kurobohkan di sebelahnya. Pantatku langsung kuletakkan di serambi panjang yang mirip ambin. 

Alhamdulillah, kamu selamat. Sejak ada kamu, Astrid jadi rajin mengunjungiku. Ia selalu was-was menanyakan keselamatanmu.” Ia membuka pembicaraan.

“Wajar. Kita kan sahabat.”

Sambil menunggu kedatangan Astrid, kami berdua duduk di depan galeri. Memandangi lukisan-lukisan. Reza pergi ke dapur dan kembali dengan dua gelas kopi di tangan. Ia tertawa senang, tertawa seorang yang barangkali tidak yakin pada kekuatan sendiri. Aneh.

“Kok tertawa, Mas!” Aku tidak mengerti.

“Ah, tidak. Aku cuma mengagumi keberanianmu saja keliling Bali dan Lombok tanpa membawa bekal cukup.”           

“Bukan berani, Mas. Tapi nekat.” Jawabku.

Pada saat itu Reza menggelontorkan uneg-unegnya. Harapannya keliling dunia. Paris tujuan utamanya; tempat pelukis-pelukis handal berkumpul. Dari sana pula lahir pelukis-pelukis top dunia. 

Lelaki berkumis tipis itu mempunyai cita-cita setinggi langit. Ia ingin, suatu hari dapat bertemu dengan pelukis dunia dan belajar bagaimana menjadi pelukis yang handal.

Meski tidak menjadi seperti mereka, setidaknya Reza dapat mengikuti jejak-jejak pendahulunya, orang-orang se-profesi, se-ilmu, se-pemikiran, se-paham. 

Reza bercerita padaku pernah keliling Asean. Eropa, baru Belanda.

Baguslah, kataku.           

Enak kau Mas, batinku, punya banyak uang. Dengan itu kau bisa pergi kemana-mana sesukamu. Kau seorang pelukis yang berasal dari keluarga berada. Sedang aku, jangan harap bisa keliling dunia. Sekarang saja uangku tersisa Rp 200 ribu. Entah cukup untuk berapa hari, atau berapa kali perjalanan.

Namun bagaimana pun aku sangat mendukungmu. Tujuanmu benar-benar mulia. Semua orang memang butuh kemuliaan. Tak terkcuali raja atau presiden, ulama, pejabat, hingga rakyat jelata. Meski tidak pada manusia, kemuliaan bisa kita dapatkan pada Tuhan. 

Pertanyaan yang kemudian timbul, kalau semua orang mulia, maka kemuliaan itu tidak ada. Tapi bagaimana kalau yang satu mulia, yang lain tidak, bukankah kira-kira yang satu sudah merampas kemuliaan yang lain. Itu tidak adil namanya.

Setiap orang berhak mendapatkan surga. Bukan ulama saja. Lebih baik terpuruk di hadapan manusia daripada di hadapan Tuhan. Kemuliaan itu bisa diraih dengan cara mengenal diri, mengenal Tuhan, dan mengenal dunia serta akhirat. 

Mengenal diri adalah dengan menegakkan sifat kehambaan (Ubudiyah) rasa hina di hadapanNya dan menyadari diri sebagai orang yang asing di alam dunia ini, hanya sebagai seorang musafir dari dunia menuju akhirat.

Barangkali suatu hari aku bisa mengikuti jejak Reza berkeliling dunia. Ya, jika aku punya uang.

“Kalau Mas sendiri apa yang dicari. Setelah ini pun mau kemana lagi?” Dia bertanya padaku.

“Entahlah, Mas. Mungkin Jawa.”

“Kenapa pilih berkeliling naik motor. Bukankah naik motor melelahkan, begitu juga mendaki gunung. Sudah bebannya berat, eh sesampai puncak cuma sekian menit. Apa tujuan yang hendak dicari?” 

“Pertanyaan Mas sudah sering ditanyakan temanku. Bukan sekali, tapi ribuan kali. Jika ditanya mengapa aku susah-susah mendaki gunung. Padahal banyak tempat lain yang bisa dijangkau dengan mudah. Jawabanku singkat. Karena aku hidup.”

Aku tidak paham. 

Kujelaskan mengenai pemikiranku hingga kenekatanku yang timbul karena adanya sebab. Sebab itu: Kayla. Bahwa semua yang hidup pasti ada sebab dan akibatnya. Begitu pula hidup.

Kalau aku tidak hidup, tidak mungkin aku dapat berkeliling kesana kemari. Setiap orang punya permasalahan. Yoga, Heru Aman, Kadek, Selin, Tessa, Reza, dan Astrid, punya masalah masing-masing. Dan setiap masalah pasti ada titiknya. Entah apa. Mereka juga sedang berproses dengan masalahnya. Mencari solusi.

Pun aku.

Selama berkeliling aku merasa sesuatu yang besar telah menggerakkan kedua kaki dan tanganku, punggungku, perutku, panca inderaku, nyawaku, serta rohku. Sesuatu itu berada di mana-mana. Tapi aku lebih senang mengistilahkan sesuatu itu berada tak jauh dariku. Sangat dekat sedekat urat nadiku. 

Dialah yang  menggerakkanku, melangkahkanku, membimbingku, mengiringiku, mengarahkanku dalam mencari pembenaran diri.

“Berarti tujuan berkeliling cuma Allah?” Reza bertanya lagi. 

“Kenapa tidak. Kita hidup di alam dimana selalu dilingkupi kekuatan yang Maha Gaib (batin) dan Maha Dhohir (nyata).”

Apa yang membuat manusia menjadi manusia, temanku pernah menanyakannya. Kukira manusia menjadi hebat karena pilihannya. Pilihan baik atau buruk, bukan suatu kefatalan yang mesti disesali melainkan harus dipertahankan agar tercapai keselarasan. 

Sesal sendiri adalah siksa. Sebaliknya kata-kata hidup terlalu panjang, adalah uraian seorang yang depresi, kalut, bingung, dan tak punya sangkan-parannya. Entah aku masuk kategori mana, harmonikah atau kebimbangankah?

Berdiri di atas kapal, di atas gunung, mengagumi keindahannya yang terkandung di dalamnya, berkali-kali melihat matahari terbit dari timur dan tenggelam ke barat, menerawang menembus batas cakrawala, adalah pilihanku. 

Jika saat ini kulihat banyak orang berlomba-lomba mencari ridhoNya, itu hal yang wajar. Tujuan mereka sama, caranya saja yang berbeda.

Reza jadi pelukis, dan aku jadi jurnalis. Kau dengan caramu sendiri, dan aku dengan caraku sendiri. Sama-sama menjalani kodrat. Namun tidak sedikit yang menyerah ketika perjalanan spiritualnya sudah mencapai puncak. Mungkin aku salah satunya, pada saatnya nanti. Karenanya setiap orang harus memiliki penentangan diri terhadap segala syahwat yang merupakan bentuk pemisahan (tajrid) bahkan pengesaan. 

Reza pun terdiam. Aku juga.

***           

Tak terasa sudah larut. Aku dan Reza sudah berbincang panjang lebar. Sedang yang ditunggu tak jua nampak batang hidungnya. Barangkali esok, pikirku. Atau mungkin Astrid tidak tahu kalau aku sudah sampai Denpasar. Mungkinkah Reza lupa mengabarinya? Biar saja Reza yang menghubungi. Selama ini aku sudah terlalu merepotkan Astrid. Seandainya ia tidak datang karena kesibukannya, aku maklumi. Jadi tak perlu susah-susah mengucurkan air mata perpisahan.

“Mas, menginap saja di sini barang beberapa hari. Lagian aku juga butuh teman sharing,” saran Reza. 

“Terima kasih sebelumnya. Memang aku bermaksud untuk menginap sambil menunggu Astrid.”

Tiap kali menyebut nama Astrid, lelaki itu nampak tak bergairah. 

Malam itu, di bawah lantai dengan berbalut selimut apa adanya serta bantal terbuat dari kayu, kami dibawa pergi oleh buaian mimpi masing-masing.

Esoknya saat mentari menyingsing dan pancarannya nyelonong memasuki celah-celah jendela kaca, kami terbangun. Reza tak kutemui. Namun, seorang wanita muda dengan dandanan layaknya orang kantoran duduk di sampingku. 

“Astrid!” Pekikku.

Aku segera beranjak. Rambut gondrongku cepat-cepat kurapikan agar tidak menakutinya. Sudah lamakah ia duduk di sana. Pasti ia melihatku ngorok, lebih baik ngorok daripada ngiler. Malu aku.    

“Kau sudah pulang, Mas. Kenapa tidak mengabariku?”

Ia menggeser tempatnya dan duduk bersebelahan di lantai denganku. Kakinya diselonjorkan. Kulitnya nampak mulus. Dasar semprul, bangun-bangun otak sudah ngeres. 

Entah apa yang membawaku tiba-tiba mataku tertuju pada betis indah di hadapanku.

Astrid menatapku. Ia mengangkat muka. Mata, wajah, dan bibirnya menunjukkan kewaspadaan. Tak lama kewaspadaan itu pun mengendor. Ia menghembuskan nafas sambil berkata, “Alhamdulillah kamu selamat,” dan langsung memelukku. 

“Iya,” sambutku.

“Setelah ini kamu mau kemana?” 

“Mungkin Jawa. Eh, tapi gau tau ding, lihat saja nanti,” kataku.

“Kapan kamu pergi?” Ia tersenyum dan memandangi aku tanpa segan-segan. Dan waktu aku perhatikan wajahnya baru ia membuang muka, tersipu-sipu. 

“Mas Reza suruh aku menginap, barangkali dua hari lagi.”

“Kelihatannya kamu sudah akrab dengan Mas Reza!” 

“Dia baik. Semua orang menyukainya.”

Sebelum berlalu dari hadapanku, Astrid menyeringai. Ia berpesan padaku sebelum berangkat ingin bertemu untuk terakhir kalinya. Aku mengangguk. 

Selama di Denpasar, seluruh hidupku ditanggung Reza. Makan dan rokok. Bahkan Reza mengajakku berkeliling ke tempat-tempat yang belum pernah kudatangi, Astrid juga ikut.

Saking banyaknya tempat-tempat yang kusinggahi, sampai-sampai aku tak bisa mengingat satu persatu. 

Tiga hari setelahnya adalah hari yang dinanti-nanti. Perpisahan tak terbendung. Derai air mata bak air hujan turun dari langit membasahi seluruh jagat.

Sewaktu pamit, Astrid terlihat tidak senang. Sekali ia nampak berusaha keras menindas perasaannya. Telunjuknya mengetuk-ngetuk lututnya dan matanya tidak tenteram. Ia bergulat dengan perasaannya sendiri. Ia duduk menekur di atas ambin galeri. Nggondok (istilah Jawa). 

Seluruh ruangan serasa penuh sesak dengan isak tangisnya. Tembok putih dengan langit-langit besi berbunga-bunga, dan dicat krem itu, terasa bergerak oleh suaranya. Kepergianku rupanya membawa kesedihan. Aku maupun Astrid merasa ini adalah pertemuan terakhir. Setelah ini mungkin kita takkan bertemu untuk waktu yang sangat lama. Entah kemana Astrid bakal membawa kegelisahannya; menyusul kakaknya ke Belanda, berkeliling dunia seperti yang dicita-citakannya, menikahi Maha (direkturnya) atau menerima pinangan Reza yang sudah lama menaruh hati padanya.

Kalau kegelisahanku, ya hanya dapat kurasakan sendiri di dasar hati.  Bagaimana juga Astrid pernah menjadi bungaku dan selamanya akan seperti itu. Sesungguhnya ia patut dicintai. Permata yang pernah membikin hidupku cemerlang, membikin aku cemburu terpilin-pilin. 

Ia layak mendapat yang terbaik. Di sana, entah kapan, mungkin suatu hari akan ada lelaki yang bakal mengisi hidupnya. Bukan aku, pastinya. Ia sendiri tahu jawabannya. Antara kau dan aku tak mungkin bersatu. Kita ini seolah dipisahkan oleh suatu kekuatan besar. Dalam keadaan begini hanya kebalauan yang muncul dalam diri ini. Namun semua itu takkan sia-sia, percayalah. Bumi dan langit milik Tuhan. Hati dan jiwa raga milikNya pula. Kalau Dia benar-benar penguasa segalanya, maka biarlah Dia memperlakukan kita sesukanya. Kita tak perlu membantah.

Sebelum pergi, sekali lagi kebaikan Astrid tak henti-hentinya dipertontonkan padaku. Namun kali ini kebaikannya terpaksa kutampik. Ia memberiku sejumlah uang dan bekal. Lumayan banyak. Kalau kuhitung cukup untuk sebulan berkendara. 

“Kebaikanmu sudah terlalu banyak!”

“Pokoknya kamu terima saja. Kalau tidak aku akan menyesal nanti.” Suaranya mengandung protes, amarah, kejengkelan, duka-cita, beraduk menjadi satu. Aku dapat sepenuhnya ikut merasakan kekecewaan dan duka citanya.   

“Terima kasih. Dan jangan kamu menyesal. Itu tidak baik.”

“Tapi kita kan sahabat!” Astrid keukeuh dengan keinginannya. 

“Astrid, kali ini aku tak butuh bekal sebanyak itu. Apa yang ada pada diriku sudah cukup (walau uang tinggal Rp 200 ribu),” kataku.

“Bagaimana kalau kamu nanti kehabisan bekal. Bagaimana kalau kamu kelaparan di jalan?” 

“Aku bisa berpuasa!” Jawabku ragu-ragu.

Membayangkan berpuasa karena lapar belum pernah ada dalam kamusku, kecuali berpuasa karena pahala. 

“Jika kehabisan bensin?”

“Insya Allah, uangku masih cukup untuk perjalanan nanti.” 

“Jika motor mogok atau rusak di jalan bagaimana?”

“Akan kutuntun dan kumasukkan bengkel.” 

“Tapi kamu tak punya uang.” Pertanyaannya masih terkesan memaksa agar kubersedia menerima uangnya.

“Aku akan tinggalkan KTP atau SIM, setelah itu baru kuambil lagi, entah kapan?” 

“Lalu kamu nanti akan menginap di mana?”

“Alhamdulillah, sampai sekarang masalah menginap aku tak pernah kebingungan. Selama ada masjid, aku bisa tidur di sana.” 

Aku bangkit dari tempatku. Ia menyambutku dengan senyuman. Dagunya yang lancip ditarik ke depan. Wajahnya berseri-seri dengan sisa-sisa air mata yang mulai hilang dari pipinya. Lagi-agi matanya cemerlang. Lebih dari itu, ia cantik sekali.

Astrid kemudian bangun dan menggelendot pada tubuhku, menggigil menahan ketakutannya sendiri. Desau nafasnya yang megap-megap menulikan telingaku. Aku menggoncang-goncangkan bahunya. Kubisikan kata-kata. “Sudahlah, jangan bersedih lagi. Kamu tak boleh menangis untuk siapapun, apalagi untuk aku. Kamu perempuan tegar. Lebih tegar dari semua perempuan yang pernah kukenal. Sampai kapan pun kebaikanmu takkan kulupakan. Semoga Tuhan membalasnya. Lebih baik uang sebanyak itu diberikan pada orang-orang yang membutuhkan. 

Saat itu aku benar-benar sedang dihadapkan dengan masalah kehidupan yang berliku di bawah permukaan, yakni hasrat dasar manusia yang hanya dikenal oleh pribadi-pribadi. Suatu kehidupan yang riuh-rendah dengan peristiwa tanpa pendalaman, bergalau memencak dan berjingkrak di atas panggung kehidupan.

Awalnya aku datang dengan keberanian dan kejujuran. Ia pun menyambutku dengan suka cita serta termangu-mangu pada akhirnya. 

“Astrid…” aku tak dapat meneruskan kata-kata.

Perpisahan memilukan itu bubar dengan meninggalkan kesan mendalam tentang dua anak manusia yang ingin meninggalkan sesuatu pada dunia ini tanpa dikenal orang. 

Aku tahu diriku telah kehilangan harga di mata dan hatinya. Memang, aku sudah kehilangan harga, juga untuk diriku sendiri. Hanya gebyar palsu saja masih menyelubungi tubuhku.

Aku segera tinggalkan Denpasar. Astrid yang selalu di hatiku, Reza pelukis elegan, Heru Aman penguasa koran dengan kemundurannya, Selin dan Tessa yang sedang mengobati kegundahan hati, kehebatan dan keunikan Bali dan Sasak, serta Rinjani yang memiliki panorama keindahan serta kegarangannya membunuh, dengan hati sejuk membawa kesegaran dalam pikiran kutinggalkan itu semua.

Dari sini hanya satu yang kubawa pergi: Pengetahuan dan motor kesayanganku. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...