Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #26

Khitan Dibayari Bupati

Oleh: Jendra Wiswara

Aku meneruskan perjalanan menuju Jember. Tiga jam berjalan akhirnya aku tiba. Untuk melepas lelah aku berhenti di alun-alun. Saat itu kurasakan tenggorokan kering. Aku yakin dengan minuman dingin rasa haus akan segera hilang.

Mataku tertuju pada penjual dawet di ujung jalan. Tertulis di spanduknya: Baru Muncul.

Penjualnya seorang perempuan baya. Entah sudah berapa lama ia berdagang di situ. Kata orang dawet Mbok Berek–sebutanku–sangat terkenal. Di alun-alun memang banyak ditemui penjual dawet. Namun tidak seenak dawet buatan Mbok Berek. Dawetnya terbuat dari tepung beras berwarna putih. Pembelinya lumayan ramai. Aku sendiri harus antri memesannya. Harganya murah meriah.

Selain dawet, Mbok Berek juga menjual beras kencur. Bila dicampur dengan es beras kencur akan terasa menyegarkan. Pegal-pegal hilang seketika.

Namun dawetku tidak serasa nikmat lagi manakala sebuah mobil tiba-tiba meluncur dari arah Utara. Saat lampu merah mobil tersebut berhenti tepat di depanku. Kaca mobil terbuka. Kulihat seorang lelaki paru baya duduk di belakang sopir. Matanya cekung. Kulitnya sawo matang. Tubuhnya tambun. Mengenakan baju safari. Kuperhatikan dengan seksama wajah lelaki yang sepertinya tidak asing itu. Aku seperti mengenalnya, tapi di mana? Sontak aku terkejut ketika sebuah nama dan kejadian muncul dalam ingatanku.

Ya ampun, bukankah itu Bupati S. Petir di siang bolong takkan lebih mengejutkan. Aku menggeragap dari semua perasaan dan renungan. Sebelum ingatanku pulih, lampu hijau telah menyala dan membawa mobil Bupati S beranjak pergi.

Karena penasaran kutinggalkan dawet yang belum habis, tak lupa kumembayarnya. Layaknya detektif swasta aku bergegas mengikuti mobil Bupati S. Hendak kemana mobil tersebut, pikiranku terus berpacu mengingat-ingat kenangan masa lalu. Sepanjang perjalanan yang kupikir hanya Bupati S.

Sudah bertahun-tahun semenjak ia menjabat bupati, aku tak pernah bertemu. Kabarnya Bupati S terjerat kasus dugaan korupsi kas daerah yang merugikan negara Rp 133 miliar. Dari hasil penyalahgunaannya Bupati S mempunyai banyak aset yang diperoleh dari hasil korupsi selama menjabat bupati. Aset tersebut di antaranya sebuah rumah di Jember, Tretes, Surabaya, Banyuwangi, dan Bojonegoro.

Saat itu sidang putusan terhadap Bupati S menarik perhatian masyarakat. Apalagi jalannya persidangan selalu disiarkan langsung oleh radio. Usai sidang, kepada wartawan Bupati S mengatakan bahwa putusan yang menimpa dirinya seperti humor saja.

Saya sejak awal tahu akan vonis itu. Namun, sebagai seorang birokrat yang saya rintis sejak kecil dan sebagai warga negara yang baik, saya menghargai proses hukum, walau putusan itu tidak menguntungkan saya,” kata Bupati S.

Jangankan kena hukum enam tahun, satu hari pun dia akan banding.

Namun kini kata-kata Bupati S hanya tinggal kenangan. Sebab beberapa kali mengajukan banding, ia selalu kalah dan memaksanya mendekam di rumah tahanan Medaeng selama 6 tahun. Bahkan ketika isteri pertamanya meninggal Bupati S tidak diperkenankan menghadiri pemakaman isterinya. Meski ia mencoba meminta penangguhan, akan tetapi kepala rutan tidak berani memberi ijin tanpa pemberitahuan dari Mahkamah Agung.

Terlepas dari kasus korupsinya, antara aku dan dia (dulu) pernah mempunyai keterikatan batin yang kuat–meski tidak secara langsung. Dulu, orang tuaku adalah bawahan Bupati S. 

Sejak aku duduk di bangku TK, kala itu Bupati S sudah menjabat camat di Kecamatan Wonokromo. Di mata anak buahnya kepemimpinan Bupati S dinilai sangat tegas, disiplin, adil, jujur, dan bijaksana.

Pemunculannya mengesankan seorang yang punya pendirian. Ia sosok pemimpin masa depan. Sosok teladan. Calon kuat Walikota Surabaya pada masa itu. Bupati S juga dikenal sangat royal terhadap anak buahnya. Suka menolong dan memiliki rasa empati besar terhadap sesamanya. 

Salah satu kejadian yang paling kuingat adalah ketika aku menjalani khitanan. Seluruh biaya hajatan dan khitananku dibiayai Bupati S termasuk pengadaan mobil untuk tranportasi pulang-pergi (PP) ke rumah sakit.

Saat itu aku masih ingat kata-kata Bupati S kepada orang tuaku. Saya tidak ingin semua anak buahku terlantar ketika mempunyai hajatan–kawin, sunatan, dan atau kematian. Bila kalian tidak mempunyai dana, ngomong saja. Asalkan tidak berbohong, Insya Allah akan saya bantu semampunya. Biayanya akan saya ambilkan dari dana pribadi. Sebab membantu orang adalah perbuatan yang baik,” katanya.

Bukti kuat kepimpinan Bupati S yang sampai sekarang dapat kulihat adalah orang tuaku. Selama menjabat PNS, aku tidak pernah melihat mereka melakukan tindakan tercela, seperti menerima suap atau korupsi. Bagi mereka kejujuran merupakan modal utama dalam bekerja.           

Namun siapa sangka modal kejujuran yang sering dikumandangkan Bupati S pada anak buahnya kini malah menjadi bumerang bagi dirinya. Kasus korupsi yang paling dibenci banyak orang pada akhirnya menimpa seseorang yang kukenal.

Aku tidak heran begitu seorang mendapat jabatan, dia akan berhenti terhadap tujuannya. Dia ditelan oleh mentalis umum. Beku, rakus, gila hormat, dan korup.

Faktanya dapat kulihat dari Bupati S. Kejadian demi kejadian yang datang silih berganti kiranya telah merampas kemungkinan untuk mengendapkannya. Inkonsisten yang ditunjukkan Bupati S pada dasarnya merupakan penolakan terhadap fakta yang ada, bodoh atau sinis. 

Sebuah bentuk kemunafikan yang sangat jahat atau penipuan terhadap diri sendiri yang sudah berulang kali dipertontonkan oleh sejarah di mana pun.

Koruptor, barangkali mereka sudah korup sejak dunia dalam pikirannya, dari dukun sampai pengusaha, dari petani dan rakyat jelata hingga pejabat. Mereka tidak mengerti nilai uang. Mereka hanya tahu nilai hawa nafsunya sendiri. Hanya kekuasan dapat mendidik mereka. Lalu siapa dapat menebak Bupati S bakal terbebas dari perbuatan kejinya. Nyata-nyatanya kekuasaan telah membutakan mata hatinya. 

Namun pandangan soal koruptorku sedikit berubah manakala melihat Bupati S. Hal ini wajar jika menyangkut keterikatan batin yang pernah kami jalin. Seorang yang berbuat salah jangan hanya dilihat dari buruknya tapi lihatlah kebaikannya di masa lalu.

Menurutku Bupati S adalah seorang yang besar. Dan orang menjadi besar karena tindakannya besar, pikirannya besar, jiwanya besar. Sebaliknya dari orang kecil adalah tidak adil karena beberapa kesalahan mendapatkan hukuman besar. 

Dalam hal ini aku tak perlu mencerca, menghina, menyalahkan atau memvonis, bila mengingat sumbangsih Bupati S yang begitu besar terhadap orang-orang. Tapi, aku juga tak bersedia untuk menemuinya.

Dalam pengejaran itu, aku memang berhasil mendekati Bupati S. Sewaktu ia masuk restoran, aku ikut mengiringi nya dari belakang. Sewaktu Bupati S pergi bersama koleganya, aku sempat berpapasan dengannya. Kami saling bertatap muka sebentar, kemudian ia hilang ke dalam mobil mewahnya. 

Aku bisa saja menyapanya, dan bilang bahwa aku anaknya orang tuaku. Tapi apa guna. Haruskah aku mengemis-ngemis di hadapannya agar diberi amplop untuk mempermudah perjalananku. Tidak semudah itu.

Seandainya diberi uang mungkin aku akan menolak. Aku tak tahu apakah uang tersebut bersih ataukah hasil dari korupsinya. 

Malah aku sempat berpikir, haruskah aku kembalikan kulup (potongan) penisku yang disunat kepada Bupati S, ataukah aku harus menerima suatu keadaan akan ketidaktahuan bahwa penisku pernah dibiayai Bupati S dan kelak penis ini bakal kupersembahkan pada isteriku tercinta untuk menghasilkan keturunan.

Pertanyaannya, apakah nanti keturunanku menjadi keturunan yang korup sebab berasal dari penis bapaknya yang korup. Oh, betapa malangnya nasib peniskupenis kenangan dari seseorang yang (dulunya) baik dan kini berubah menjadi seorang paling dibenci. Semoga Allah memaafkan perbuatan Bupati S, dan aku tentunya. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...