Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #46

Kampung Nelayan

Oleh: Jendra Wiswara  

Rumah Afif tidak begitu besar, juga tidak kecil. Ketika memasuki rumahnya tampak tempelan cap-capan super hero di lemari dan meja belajar. Pasti yang menempelkan seorang anak kecil berusia 10 tahun. Di depan pintu juga terdapat tempelan namun lebih mencerminkan kefanatikan pemiliknya terhadap organisasi dan partai. Kulihat sebuah pigora berukuran besar terpampang di dinding tepat di bawah pintu masuk menuju kamar. Dalam pigora tersebut terdapat foto dirinya membuka kedua telapak tangan untuk bermunajat kepada Tuhan. Ia bersama seorang tokoh agama yang sedang duduk di kursi roda. Tokoh itu sangat terkenal, pernah menjadi Presiden RI ketiga. Dialah Gus Dur.

Bagaimana Afif bisa bersama Gus Dur? Aku menduga Afif seorang tokoh penting NU atau anggota partai PKB di Rembang. Benar saja, hampir-hampir dalam setiap obrolan, Afif selalu membahas permasalahan di tubuh NU dan terpecah belahnya PKB yang digawangi Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro. Politik, ah, tidak menarik, membosankan. Sekilas saja aku bersedia mendengar obrolannya, setelah itu obrolan kualihkan ke yang lain.

Afif memiliki isteri seorang guru SD yang sudah mengajar di Pandangan berpuluh-puluh tahun. Keduanya dikarunia tiga orang anak; anak pertama bernama Intan yang beberapa tahun lalu sudah menikah dan dikaruniai seorang anak, anak keduanya kuliah ke luar kota, dan Apang yang paling ragil masih duduk di bangku SD.

Aktivitas Afif sendiri saat itu adalah penasehat lingkungan pesantren. Beberapa kali ia sering terjun sendiri menangani masalah-masalah keagamaan. Namun tidak jarang pula ia duduk sebagai penceramah. Kalau boleh bilang ia seorang pendakwah. Beberapa orang kerap datang ke rumahnya untuk meminta pengobatan dan nasehat seputar masalah orang, walau sebenarnya saat itu kondisi Afif tidak fit, toh ia masih bersedia membantu orang lain. Kemampuan ini diturunkan oleh ayahnya yang juga kyai besar di Rembang. Sebagai anak kyai, Afif sering dipanggil Gus.

Dalam keluarganya, Afif selalu menerapkan pendidikan akhlaq kepada anak-anaknya. Menurutnya, pendidikan agama adalah yang utama sebelum anak itu mengenal dunia lain. Dengan ilmu orang bisa memuliakan diri maupun orang lain, dengan agama orang dapat menentukan arah serta tujuan hidupnya. Afif mengatakan metode pendidikannya hanyalah menekankan kepada ajaran-ajaran Rasulullah saw. Bahkan, ia dan keluarganya termasuk dalam deretan Ahlus Sunnah Waljamaah. Kefanatikannya terhadap Islam membuatku ingin mencuri-curi ilmunya walau sebenarnya aku terkesan cuek bila bertemu dengannya.

Beberapa kali pula aku memergoki pendidikan agama diterapkan Afif terhadap Apang. Dari lantai atas aku bisa mendengar mereka berdebat soal agama. Apang merengek dan ngeyel kepada ayahnya bahwa ia sudah sholat isya’, sementara ayahnya masih belum percaya. Maka, terjadilah perdebatan seru. Sayup-sayup kudengar perdebatan mulai hilang. Kukira telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga, sengaja aku turun dan kudapati mereka sudah tertidur pulas.

Bagi Afif, perbedaan dalam Islam adalah hal yang wajar. Dulu, pada jaman Nabi juga pernah terjadi perbedaan pendapat. Dan selama hal itu dapat diterima dan membawa kemaslahatan bagi umat, maka, apapun perbedaannya masih dianggap dalam batas kewajaran.

Selama menginap di rumah Afif, aku tidur di lantai atas yang jarang digunakan. Biasanya lantai tersebut ditempati anaknya yang kuliah ke luar kota. Karena sang anak jarang pulang, maka kamar tersebut sekedar dipakai sebagai tumpukan pakaian dan barang-barang tidak terpakai. Hanya waktu-waktu tertentu keluarga Afif berkumpul di lantai atas, itu pun bila mereka kangen dengan anaknya.

Bila malam tiba, angin laut menerpa dengan sangat kencang dari atas. Udara dinginnya berbeda dengan udara di pegunungan. Dari lantai ini aku dapat melihat puluhan rumah penduduk berdiri kokoh dengan bangunan ala modernnya. Umumnya penduduk desa nelayan termasuk orang yang gemar mengumpulkan materi atau harta untuk kepentingan pribadinya. Walaupun kadang makanannya terkesan biasa-biasa karena merupakan hasil tangkapan ikan di laut, akan tetapi bila melongok bangunan rumah-rumah amatlah tidak mencerminkan kehidupan nelayan yang sesungguhnya.

Bukan itu saja, sesuai adat pernikahan dalam masyarakatnya, kebanyakan anak-anak perempuan yang sudah memasuki akil baliq segera dinikahkan. Bahkan ada pula usianya yang masih belasan tahun sudah menimang anak. Budaya kawin muda di kampung nelayan ini kiranya sudah menjadi tradisi yang turun menurun. Terserah anggapan orang, yang jelas aku cuma menginformasikan saja. Bahkan kalau aku mau, kata Afif, aku bisa mencari calon isteri dengan mudah di sini.

Sekali waktu aku menyempatkan berkeliling ke kampung. Beberapa rumah nampaknya memang sudah banyak berubah. Dulu, katanya, desa nelayan ini terkenal paling kumuh, berpenyakitan, dan terisolasi dari dunia luar. Namun beberapa tahun belakangan, semua kampung nelayan telah dapat menghidupi dirinya sendiri.

Mereka mulai mengenal yang namanya tekonologi, seperti televisi, kulkas, komputer, playstasion, dan lain-lain. Hampir setiap rumah memiliki bangunan megah dan kokoh. Bila dilihat dari kacamata orang perkotaan, bangunan rumah para nelayan tersebut lebih cocok dimiliki oleh orang-orang kaya. Inilah perbedaannya nelayan dan petani. Para nelayan jaman sekarang memandang bahwa dengan mengumpulkan materi sebanyak-banyaknya, mereka tidak lagi dianggap sebagai orang rendahan–meski pada kenyataan masih banyak ditemui nelayan-nelayan yang jauh lebih menderita.

Sepintas aku melihat ada unsur riya’ di dalamnya atau mereka sengaja mempertontokan atau memamerkan dirinya agar mendapat pujian dari orang lain. Hal ini justru bukan menjadi masalah bagi mereka, toh selama mereka dapat berdiri di atas kaki sendiri tanpa melibatkan orang lain, seperti pemerintah, lalu apanya yang mesti dipusingkan.

Perjalananku di kampung nelayan tidak sekedar berkeliling kampung, melainkan juga menyambangi bagaimana pekerjaan nelayan sejati. Sebelum lewat subuh, suami Intan, menantu Afif bersedia mengantarku berkeliling hingga ke pantai dimana banyak tertambat kapal-kapal nelayan.

Di pantai inilah aku menghabiskan waktu duduk di atas pasir dengan ditemani binatang-binatang berkaki banyak, yakni kepiting. Setiap didekati kepiting-kepiting itu terpontang-panting mengambil langkah kencang yang hampir-hampir tak sanggup kutangkap.

Pukul tiga dini hari, ketika cahaya bulan menerangi di sekelilingnya, kulihat beberapa nelayan bersiap-siap melaut. Mereka sebelas orang. Tampak jaring atau jala berukuran besar dipanggul di pundak setiap orang. Setelah memasuki kapal seorang dari mereka melihatku dan menawari melaut.

“Mau ikut, Mas?”

“Ke tengah laut ya, Pak!”

“Masa ke daratan, Mas!” Sahut nelayan lainnya disertai canda tawa.

Suami Intan menolak ikut. Katanya dia tidak tahan udara laut di malam hari. Saat kutanya biasanya berapa jam mereka berlayar, dia menjawab sekitar siang sudah dipastikan pulang.

“Oke, Pak, saya ikut!” Kataku.

“Silahkan naik!”

Aku lantas naik di atas kapal dengan gagahnya. Namun sebelum naik seorang dari mereka menyuruhku membantunya melepas tambatan tali kapal. Tak berapa lama, kapal pun sudah berada di tengah-tengah. Beruntung malam itu gulungan ombak tidak seberapa tinggi, sehingga masalah mabuk dapat kutahan. Dalam perjalanan seorang nelayan bertanya padaku, “Bisa berenang, Mas?”

Alamak, kenapa baru sekarang ia bertanya.

“Bisa.” Sahutku secepatnya.

Bagaimana seandainya tadi aku tak bisa berenang, apa mungkin mereka membiarkanku ikut. Selama di kapal aku juga selalu memikirkan bagaimana bila sewaktu-waktu kapal terbalik. Lagipula tubuh ini tidak mengenakan pelampung layaknya alat keselamatan di kapal-kapal pesiar.

Sepandai-pandainya orang berenang bila terguling di tengah laut dan terombang-ambing air pasang adalah perbuatan konyol, tinggal menunggu matinya saja.

Saat kutanya apakah mereka pernah mengalami kapalnya terbalik, mereka menjawab dengan menggelitik.

“Pernah, Mas. Sekali waktu kapal ini pernah terbalik diterjang ombak besar.”

“Masa?” Perasaanku kian ketar-ketir.

“Tapi beruntunglah sampai sekarang belum. He…he…he… Beberapa nelayan sebelum berangkat selalu memperhitungkan segala kemungkinan terburuknya, seperti melihat kondisi gelombang pasang air laut. Kalau tinggi, ya, mana mungkin kami berani melaut.” Rupanya mereka sengaja menggoda dan menakut-nakutiku. Dan, itu berhasil. Kakiku sampai lemas dibuatnya.

Beruntung kejadian kapal terbalik belum pernah mereka alami. Setidaknya dari sini penilaianku mengatakan, bahwa aku tidak perlu khawatir dengan masalah kapal terbalik karena orang-orang yang kuikuti adalah orang-orang professional dan berpengalaman di bidangnya.

Dari kejauhan kulihat kelap-kelip lampu perkampungan sudah semakin mengecil. Bayangan orang-orang pun tidak kelihatan lagi. Jauh ke tengah laut hari sudah memasuki waktu subuh. Beberapa nelayan mulai bergiliran sholat. Giliran berikutnya aku. Hanya sayang, ketika hendak sholat tiba-tiba ombak datang dengan kecepatan tinggi menghantam badan kapal. Seketika kapal terombang-ambing bagai kepingan kecil di tengah-tengah samudera. Aku keluar dari bilik kapal dan menanyakan hal tersebut. Mereka malah menjawab dengan santai, “Tenang saja, Mas. Ini cuma ombak biasa. Silahkan dilanjutkan sholatnya.” Jawab mereka.

Sholat, bagaimana bisa dengan kondisi seperti ini. Ombak telah membuat konsentrasiku hilang. Lagipula, bila melihat kondisi kapal yang bergerak-gerak tidak karuan, tidak memungkinkan untuk menjalankan sholat. Jangankan sholat, berdiri saja sudah limbung hampir jatuh.

Tapi Tuhan Maha Tahu, Maha Adil, Maha Bijaksana, dan Maha Menerima. Apapun yang dialami makhlukNya, Tuhan tetap bersedia menerima doa kita.

Karena aku tak sanggup sembahyang dalam keadaan berdiri, kuputuskan untuk duduk saja. Kukira dengan begini aku tak perlu repot-repot mencari pegangan bila sewaktu-waktu ombak menghantam kapal. Bahkan sebuah kejadian yang sering kualami perlahan mulai mendera. Sebuah sensasi luar biasa kembali merambati isi perutku. Tiba-tiba kurasakan kepala pening, bumi seakan berputar 180 derajat. Aku limbung. Sekujur tubuh serasa mati rasa. Spontanitas kuraih sesuatu yang bisa kuraih, dan yang kudapati adalah tonggak kayu di sisi kapal. Ada apa ini? Rupanya aku tengah mabuk laut. Bukan sekedar mabuk, tapi aku sudah tidak tahan mengeluarkan semua isi-isinya. Aku segera lari keluar dan memuntahkan diri. Huek…huek…

Seorang nelayan berceletuk, “Wah, kalau melihat dari gerak-geriknya sepertinya kamu bukan pelaut sejati.”

“Bagaimana Anda bisa berkata begitu?”

“Seorang pelaut sejati tidak pernah muntah walau itu pertama kalinya mereka melaut.”

Ah, dasar nelayan, terserahlah apa kalian. Lagipula aku tidak pernah punya pikiran menjadi pelaut. Yang jelas untuk yang satu ini aku memang tidak kuat. Huek…huek…huek…

Selesai sholat, kudengar nelayan berteriak lantang, “Hoooeee, sudah sampai.”

Seketika mesin kapal berhenti. Beberapa orang nampak kerepotan mempersiapkan jaringnya. Tak lama jaring pun siap diceburkan ke laut dengan meninggalkan semacam kail besar ke tengah-tengahnya yang mengambang tertiup angin dan ombak. Setelah itu, kapal kembali berangkat. Saat kutanya bagaimana nelayan bisa tahu bahwa di sini terdapat ikan. Mereka menjawab secara berjamaah, “Pokoknya kalau kita sudah ketemu air biru, berarti ada kemungkinan di sini letak ikan-ikan tersebut.”

“Bagaimana bila tidak ada ikannya?” Tanyaku.

“Kita cari lagi lebih ke tengah. Yah, namanya juga rejeki mas, itu terserah Yang Di Atas. Kita cukup berusaha dan berdoa. Lagipula banyak juga para nelayan yang pulang dengan tangan hampa. Semoga saja hari ini kita tidak pulang tanpa hasil.”

Tak selang lama, semua jaring sudah diceburkan ke laut. Langkah selanjutnya adalah mununggu. Beberapa jam kami menunggu di tengah laut, kian lama terasa membosankan juga. Yang bisa kami lakukan saat itu hanya berbincang-bincang sambil menunggu ikan-ikan masuk dalam jaring.

Beruntung keikutsertaanku saat itu dapat memberikan warna baru bagi penantian panjang mereka. Saat menunggu ikan, mereka biasanya menyibukkan diri dengan tidur-tiduran, ada pula yang nongkrong di buritan kapal, sebagian lagi nampak terlibat obrolan yang bila kutebak obrolannya pasti tidak melenceng dari penceritaan keluarga masing-masing. Tapi setelah ada aku, suasana berubah marak. Di atas kapal aku ditanggap selama berjam-jam. Aku pun tidak kehabisan akal, kuceritakan semua pengalamanku berkeliling sebagai penghibur kebosanan. Mereka mendengarkan dengan seksama, bahkan sebagian dari mereka tak berkedip seakan terkena hipnotis ceritaku. Entah sudah berapa banyak batang rokok telah kami habiskan untuk menemani waktu yang membosankan tersebut.

Dalam kesempatan itu aku juga menanyakan mengenai pembagian hasil dari tangkapan ikan-ikan yang didapatkan. Mereka menjawab secara bergiliran dan runtut. Menurut mereka, ada beberapa cara dilakukan nelayan dalam membagi hasil tangkapan. Dari sebelas orang di hadapanku, satu orang mendapat bagian lebih besar. Dan itu adalah nahkoda kapal sekaligus penunjuk arah. Selebihnya hasil tangkapan dibagi rata.

Selain itu ada juga kapal yang disewakan pertahunnya oleh pemilik kapal kepada nelayan. Biasanya para nelayan menyewa secara patungan. Kalau soal sewa tentu hasilnya dibagi rata antara penyewa. Namun ada juga pemilik kapal yang tidak menyewakan kapal melainkan memfungsikannya untuk dipakai nelayan. Nelayan-nelayan itu menyebutnya kejar setoran. Mirip pengemudi taksi saja, pikirku.

Konon, cara ini dianggap lebih menyusahkan nelayan-nelayan yang miskin, karena setorannya dirasa terlalu besar dan berat. Para nelayan diwajibkan menyetor separuh dari hasil tangkapannya atau bahkan ada yang 60-70 persen untuk pemilik kapal. Beruntung bila mereka mendapati pemilik kapal yang dermawan.

Ketika matahari sudah menyongsong di atas kepala kami, jaring-jaring kemudian diangkat. Walhasil, ternyata tangkapan yang kami dapat jauh lebih besar dari dugaanku. Sebut saja ikan tongkol, jaring kami sering menjeratnya. Ukurannya ada yang kecil, ada pula yang besar. Ikan-ikan lain juga tidak kalah, ada ikan kakap, ikan layur, dan yang paling besar ikan pari. Ini satu-satunya ikan paling kusuka.

Biasanya di rumah, aku dan ayah kerap memakannya dengan sambal terasi. Hmm, rasanya sedap. Seingatku ikan ini pula yang dulunya menyebabkan Steve Irwin, peneliti hewan dari Australia, meninggal dunia akibat terkena sengatan listriknya sewaktu sedang melakukan penelitian di dasar laut.

Pukul sepuluh pagi kami pulang diiringi perasaan bahagia. Dan seperti harapan kami semua, kami tidak pulang dengan tangan hampa. Setiba di daratan beberapa orang menyambut kami. Mereka kebanyakan isteri dan anak-anak nelayan. Aku segera turun dan mengucap syukur kehadirat Allah karena masih diberi kesempatan menghirup udara bebas.

Maklum, sedari Subuh aku terus was-was apakah bisa selamat dengan kondisi ombak yang tidak menentu.

Ikan hasil tangkapan dibawa ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI), untuk kemudian dikirim ke Tuban, Pati, Semarang, dan Demak. Sebelum aku minta diri, beberapa nelayan sempat menghentikanku dan memberi ikan hasil tangkapannya. Kutolak kebaikannya dengan alasan bahwa perjalananku masih panjang. Mereka mengerti, aku kembali ke rumah Afif. Setelah menemani Afif ngobrol barang sesaat, kemudian aku minta diri melanjutkan perjalanan.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...