Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #31

Mengemis

Oleh: Jendra Wiswara

Sudah tiga hari aku menginap di rumah Lik Man. Sore itu tetangga Lik Man datang ke rumah dengan mengendarai motorku. Nampaknya motor sudah diperbaiki. Tetangga itu mau menagih ongkos perbaikan dan biaya pembelian onderdil.

“Kok cepat selesainya. Padahal kamu tak suruh lama memperbaikinya,” tegur Lik Man pada tetangganya sambil tersenyum.

Sepertinya Lik Man ingin motorku diperbaiki agak lama, supaya aku bisa tinggal lebih lama di rumahnya. Namun si montir rupanya butuh uang cepat. Setelah dibayar, tetangga itu buru-buru pergi.

“Nah, ini motornya sudah selesai diperbaiki. Tapi aku minta pada Mas Al supaya menginap barang satu malam lagi,” kata Lik Man padaku.

Aku menyanggupi permintaannya. Tak ada salahnya aku menginap semalam lagi di rumahnya, toh aku juga tidak terburu-buru. Lagipula Lik Man juga telah berbaik hati menampungku dan membiayai ongkos perbaikan motor.

Esoknya, aku pamit untuk melanjutkan perjalanan. Lik Man sudah mempersiapkan oleh-oleh sekeranjang nanas. Aku sebenarnya mau menolak, tapi setelah kupikir lagi pasti akan membuatnya kecewa.

“Ini nanas untuk oleh-oleh,” katanya.

“Tapi saya bukan mau pulang Lik,” sahutku.

“Ga papa dibawa saja. Buat di perjalanan,” balasnya.

Lik Man sempat memberiku sejumlah uang. Untuk yang satu ini langsung kutolak. Selama empat hari Lik Man dan istrinya menampung dan membiayai kebutuhanku. Tidak hanya itu, Lik Man juga membiayai perbaikan motor. Sudah banyak kebaikan yang ia berikan padaku. Jadi aku tak mau kembali merepotkannya.

“Terima kasih banyak Lik. Saya kira nanas saja sudah cukup.”

Ia paham dengan penolakanku.

“Kapan-kapan kalau sudah selesai, aku pasti akan main ke sini lagi.”

“Silahkan. Pintu rumahku terbuka untuk Mas Al.”

Motor kustarter. Suara mesinnya menderu-deru, meski bukan motor besar. Tapi aku selalu kangen dengannya. Sudah empat hari dia tidak kunaiki. Pastinya dia tidak sabar ingin berjalan lagi.

Kutinggalkan Desa Ngancar dengan perasaan suka cita dengan membawa bekal nanas sekeranjang. Dalam perjalanan aku terus berpikir, harus kuapakan nanas sekeranjang ini.

Tiba di alun-alun Kediri pukul dua belas siang. Aku duduk di alun-alun. Kubuka dompet, uangku masih tersisa Rp 130 ribu. Terakhir kubelikan bensin saat turun dari Desa Ngancar.

Di alun-alun kulihat banyak tukang becak dan penjual makanan. Aku mampir ke sebuah warung untuk makan siang. Setelah itu membeli satu pak rokok. Kini uangku tersisa Rp 100 ribu.

Masalah uang kini menjadi problemku. Meski sebelumnya aku membantah pada Astrid dan Lik Man tidak butuh uang pemberiannya, nyatanya sekarang aku kebingungan. Pantas dunia tak pernah berhenti berputar bila menyangkut materi yang satu ini.

Bahkan demi uang manusia rela melakukan segalanya. Demi uang mereka bisa menjadi raja. Demi uang pula orang sanggup memerintah tanpa mempedulikan nasib orang lain. Uang pula yang membuat manusia saling membunuh. Dan ketika rakyat kecil mengalami kesulitan ekonomi, pejabat-pejabat teras negara malah semakin asyik memikirkan perutnya sendiri dengan menerima suap dan korup. Urusan dunia memang perlu, namun jika berlebihan juga tidak baik.

Dengan sisa uang tersebut aku tidak yakin sanggup mencapai Jawa Tengah. Aku tidak bisa membohongi diri sendiri. Lalu aku harus mencari kemana. Tidak mungkin merampok, apalagi mengemis.

Nah, saat duduk di alun-alun, mataku menyoroti nanas sekeranjang pemberian Lik Man. Kupikir lebih baik membagikan nanas ke orang-orang sekeliling daripada membawanya di perjalanan. Setelah membagikan nanas, seorang lelaki paruh baya menghampiri dan menepuk pundakku.

“Kamu wartawan ya?” Tebaknya.

“Memangnya kenapa, Pak?” Tanyaku balik menoleh ke lelaki itu.

“Aku lihat kamu membagikan nanas ke orang-orang.”

“Terus?”

“Tidak apa-apa. Cuma ingin menyapa saja.”

Aku mengiyakan tebakannya. Tapi buru-buru kukoreksi kalau aku tak lagi menjabat jurnalis. Saat kutanya darimana dia tahu aku jurnalis, dia bilang melihat stiker di motorku bertuliskan koran RAR.

Selanjutnya masalah jurnalis ini, kutanya ia ada urusan apa dengan profesi yang kujalani.

“Aku Mastoer. Aku juga jurnalis,” ia memperkenalkan diri sebelum akhirnya memberikan kartu nama. Kubaca kartu nama itu. Di depan namanya tertera inisial RM.

“RM. Apa benar Raden Mas?” Tanyaku.

Dia menjawab tersipu malu, “Begitulah!”

“Lalu apa ada yang bisa saya bantu, Pak?” Tanyaku lagi.

“Iya, kulihat sepertinya kamu sedang mengalami kebingungan.”

“Bagaimana sampeyan tahu?” Balasku penasaran.

“Sesama jurnalis masa tidak tahu, apalagi bila menyangkut masalah uang saya pasti bisa melihat hanya dari raut mukanya saja!” Serunya.

Hebat sekali orang ini, pikirku. Tanpa kujelaskan kesulitanku dia dapat menebaknya. Darimanakah asal orang ini? Apakah dia seorang psikolog, ah rasanya tidak mungkin bila melihat dandanannya. Kalau paranormal, aku percaya.

Penilaianku, Raden Mas Mastoer hanyalah orang biasa. Mungkin dia memang keturunan darah biru. Usianya berkisar 53 tahun. Saat itu Mastoer mengenakan T-shirt warna putih, celana jeans dan sepatu boat. Ketika tertawa nampak olehku gigi-gigi depannya kropos. Bau minyak wangi murahan yang menyebar dari tubuhnya terasa menyengat. Lalu ada kalung besar menggelantung di lehernya. Sementara di pinggangnya menempel sebuah walkie-talkie. Sesekali terdengar bunyi kemeresek. Suara orang di dalam walkie-talkie terdengar menggunakan bahasa isyarat atau kode yang hanya dipahami oleh mereka.

“Mau dapat uang?” Mastoer seolah-olah mengerti isi benakku.

“Iya sih.”

“Jangan takut,” katanya menenangkanku, “kamu masih punya press card kan?” Aku mengangguk.

Sebelum menimpali kata-kata Mastoer, dia segera mengajakku ke Mapolres Kediri. Aku tidak menolak. Kubonceng ia menuju Mapolres Kediri. Dengan gesitnya Mastoer mempertemukanku dengan Kapolres Kediri yang saat itu sedang duduk di kantin. Aku sempat kebingungan.

Mastoer menghendaki apa dari Kapolres? Seketika timbul pikiran kotor: nodong. Mungkinkah Mastoer sedang menodong Kapolres?

Dari cara bicaranya, Mastoer tak henti-hentinya memuji kehebatan jajaran Mapolres Kediri. Keduanya saling tertawa, tak peduli siapa tertawanya yang paling keras. Melihat wajah mereka terpilin-pilin oleh gelombang tawa, tak terkendali. Aku juga mengekor. Suasana tawa reda dengan datangnya sajian.

Saat itu Mastoer masih tak henti-hentinya menyebarkan pujian. Kali ini arahnya kian tak jelas. Setelah pujian kepolisian selesai, Mastoer memuji pembangunan taman dan kebun di depan markas yang baru selesai digarap. Pujian Mastoer seolah-olah menjadi pengingat bahwa sesungguhnya di balik pujian tersimpan sebuah pengharapan yang besar. Harapannya adalah: keluarnya amplop dari saku Kapolres.

Melihat hal itu, kontan hatiku hancur berkeping-keping. Malu tiada tara. Apalagi Mastoer selalu menyebut namaku serta perusahaan tempatku bekerja. Katanya aku wartawan begini dan begitu. Aku juga dibilang dapat memback-up berita-berita seputar keberhasilan polisi membongkar kasus kriminalitas.
Aku mendengarkan dengan tersipu.

Dengan mengangkat muka, batinku berteriak, ini pelecehan namanya. Pembohongan besar-besar sekaligus pembohongan terhadap publik. Tak kusangka Mastoer berani melakukan hal sekeji itu terhadapku. Intinya aku cuma dipakai sebagai modal untuk mengemis. Bedanya lelaki tua itu mengemis dengan cara elegan dan sopan. Tetap saja mengemis. Yang menyedihkan, kebisuanku seolah merestui semua kata-kata Mastoer.

Tak berselang lama, pujian Mastoer berakhir. Lega rasanya. Selama satu jam lebih aku berusaha mendengarkan Mastoer mengoceh tanpa ujung pangkal. Pun aku harus menahan malu akibat perlakuannya.

Dari hasil puji-pujiannya, Sang Kapolres kemudian mengeluarkan isi dompetnya. Dua lembar uang seratus ribuan diserahkan kepada Mastoer. Untuk rokok, kata Kapolres. Lelaki tua yang duduk bersebelahan denganku memandangi uang tersebut seakan-akan tak pernah melihat uang sebelumnya. Begitu uang sudah di tangan, dia menciumnya sembari berkata: Thanks.

Sebelum Kapolres hilang dari pandangan kami, ia mempersilahkan kami memesan makanan di kantin. Masalah bayar, ujarnya, jangan dipikirkan. Sayup-sayup kudengar Kapolres berkata pada pemilik kantin, “Mereka berdua saya yang bayar.”

Sang Kapolres pamit.

Ya, ampun, mau ditaruh kemana muka ini. Mukaku serasa digosok-gosok. Belum lagi halus sudah digosok, digosok lagi, begitu dan seterusnya. Seandainya tadi aku menolak tawaran Mastoer tentu tidak begini jadinya. Dasar bodrek, celekukku. Namun demikian aku tidak menolak pembagian hasil dengan Mastoer. Sebelum menikmati hidangan, lelaki tua itu menunjukkan dua lembar uang seratus ribu.

“Dibagi rata ya!” Ia menyerahkan uang Rp 100 ribu padaku tanpa malu dan sungkan.

Mastoer lantas melanjutkan acara makannya. Sementara aku tak jua mengambil lembaran uang di atas meja yang disodorkannya. Sambil menikmati makan, kupandangi saja uang tersebut. Hatiku terus-terusan berontak, diterima atau tidak. Jika uang tersebut kutolak bisa-bisa aku dianggap Mastoer tidak becus karena telah meremehkan jerih payahnya. Tapi bukankah ia tidak bekerja. Tugasnya cuma mengoceh, memuji, bersopan-sopan, menunduk-nunduk, memelas, mengemis-ngemis di hadapan Kapolres. Selebihnya tugas paling berat ditimpakan padaku sebagai tameng kebohongannya. Apakah itu dinamakan jerih payah?

Sebaliknya jika kuterima berarti aku telah merusak prinsip-prinsip dasar jurnalis. Yang menjadi pertanyaanku, apakah pemberian Kapolres ini berkenaan dengan tugas kejurnalisanku. Bukankah kami tidak memaksa, juga tidak menerima suap demi suatu kebohongan akan pemberitaan. Mana berita, mana kebohongan. Kukira tidak ada. Pemberian Kapolres adalah upaya dia untuk menjalin keakraban hubungan pertemanan dengan kami, tidak lebih.

Memang aku bukan seorang yang suci. Dan terkadang kesucian seseorang dilihat dari keadaan di sekelilingnya. Pada saat itu kulihat masalah yang muncul tiada berkenaan dengan profesiku sebagai jurnalis. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa aku juga melakukan kesalahan. Sekiranya dengan menerima uang tersebut, aku sudah melibatkan harga diriku dalam sebuah keadaan dimana kemudahan mengalahkan kesulitan.

Pengiyaanku ini merupakan bentuk sewajar-wajarnya yang dialami semua orang. Dalam kondisi terdesak orang dapat menghalalkan segala cara agar terwujud keinginannya. Semoga apa yang kulakukan tidak bertentangan dengan hati nurani. Sebab saat kuambil uang tersebut, aku sendiri masih kesulitan membedakan mana yang baik dan mana yang salah.
.
Setelah lembar uang kumasukkan saku, aku kembali menikmati hidangan makan siang dengan hati carut-marut.

Masalahnya tidak selesai sampai di sini. Usai makan, Mastoer melanjutkan acara ‘penggalangan dana’.

Dasar bodrek, sekali lagi kucibir diriku, tak terkecuali Mastoer yang duduk di hadapanku. Apa dia belum tahu kesusahan yang barusan kuhadapi. Dengan kata lain, aku telah membuat harga diriku terjatuh. Karena aku tidak segera menjawab tawarannya, serta merta ia bangkit dari tempat duduknya berpaling padaku dan menyuruhku mengikuti langkahnya.

“Kali ini kita kemana lagi, Pak?” Tanyaku.

“Di hotel si anu ada kasus sengketa. Kita ke sana, yuk!” Nadanya seperti memaksa.

Aku diam. Bagai dihipnotis kuikuti langkahnya dari belakang. Saat melaju ke jalan raya–aku dengan motor kesayanganku–kulihat Mastoer mengeluarkan mobil anehnya dari pelataran parkir Mapolres.

Saking anehnya sampai-sampai aku kesulitan menggambarkan modelnya. Entah jenis apa. Yang jelas itu mobil kuno. Di atas mobil dipasangi sirine ambulance berwarna biru. Di samping kiri mobil tertancap bendera merah putih layaknya pembesar negara. Sedang di kanannya terpasang terompet yang ketika ditekan berbunyi: tet, tet, tet.

Sayang dalaman mobil tidak terawat dengan baik. Beberapa badan mobil nampak keropos karena karat serta barang-barang pribadi berserakan di dalamnya. Pun cat mobil bagian interior maupun eksterior sudah luntur. Melihatnya saja risih apalagi menaiki. Ini mobil perjuangan atau mobilnya orang gila, pikirku.

Saat melaju di sepanjang jalan raya, Mastoer tak henti-hentinya membunyikan terompet untuk menyapa orang-orang di sekitarnya. Hebatnya, ia mengenal hampir semua orang di jalanan. Tukang becak yang mangkal di perempatan, penjual kaki lima, penjual asongan, kernet dan sopir bus, pengamen lampu merah, polisi lalu lintas, pengendara motor, dan lain-lain.

Tak lama kami sampai di hotel milik si anu. Aku diajaknya masuk. Sepertinya acara penggalangan dana hendak dimulai. Berkali-kali Mastoer menjelaskan padaku duduk permasalahannya berikut urusan 86 (istilah damai) yang bakal kami terima.

Aku tidak menunjukkan reaksi sedikit pun. Justru aku berusaha bersikap setenang mungkin. Barangkali sudah jodohku bertemu Mastoer hari ini. Sepanjang pertemuanku dengannya, hampir-hampir bahasannya tak melencang dari yang namanya duit. Telingaku sampai bosan mendengarnya.

Setelah bertemu pemilik hotel, Mastoer mulai mengumbar kata-katanya. Untuk kesekian kalinya aku dijadikan tameng akan kemanisan lidahnya. Jujur aku heran dengan sikap sok bersopan-sopan rianya. Kalau dia seorang jurnalis mengapa bukan ia sendiri yang maju mengatasnamakan diri serta medianya, mengapa harus aku yang jadi tamengnya. Sama sekali tak kupercaya.

Saat itu aku sadar ternyata profesiku sengaja dimanfaatkan untuk mengakali orang-orang yang dikenalnya. Berkali-kali Mastoer ngotot menjelaskan pada pemilik hotel bahwa dia bersedia membantu menyelesaikan sengketa hotelnya.

“Dengan bantuan media dan teman wartawan ini,” dia menunjuk ke arahku, “masalah Anda dapat kami selesaikan,” katanya dengan lugas dan pasti.

Terpaksa, selama setengah jam aku harus mendengarkan secara rinci kasus per kasus yang dihadapi si anu dengan bersopan-sopan dan sok peduli layaknya Mastoer. Namun sejujurnya hatiku serasa terkoyak-koyak. Batin berteriak ampun. Sedianya masalah ini selesai aku akan segera kabur.

Dan persis dugaanku, untuk memuluskan kasusnya, si anu memberi kami masing-masing amplop. Aku terpaksa menerimanya agar tidak menyakiti perasaan si anu, juga tidak mempermalukan Mastoer.

Begitu acara bincang-bincang usai, kami segera beranjak pergi. Dengan hati tercabik-cabik, langkahku kupercepat. Namun di depan hotel Mastoer menghentikan langkahku. Untuk kesekian kalinya ia membujukku menilik sebuah kasus serupa. Kali ini ia hendak pergi ke kediaman musuh si anu, tentunya untuk mendapatkan hasil yang berimbang. Bukankah begitu tugas utama wartawan, yakni memperoleh keberimbangan suatu pemberitaan.

Tidak, kali ini aku harus menolak tawarannya. Aku tak mau dijadikan bulan-bulanan Mastoer. Sebaiknya aku segera pergi meninggalkan Kediri, sekarang atau menyesal selamanya.

Saat mendengar keputusanku melanjutkan perjalanan, lelaki yang sudah menduda selama sepuluh tahun itu berusaha menghalang-halangi. Ia berusaha merayu, bahkan mengapurancang padaku. Tapi aku tak peduli, dan tetap pada keputusanku. Pada hari itu juga kutinggalkan Mastoer dengan penyesalan di hati yang meraung-raung seperti tergilas roda-roda kereta api.

Setiba di alun-alun kusempatkan membuka isi amplop. Isinya tiga ratus ribu. Kubayangkan Mastoer pasti sekarang tengah berleha-leha. Menikmati hasil jerih payahnya. Mungkin juga mengumpat-umpat kebodohanku menolak ajakannya. Sebaliknya perasaan bersalah terus menghantuiku. Diambil atau tidak. Aku telah mengetahui bagaimana hasil akhir dari suatu keragu-raguan, orang akan menjadi korban daripadanya bahkan kehancuran bagi dirinya. Kalau orang jadi korban, maka jadilah setelah menaklukkan keraguan sendiri.

Aku tahu bahwa aku bukan manusia suci, dan aku tidak pernah menghendaki sukses atau luar biasa di atas orang lain. Kukira begini sudah cukup. Apalagi aku hanya mencoba menjadi manusia yang baik. Tak ada beda antara manusia baik dengan penjahat baik. Dua-duanya mengandung unsur yang baik di dalamnya. Yang berlainan hanya manusia dan pejabat.

Akhirnya kuputuskan begini, pemberian Kapolres kuterima sebagai tanda persahabatan, bukan didasari atas desakan dan atau paksaan. Sementara pemberian si anu kurasakan sarat akan intrik, maka kuputuskan untuk membagi-bagikannya kepada orang-orang di jalanan. Setelah mencairkan uang menjadi puluhan, segera kudatangi beberapa orang seperti tukang becak, pengemis, pengamen, dan penjual asongan. Semuanya kubagi sama rata. Masing-masing mendapat sepuluh ribuan. Kukira dengan begini perasaanku akan plong. Dan aku dapat melanjutkan perjalanan dengan tenang.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...