Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #33

Reok

Oleh: Jendra Wiswara

Kutinggalkan Kiftiya dengan kecemberutannya sebelum kutemui, dan dengan kebahagiaannya di pintu surga setelah kutemui. Aku yakin Kifitya sudah merasa lega telah menyampaikan uneg-unegnya. Pun aku. Semoga hari-hari Kiftiya selanjutnya bersama keluarga kecilnya dapat dijalani dengan sebaik-baiknya.

Dari Kediri aku bertolak ke Madiun. Seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, perjalananku berpindah-pindah dari satu kota memberi pemahaman yang berbeda-beda. Selama dua setengah jam memacu motor dengan kecepatan 40-50 km per jam, akhirnya aku tiba di kota penghasil brem dan pencetak nasi pecel yang terkenal akan kekhasannya.

Kulihat Madiun sudah banyak berubah. Dari infrastrukturnya hingga penduduknya. Dari kebiasaannya hingga cara berpikirnya. Dari cara bersoleknya hingga cara kerjanya. Dari kekunoannya menjadi eksploitasi modern besar-besaran.

Entah apakah masyarakat Madiun mulai peduli sebuah perubahan atau mereka sengaja menghilangkan identitas aslinya. Sebagian mati, sebagian tumbuh berkembang menjadi sesuatu yang luar biasa.

Iklim kekunoan rupanya telah mengubah opini, mempengaruhi tindakan seseorang, serta memisahkannya dari segala sesuatu yang dipandangnya orisinil, benar dan penting.

Masyarakat Madiun telah menggunakan model kebaruan sebagai panduan untuk membangun sebuah instrumen dimana tiada kutemui keindahan dan konsistensinya, tiada pula kekuatan emosional atau inteletualnya–buah karya imajinasi yang lebih terhormat–melainkan sekedar perpaduan antara prinsip-prinsip yang sederhana akan sebuah keluasan, realitas, dan detail.

Hal ini pula yang kemudian memunculkan rangsangan-rangsangan ketidakpuasan dan perubahan besar-besaran seperti yang dialami daerah-daerah lain. Biasanya di bawah tekanan krisis, kecenderungan ekonomi yang biasanya tersembunyi di bawah permukaan makin meluas dan intens, hingga kecenderungan itu melahirkan sebuah kerangka perubahan dalam situasi normal menjadi sesuatu yang dianggapnya mapan.

Contoh paling nyata, selama berkeliling yang kutemui hanyalah bangunan-bangunan kokoh nan megah, yakni mall dan pertokoan, kantor polisi, rumah sakit, restoran, gedung dewan, rumah-rumah modern, terminal, stasiun, dan kantor pos. Pun ritme orang-orangnya sudah mengekori ritme orang perkotaan.

Madiun terkesan sibuk dan menyibukkan diri. Aku tak lagi melihat orang-orang bersepeda ontel di sepanjang jalan membawa sekeranjang dagangannya, atau petani pulang dari sawah berjalan telanjang kaki sambil menenteng aritnya, atau penjual pecel memanggul panganannya di punggung berkeliling dari kampung ke kampung, atau anak-anak kecil bertelanjang dada berlarian menggembalakan kambingnya, atau tukang becak dengan dandanan ala becaknya yang memiliki ciri khas tersendiri dari becak-becak di kota lain. Yang terlihat justru puluhan tukang ojek berkeliaran ke sana kemari yang tak segan-segan menaikkan tarifnya jika dirasa kepepet.

Di Kota Brem, dulu aku banyak meninggalkan kenangan indah bersama orang-orang terdekat. Sewaktu masih kecil, tiap setahun sekali tepatnya hari raya Idul Fitri, aku selalu berkunjung ke rumah kakek dan nenek. Satu hal yang paling kuingat saat itu, aku selalu mabuk darat manakala menempuh perjalanan dari Surabaya ke Madiun.

Dalam perjalanan jauh itu, biasanya isi perutku tercerai berai dan meninggakan bau tidak mengenakkan yang terkuras dalam tas kresek. Kalau sudah begini kadang aku menaruh iba terhadap orang tuaku. Mereka selalu kerepotan menghadapiku. Belum lagi rasa malu yang harus mereka terima dari penumpang bus lainnya yang menutup lubang hidungnya akibat muntahanku. Jika kebiasaan buruk itu muncul mendadak, mereka terpaksa merayuku habis-habisan.

Maklum sudah menjadi kebiasaanku bila mabuk darat datang dan mengocok-ngocok ususku, ujung-ujungnya aku selalu merengek minta pulang. Bahkan yang jelas-jelas membikin mereka jengkel aku sering merengek meminta diturunkan di tengah jalan sebelum sampai tujuan dan pindah ke bus lain.

Untuk meredam emosi anaknya yang pemabuk itu, maka seluruh panganan dari penjual asongan dan mainan anak-anak yang menarik perhatianku diborongnya. Dari pengalaman-pengalaman itu, makanya sebelum berangkat orang tuaku selalu memberi obat penenang atau obat bius penangkal mabuk. Namanya Antimo.

Dan kini setelah kakek dan nenek meninggal, tiada lagi kerabat di Madiun yang kupunya. Semua kerabat dari kakek dan nenek boyongan ke Surabaya. Kenangan itu membekas di hati. Oleh karena itu saat pertama kali menginjakkan kaki di Madiun, satu-satunya harapanku adalah ingin berlama-lama menetap dan bersantai ria sekaligus membangkitkan kenangan lama yang nyaris hilang.

Meski tak lagi memiliki kerabat, tetapi aku tidak merasa asing. Sebab Madiun sudah kuanggap sebagai rumah keduaku setelah Surabaya. Hanya saja persinggahanku di Madiun menyisakan kenangan buruk. Di sini aku malah luntang-lantung bagai orang hilang.

Sesekali tidur di masjid, kemudian pindah ke mushola terminal dan stasiun, esoknya kantor polisi, lalu rumah sakit, dan lain waktu menginap di alun-alun. Bahkan tak jarang aku bergadang semalam suntuk di warung kopi menunggu hari esok karena tidak mendapat tempat singgah yang layak.

Kendati demikian, aku masih betah merasakan suasana kota Madiun. Dia telah memberikan ketenangan batin tiada terhingga, yang seakan membawaku melintasi ruang dan waktu menuju Madiun tempo dulu.

Ponorogo adalah pemberhentianku berikutnya. Aku tidak tahu mengapa memilih Ponorogo. Saat itu acuan-acuan pikiran yang kegaib-gaiban muncul begitu saja dalam benakku. Sebuah pikiran untuk menghilangkan atau kehilangan pegangan pada kenyataan yang paling sederhana. Seakan ada kekuatan besar yang menarikku untuk melangkah ke sana. Hal ini pula yang memberiku perhatian besar (awalnya) terhadap kesenian khas Ponorogo yakni Reok. Dan yang kudapat malah lebih dari itu.

Beberapa kali aku melihat pamflet-pamflet bertebaran di jalanan; gambar Reok terpajang. Pun artikel-artikel yang menerangkan usia Reok yang mencapai berabad-abad. Namun pada akhirnya gambaran sepintas lalu tersebut membentuk sebuah pemahaman yang kontemporer mengenai apa itu Reok, apa itu Ponorogo, apa itu khazanah, apa itu gambar, apa itu budaya, apa itu bayangan, apa itu mistik dan gaib, apa itu kebenaran, apa itu sejarah.

Kesemuanya itu kian tajam, jelas, pedas membakar, realistik (bukan kata orang), dan mampu menggugah opini publik tanpa mengubah landasan-landasannya. Selama berabad-abad Reok mengkonsentrasikan seluruh keberadaannya untuk mengusahakan tujuan ini, dan tanpa ada akhir pula, kesenian khas Ponorogo itu berusaha untuk mendapatkannya.

Untuk tujuan itu, tidak ada sesuatu pun yang terlalu suci untuk dikorbankan, kendati sekarang dia sendiri sudah menjadi korban seperti ketika kesenian Reok diakui oleh Malaysia. Kalau ada pemahaman tempat dia dilahirkan sebelum jamannya, maka ada sebuah pemahaman lain yang tidak kalah pastinya dimana dia semakin menunjukkan taringnya guna mewujudkan impiannya menjadi satu-satunya dalam tradisi javanisme yang paling tua.

Reok, kata orang juga kataku, akan selamanya hidup dalam semangat masyarakat Jawa tanpa takut atau musnah dimakan jaman.

Perjalananku menuju Ponorogo tidak memakan waktu lama, tidak pula berhari-hari. Kurang lebih satu jam aku tiba di Kota Reok. Ponorogo termasuk daerah yang keramat dan masih menjaga nilai-nilai Jawa kental. Setiap bulan purnama tiba, di alun-alun seringkali diadakan ritual pagelaran Reok. Pun memasuki bulan Suro, kita dapat menyaksikan festival Reok seluruh Indonesia. Siapa pemenangnya? Yang jelas selama masih ada pelestari budaya, merekalah pemenangnya.

Sewaktu berkeliling di Ponorogo, tiba-tiba pasang mataku tertuju pada sebuah rumah di Kecamatan Balong. Di depan rumah terpampang sebuah papan nama. Rumah tersebut sangat luas. Di depan halaman nampak beberapa alat musik tradisional seperti gamelan, dipajang. Aku juga melihat beberapa topeng dijejer, ada pula dadak Reok, jaranan beserta pecutnya.

Sebelum ketertarikanku terselesaikan, muncul beberapa lelaki bertubuh gempal, bergaya lemah gemulai, dengan gerakan selincah monyet menari-nari mengikuti suara gamelan yang ditabuh. Wajahnya tiada kentara alias tergantikan wajah singa barong dengan bulu-bulu indah dari cendrawasih yang menjulang ke atas sepanjang lima meter. Disebut: Dadak Singa Ludro.

Sebagian lelaki lain cuma tertutupi topeng berukuran kecil, dan dengan lincah ia melakukan gerakan salto berulang-ulang. Akrobatik demi akrobatik tersebut sungguh menarik perhatianku.

Inilah Reok, inilah budayaku. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan saat itu bagaimana pemain dadak mampu mengangkat beban seberat itu? Benarkah ada dukungan mistik menyertainya? Susuk barangkali.

Aku pun menyempatkan mampir. Seorang lelaki muda menghampiriku. Langkahnya pelan tapi pasti. Aku perhatikan perawakannya sekejab. Umurnya kira-kira sepantaran denganku. Rambutnya sedikit bergelombang. Kulitnya sawo matang. Nada bicaranya seperti terbata-bata, baru kuketahui memang itu ciri khasnya. Dengan sopan dia menjabat tanganku. Dia memperkenalkan diri: Muksin. Adalah anak dari ketua perkumpulan.

Kukatakan tujuanku, “Aku adalah pengagum Reok. Saat ini aku sekedar berkeliling mengendarai motor untuk memahami budaya nenek moyang bangsa ini. Kiranya Mas tidak berkeberatan aku melihat-lihat.”

Muksin menjelaskan dengan santai tanpa berbelit-belit. Kata-katanya lancar, cepat, dan tidak sepatah pun yang melenceng atau tertinggal. Menurutnya seorang pemain dadak memang mustahil menggunakan kekuatan gigi, pundak, dan leher mengangkat beban seberat itu. Apalagi saat mereka melakukan gerakan naik turun dengan mengibas-ibaskan dadak seberat 75-90 kg, belum lagi mengangkat seseorang di atas kepala Singo Ludro.

Tetapi keterangan Muksin selanjutnya justru seperti menampar mukaku. Dia bilang pemain dadak tidak pernah mengenakan susuk atau hal-hal mistik. Semua murni dilakukan dengan latihan yang tekun dan rutin.

“Kalau Mas, melihat dia sama sekali tidak menggunakan susuk.” Muksin menjelaskan sambil menunjuk ke arah pemain dadak tak jauh dari tempatku duduk.

“Sehebat itukah dia?” Tanyaku masih tidak percaya.

“Dia hebat karena sering latihan. Kalau tidak begitu kesalahan sekecil apapun dapat menyebabkan otot-otot leher dan pundaknya terlepas. Akibatnya sangat fatal. Cacat seumur hidup.”

“Aku dengar ada yang menggunakan susuk?”

“Memang masih ada. Hal itu dilakukan untuk mengurangi resiko terburuknya. Seorang pemain yang menggunakan susuk biasanya bertujuan untuk memperkuat sendi-sendi leher, gigi, maupun pundak. Susuk tersebut dimasukkan ke dalam leher dan pundak si pemain. Susuk bisa berupa paku atau jarum yang terbuat dari beraneka macam bahan. Ada yang dari emas, perak, dan kuningan. Namun bagi pemain dadak asli yang merasa menjadi bagian dari kesenian daerahnya, mereka jarang menggunakan susuk. Mereka hanya percaya pada kekuatan diri sendiri. Nah, orang-orang seperti itulah yang biasanya memiliki jiwa seni.”

Kami bicara panjang lebar hingga tanpa terasa di depan kami sudah berjejer macam-macam panganan beserta kopi.

“Tanpa bantuan susuk pun saya mampu mengangkat dadak,” Muksin menambahi, “memang awalnya berat, tapi kalau sudah terbiasa maka berat akan menjadi sangat ringan.”

Sekali lagi aku perhatikan dengan waspada. Kuping kubuka lebar-lebar. Dan aku sendiri tak sabar menunggu kata-katanya untuk dapat mengetahui lebih jauh tentang kesenian Reok.

Saat itu Muksin lebih banyak berbicara ketimbang aku. Sekali aku melontarkan pertanyaan, dijawabnya dengan taktis. Reok seperti sudah mendarah daging dalam tubuhnya dan menjadi ruh masyarakat Ponorogo.

Mengenai kesenian reok, Muksin bercerita panjang lebar. Kesenian Reok merupakan warisan para leluhur, bukan sekedar legenda, mitos, atau dongeng yang selama ini berhembus di kalangan orang-orang awam.

Menurutnya, Reok adalah sejarah. Salah satu bukti nyata peninggalan Reok dapat dilihat dari Goa Simomangleng di Ponorogo. Terowongan ini, konon, adalah jalan pintas sang Raja sewaktu melamar seorang putri dari Ponorogo menuju Kediri. Biar kuceritai sedikit tentang sejarah terbentuknya Reok. Semoga ceritaku ini tidak salah. Dan jika ada kesalahan, sekiranya dapat diralat.

Cerita ini kudapat dari Muksin, satu dari sekian pewaris kesenian Reok yang diturunkan dari mbah-mbahnya, buyut-buyutnya, dan leluhurnya. Begini ceritanya:

Dahulu kala ada sebuah kerajaan bernama Bantar Angin. Kerajaan tersebut berdiri dengan kokoh dan megah. Negerinya sangat luas dan termasuk bangsa yang besar. Kekuasaannya meliputi wilayah Ponorogo dan sekitarnya. Pasukannya tersebar sampai ke pelosok-pelosok. Kehidupan masyarakatnya sangat damai, aman, makmur dan sejahtera.

Kerajaan tersebut tiada kekurangan suatu apapun. Hanya mungkin status sang Raja yang belum memiliki pasangan membuat kerajaan Bantar Angin seperti gopong alias kosong tanpa kehadiran seorang Ratu.

Tersebutlah nama Kelono Sewandono, seorang raja adil, arif dan bijaksana. Singgasananya dihiasi dengan emas dan ribuan batu mulia. Sebagai seorang raja, ia dikenal memiliki wajah sangat tampan, hingga namanya menjadi pujaan rakyat Bantar Angin. Banyak para wanita berlomba-lomba mendapatkan perhatiannya agar bersedia mempersunting mereka. Apalagi Kelono Sewandono saat itu adalah satu-satunya raja di Tanah Jawa yang masih perjaka.

Tak heran bila di setiap aktivitas sehari-hari, rakyat Bantar Angin baik muda maupun tua tidak pernah lupa mengucapkan nama Kelono Sewandono beberapa kali sebagai tanda cinta kasih dan hormatnya kepada junjungan mereka.

Pernah ada seorang nenek berjalan di sebuah pedesaan bersama dengan cucu kesayangannya. Ketika cucunya jatuh kesandung batu, kontan sang nenek mengucap, “Aduh, gusti Kelono Sewandono sing paling ganteng dewe.”

Begitulah rakyat Bantar Angin mengagung-agungkan rajanya. Hingga kini masyarakat Ponorogo tetap mengidolakan pujaannya.

Namun lain halnya dengan Pujangga Anom, adik Kelono Sewandono yang memiliki wajah dan bentuk tubuh jauh berbeda dari sang kakak. Konon, Pujangga Anom berwajah amat jelek, rambutnya gimbal, mata melotot, hidung besar atau bendol, giginya runcing ibarat seekor srigala. Meskipun begitu keuletan dan keahliannya dalam mengatur urusan pemerintahan tidak diragukan lagi. Pantas jika Pujangga Anom diberi kepercayaan penuh selaku tangan kanan atau Maha Patih kerajaan Bantar Angin.

Dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya, kerajaan Bantar Angin tidak pernah sesekali pun mendapat ancaman atau serangan dari pihak luar. Sehingga tak ayal, Pujangga Anom dijuluki sebagai malaikat pelindung kerjaan Bantar Angin.

Adapun Pujangga Anom dalam lakon Reok digambarkan sebagai sosok manusia berwajah buruk rupa yang memiliki jiwa besar, jujur, sabar dan rela berkorban demi orang lain. Selain itu ia juga dijuluki sebagai titisan dewa yang memiliki kesaktian tiada banding.

Suatu hari raja Bantar Angin mendengar keberadaan putri Kerajaan Kediri. Kecantikannya yang bak bidadari itu melebih ketenaran ayahandanya yang seorang raja. Kesunyian serta kesendirian Kelono Sewandono mencekam meliputi seluruh ruangan istana. Merasa tidak dapat menahan gejolak dalam dirinya, Kelono Sewandono pun bertekad melamar sang putri.

Pujangga Anom dipanggilnya, dan Kelono Sewandono mengutarakan keinginannya hendak meminang seorang putri kerajaan Kediri.

“Aku ingin melamar putri dari Kediri. Maukah Dimas membantuku?” Pinta Kelono Sewandono.

“Gerangan apakah yang sanggup hamba bantu, Kanda?” Pujangga Anom menghaturkan sembah dengan mengapurancang.

“Aku ingin dimas datang ke sana dan melamarnya!” Titah sang raja.

Melihat kemauan kakaknya sangat besar, dan sudah menjadi tradisi bila seorang raja menduduki tahta harus didampingi seorang permaisuri, maka permintaan Kelono Sewandono disetujui langsung oleh Pujangga Anom. Bahkan Pujangga Anom bersedia menjadi utusan kerajaan Bantar Angin guna menyampaikan pesan rajanya melamar Dewi Songgolangit.

Sementara di Kerajaan Kediri, kabar tentang utusan Kerajaan Bantar Angin melamar dewi Songgolangit kiat merebak. Sang putri tak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya. Sudah lama Dewi Songgolangit mendengar berita ketampanan Raja Bantar Angin. Setiap hari Dewi Songgolangit selalu terpekur di lingkungan kaputren, tak lain memikirkan sosok raja tampan nan gagah yang bakal menjadi calon suaminya. Tak heran, meski sekedar kabar burung yang berhembus di antara mereka, baik Dewi Songgolangit maupun Kelono Sewandono sudah saling jatuh cinta sebelum bertemu.

Beberapa hari kemudian datanglah utusan dari Bantar Angin menghadap Raja Kediri dan menyampaikan maksud serta tujuannya melamar sang putri. Utusan tersebut tak lain adik kandung raja Bantar Angin, yakni Pujangga Anom. Alangkah terkejut Dewi Songgolangit melihat utusan berwajah buruk rupa yang belakangan diketahui sebagai adik kandung raja Bantar Angin. Betapa tersiksanya hati sang putri melihat adik sang raja memiliki bentuk tubuh maupun wajah tidak seperti manusia pada umumnya.

Batin Dewi Songgolangit berujar: “Bila adiknya seperti ini sudah barang tentu kakaknya tidak jauh berbeda.” Ucap Dewi Songgolangit.

Dewi Songgolangit ingin menolak lamaran Pujangga Anom. Namun ia tak sanggup mengingat penolakan tersebut nantinya dapat menimbulkan perselisihan antara kedua kerajaan. Maka, ia pun mengajukan persyaratan yang aneh dan sekiranya sulit diwujudkan Kelono Sewandono.

Dewi Songgolangit terdiam sejenak, tiada sepatah kata meluncur dari bibir tipisnya. Ia sedang berfikir mencari solusi terbaik bagaimana cara menolak lamaran tersebut. Alhasil, timbullah suatu ide yang kemungkinan besar jika rencana tersebut dilaksanakan pasti berhasil. Dengan sikap penuh wibawa dan percaya diri bahwa rencananya akan berhasil, Dewi Songgolangit menyampaikan kesediaannya menerima lamaran Raja Bantar Angin, asalkan Kelono Sewandono bersedia memenuhi dua permintaan yang diajukannya.

Adapun syarat-syarat itu adalah: Pertama, pernikahan antara Kelono Sewandono dan Dewi Songgolangit harus dihadiri serta disaksikan oleh seluruh hewan yang ada di dunia. Bila satu hewan ketinggalan maka pernikahan dianggap batal. Kedua, pernikahan itu harus diiringi sebuah kesenian yang belum pernah ada dimuka bumi ini.

Cara demikian bagi Dewi Songgolangit dianggap sebagai cara paling halus guna menolak lamaran Raja Bantar Angin, sehingga tidak menimbulkan selisih paham antara kedua belah pihak. Ia berkeyakinan bahwa syarat yang diajukannya itu sangat sulit dan tidak akan dapat dilaksanakan oleh Raja Bantar Angin.

Memang cara demikian itu bagi Kelono Sewandono sangatlah mustahil dipenuhi. Akan tetapi, Dewi Songgolangit telah melupakan keberadaan Pujangga Anom yang memiliki ilmu kesaktian tiada tanding. Bagi Pujangga Anom cara seperti ini amatlah mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Hanya dengan satu jentikan jari maka semua tuntutan tersebut dapat dikabulkannya.

Pujangga Anom menyanggupi semua persyaratan dan berjanji akan memenuhi tuntutan sang putri. Kemudian utusan minta ijin meninggalkan Kerajaan Kediri dan kembali ke kerajaan Bantar Angin dengan membawa pesan dari Dewi Songgolangit.

Setiba di istana Bantar Angin, betapa terkejutnya Kelono Sewandono mendengar tuntutan tidak masuk diakal itu. Kelono Sewandono berkata, “Ini adalah penolakan secara halus, apa mungkin saya bisa melakukan itu se…” belum sempat menyelesaikan kata-katanya, Pujangga Anom segera memotong kata-kata kakaknya, “Kanda tidak usah resah atau bingung, biar saya yang mengurus itu semua,” tegas Pujangga Anom mengakhiri kata-katanya.

Tak berapa lama Pujangga Anom keluar istana dan menunjukkan kemampuannya sebagai Maha Patih Bantar Angin. Dengan seluruh kesaktiannya ia berhasil mengumpulkan seluruh pasukannya termasuk dua persyaratan yang diajukan Dewi Songgolangit.

Pertama, seluruh hewan yang ada di muka bumi dikumpulkan menjadi satu dan siap dibawa ke kerajaan Kediri. Kedua seperangkat alat-alat kesenian, berupa gamelan yang terbuat dari bambu siap dimainkan bersamaan dengan iring-iringan pemain.

Maka berangkatlah rombongan Raja Bantar Angin menuju kerajaan Kediri sesuai waktu yang telah ditentukan. Anehnya, sebelum berangkat sempat terjadi perdebatan antara Kelono Sewandono dan Pujangga Anom. Permasalahan itu dipicu ketidaksopanan Kelono Sewandono. Ketika iring-iringan pengantin hendak meninggalkan kerajaan, tiba-tiba Pujangga Anom dicegat Kelono Sewandono yang melarangnya ikut dalam rombongan.

Dengan kata-kata kasar Kelono Sewandono berujar, “Dimas, kamu lebih baik tinggal di rumah, jaga rumah. Aku malu mengajakmu ikut dalam rombongan. Orang akan memandang apa terhadap diriku bila wajahmu yang jelek itu membuat semua orang takut.”

Pujangga Anom tertunduk lesu memikirkan sindiran kakaknya. Ia tiada daya membantah kata-kata Kelono Sewandono. Akhirnya Pujangga Anom tertinggal sendirian di rumah dan merelakan kepergiaan kakaknya.

Sebenarnya Pujangga Anom sangat ingin menghadiri pernikahan kakaknya, tapi keadaan telah memupuskan pengharapannya. Dalam keadaan emosi ia mengadu kepada dewata: Mengapa saya diberi wajah yang buruk rupa, apa kesalahan hambamu ini.

Akhirnya Pujangga Anom berlari menjauhi istana kerajaan dan bertapa di gunung Wilis. Dalam persemediannya, turunlah sebuah wangsit dari langit. Seketika permintaan Pujangga Anom dikabulkan Dewata. Ia diberi dua buah pusaka berupa Topeng dan Pecut Samang Diman. Yang apabila topeng dikenakan maka wajah Pujangga Anom akan berubah menjadi seorang lelaki tampan. Sedang Pecut Samang Diman memiliki kekuatan tiada tara, gunung akan hancur bila disabetnya, laut terbelah jika terkena sabetannya. Namun dalam wasiat dikatakan bahwa kedua pusaka tersebut tidak boleh diberikan kepada orang lain.

Sementara itu rombongan Kelono Sewandono telah sampai di pintu gerbang kerajaan Kediri. Mendengar iring-iringan Kelono Sewandono memasuki perbatasan Kediri, tak pelak, Dewi Songgolangit lari tunggang langgang meninggalkan kerajaan dan bersembunyi entah kemana. Untuk sesaat Raja Kediri kebingungan, padahal upacara pernikahan sudah diambang batas. Dan Dewi Songgolangit tidak diketahui keberadaannya.

“Lalu bagaimana tanggungjawabku kepada Raja Bantar Angin, ia pasti akan murka.” Seru Sang Raja.

Dalam keadaan kritis itulah, senopati Kediri bernama Singo Ludro diutus untuk menghadang rombongan Kelono Sewandono agar tidak memasuki istana kerajaan. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Antara kedua belah pihak terjadi banyak jatuh korban. Sementara pertempuran Kelono Sewandono dan Singo Ludro memakan waktu berhari-hari. Keduanya sama-sama memiliki kesaktian sebanding.

Dan ketika Singo Ludro merasa kewalahan, ia kemudian merubah wujudnya menjadi seekor singa dan siap menyerang Kelono Sewandono. Pada akhirnya ilmu yang dimiliki Kelono Sewandono tidak mampu menandingi kedikdayaan Singo Ludro. Raja itu jatuh tersungkur bersimbah darah. Wajahnya rusak akibat cakaran singa jelmaan senopati Singo Ludro. Dalam kondisi terdesak muncullah lelaki tampan menghadang langkah Singo Ludro. Ia tak lain Pujangga Anom yang telah mengenakan topeng ketampanan.

Tanpa menunggu aba-aba, Pujangga Anom langsung mengeluarkan Pecut Samang Diman dan melancarkan sabetan terhadap Singo Ludro. Seketika sekujur tubuh Singo Ludro menjadi lumpuh. Ia merangkak meminta ampun kepada Pujangga Anom dan berjanji akan mengabdikan hidupnya.

Merasa kasihan melihat kondisi Singo Ludro, Pujangga Anom segera menyembuhkan musuhnya. Akan tetapi Singo Ludro tidak bisa merubah wujudnya menjadi manusia lagi, hanya badannya saja berupa manusia, sedang kepalanya selamanya berwujud singa.

Namun lain halnya dengan Kelono Sewandono. Raja Bantar Angin ini merasa bersedih setelah mendapati wajah rusak. Pujangga Anom berusaha menghibur kakaknya. Tapi sang kakak selalu tertunduk lesi. Semangat hidupnya seakan telah hilang.

“Aku takkan bisa menikah dengan Dewi Songgolangit. Lebih baik aku pulang ke Bantar Angin.” Keluh Kelono Sewandono.

“Lebih baik baginda meneruskan perjalanan. Di sana sang putri telah menanti baginda, hibur Pujangga Anom.

Kelono Sewandono sendiri tidak mengenal lelaki yang ada di hadapannya. Bahkan ia belum sempat mengucapkan terima kasih karena bantuannya mengalahkan Singo Ludro.

“Bagaimana aku bisa berterima kasih terhadap kisanak. Dan siapakah kisanak ini?” Tanya Kelono Sewandono.

“Aku adikmu, Kanda. Aku Pujangga Anom. Saat ini aku mengenakan topeng ketampanan.” Sambut Pujangga Anom.

Betapa terkejut Kelono Sewandono mendengar penuturan adiknya. Segera ia bersimpuh dan menangis di hadapan Pujangga Anom. Tak lupa ia dan meminta maaf atas kelakuan kasar terhadap dirinya.

“Ini semua akibat kesombonganku terhadapmu, Dimas. Tidak seharusnya aku memperlakukanmu seperti itu. Kamu benar-benar adikku yang bijaksana. Meski wajahmu dulunya jelek, tapi kamu memiliki jiwa yang bear. Dimas, aku meminta maaf atas kekhilafanku,” kata Kelono Sewandono.

“Tidak usah meminta maaf, Kanda. Aku sudah melupakan semua itu. Kini yang terpenting Kanda harus meneruskan perjalanan menuju Kerajaan Kediri. Di sana pasti Putri Dewi Songgolangit telah menanti kehadiran Kanda dengan cemas,” seru Pujangga Anom membesarkan hati kakaknya.

“Bagaimana aku sanggup menghadap sang putri jika wajahku seperti ini. Tidak, lebih baik perjalanan ini selesai sampai di sini. Kita pulang saja.”

Hati Pujangga Anom tidak kuasa melihat penderitaan kakaknya. Lalu, ia segera mencabut topeng ketampanan serta merta meminjamkannya kepada Kelono Sewandono.
“Kanda tak perlu pulang. Aku akan meminjamkan topeng ini kepada Kanda. Setelah Kanda mengenakan topeng ini, maka wajah Kanda akan kembali seperti sedia kala,” kata Pujangga Anom.

“Aku tidak bisa menerima pemberianmu, Dimas. Topeng itu diberikan Dewata khusus untukmu. Sejak dulu kami ingin memiliki wajah tampan dan sekaranglah saatnya.”

“Kanda, bagaimana bisa aku mengenakan topeng jika perasaanku hancur.”

“Apa maksudmu?” Tanya Kelono Sewandono.

“Bagaimana aku bisa mengenakan topeng ini jika aku melihat Kanda menderita begini. Mungkin topeng ini memang diberikan kepadaku, tapi sebenarnya topeng ini bukan untukku melainkan untuk Kanda. Dewata tahu apa yang bakal terjadi. Maka dari itu dewata memberikan topeng ini melalui diriku.”

Karena Pujangga Anom terus mendesak kakaknya, Kelono Sewandono tak kuasa menolak pemberian adiknay tersebut.

“Baiklah jika itu kemauanmu, Dimas.”

Pujangga Anom segera mencabut topeng ketampanannya. Namun ketika topeng dikenakan Kelono Sewandono, seketika wajah Pujangga Anom berubah seperti sedia kala: jelek, bendol, gimbal, gigi runcing. Melihat hal itu Kelono Sewandono sangat bersedih. Ia tak menyangka adiknya mau berkorban demi kakaknya. Betapa besar dan mulia hati adiknya.

Sejak itu Kelono Sewandono bersumpah tidak akan memperlakukan adiknya dengan kasar, bahkan ia semakin menyayanginya. Setelah topeng terlepas dari Pujangga Anom, Kelono Sewandono segera mengenakan topeng tersebut. Ajaibnya, wajah Kelono Sewandono berubah menjadi tampan, malahan lebih tampan dari sebelumnya. Pada saat itu topeng pun tidak bisa dicopot alias melekat untuk selama-lamanya.

Setelah semua berjalan normal, maka untuk menguji kesetiaan Singo Ludro terhadap tuannya, Pujangga Anom menyuruh Singo Ludro mengangkat sebuah dadak, semacam anyaman dari bambu yang telah dihiasi dengan bulu-bulu merak.

Singo Ludro kemudian mengangkat dadak. Dadak itu dikibas-kibaskan mengikuti suara gamelan. Rombongan pengantin kembali pada barisannya menuju kediaman sang putri. Dalam perjalanan, iring-iringan pengantin mendapat sambutan luar biasa dari penduduk setempat. Apalagi melihat tarian Singo Ludro mengibas-ngibaskan dadak, membuat penduduk yang menontonnya berdecak kagum.

Mereka benar-benar melihat suatu kesenian yang belum pernah ada di muka bumi. Orang Ponorogo menyebutnya Dadakan atau Reok. Karena berasal dari Ponorogo maka dinamakan Reok Ponorogo. Adapun pengikut dari dadak atau perwujudan Singo Ludro terdiri atas Kelono Sewandono yang selalu berada di depan memakai topeng berwajah tampan, merupakan perwujudan seorang raja. Pujangga Anom sendiri juga sebagai pengiring dengan memakai topeng seram, rambut gimbal, hidung benjol, mata melotot, biasanya berada di samping Kelono Sewandono. Tak ketinggalan pula pengikut-pengikut lainnya seperti warok yang digambarkan sebagai prajurit dalam mengiringi perjalanan Raja Bantar Angin.

Tak berapa lama iring-iringan pengantin tiba di Kerajaan Kediri. Namun setiba di sana, Kelono Sewandono justru tidak mendapati sang putri berada di kaputren. Kelono Sewandono meresa bersedih. Sebaliknya Pujangga Anom tak kehabisan akal. Dengan kesaktiannya sang putri berhasil ditemukan. Kala itu Dewi Songgolangit bersembunyi di Goa Simomangleng. Kelono Sewandono dan Pujangga Anom segera menemui sang putri. Begitu tiba di goa sang putri merasa takjub dengan ketampanan Kelono Sewandono. Tapi Dewi Songgolangit keburu malu. Ketika dibujuk pulang ke istana, sang putri menolak. Malahan ia tidak bersedia diajak ngomong.

Kelono Sewandono sempat dibuat bingung. Setiap kali ditanya sang putri hanya diam seribu bahasa. Saat itu secara tidak sengaja meluncurlah kata-kata manteq dari Pujangga Anom. Kata-kata tersebut ibarat sabdo pandita ratu yang membawa kutukan bagi Dewi Songgolangit.

Pujangga Anom berkata, “Ditanya diam saja seperti patung.”

Seketika wujud Dewi Songgolangit berubah menjadi patung. Melihat perubahan itu Kelono Sewandono bersedih. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa, mengingat kata-kata Pujangga Anom juga tidak dapat ditarik kembali.

Sejak kejadian itu Kelono Sewandono selalu dihantui perasaan bersalah. Sampai kapanpun cintanya terhadap Dewi Songgolangit takkan tergantikan oleh yang lain, hingga sang raja menemui ajal.

“Nah, jika kau berkunjung ke Goa Simomangleng, di sana akan kau jumpai sebuah patung jelmaan Dewi Songgolangit,” ujar Muksin.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...