Oleh: Noviyanto Aji
Setelah cukup jalan-jalan keliling Jembatan Merah, Mus kembali ke rumah. Hari ini tugasnya bertambah. Sebab ia semakin yakin perjuangannya sebagai pemberi informasi tidak akan berakhir sampai di situ saja.
“Di luar sana banyak teman-teman yang mengharapkan bantuanku. Dan aku tidak akan mengecewakan mereka. Aku tahu tugasku ini berat. Tapi aku melakukannya demi bangsa. Aku ikhlas!”
Setelah itu suasana kembali seperti biasa. Kabar kematian serdadu Belanda lambat laun tak terdengar gaungnya.
Para tamu Tjan Cuk kembali berdatangan. Ini semakin memantapkan tugas Mus untuk memberi informasi sebanyak-banyak kepada teman-teman seperjuangannya.
Beberapa kali Mus menyelinapkan informasi keluar, dan beberapa kali tugasnya tiada memiliki cacat. Sempurna.
Pun Moenasan, ia melaksanakan tugasnya cukup baik. Informasi yang diberikan Mus sangat terpercaya. Terbukti, sejak Mus menjadi informan, beberapa serdadu Belanda dan pejabat-pejabat teras telah berhasil dibunuh.
Setelah hartanya dikuras, jasadnya dibuang seenaknya. Ada yang dibuang ke Jalan Iskandar Muda, Jalan Djakarta, Jembatan Merah, Kalimas hingga Pelabuhan Oejoeng.
Rata-rata jasad itu diketemukan dalam keadaan mengenaskan. Semua tubuhnya dipenuhi luka-luka tusukan cukup dalam.
Sementara polisi yang menyelidik kasus tersebut merasa kuwalahan. Polisi tidak memiliki cukup bukti yang dapat membawa mereka kepada pelaku pembunuhan.
Pasalnya, semua kejahatan itu telah direncanakan cukup rapi. Para pencoleng-pencoleng itu melakukannya dengan rencana matang. Mereka tidak mau menghabisi korbannya di sekitar rumah Mus.
Yah, mereka sengaja mengalihkan sasaran ketika korban sudah menjauh dari rumah Mus. Mereka tak mau Mus menjadi sasaran investigasi polisi.
Terbukti, tak satupun polisi yang berhasil menguak misteri di balik pembunuhan orang-orang Belanda tersebut. Walau semua tempat-tempat telah disisir, toh, semakin hari jejak pelaku semakin kabur dan sulit dikenali.
Sejak itu jam malam mulai diberlakukan di penjuru-penjuru kota. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Sebab banyak polisi patroli yang bosan dengan pemberlakuan jam malam tersebut. Sehingga ketika jam malam tiba, mereka yang berpatroli lebih memilih ngepos di satu tempat ketimbang harus keliling kota.
Tentu saja hal ini menjadi angin segar bagi Moenasan dan anak buahnya untuk kembali melancarkan aksinya. Dan pembunuhan kembali terjadi. Lagi-lagi polisi setempat disalahkan karena dianggap lengah menjaga wilayahnya. Polisi dan pemerintah bersitegang.
Melihat kondisi itu, Moenasan menepuk bahu dengan bangganya. “Kalau tidak ada Mus, gadis muda asal Gresik di rumah Tjan Cuk, semua ini tidak akan terjadi. Ha…ha…ha…dia benar-benar gadis hebat, seorang gadis desa sanggup mengadu domba Belanda. Ckkk…ckkk…ckkk…!” kata Moenasan kepada anak buahnya.
“Aku tidak percaya Belanda bisa terpedaya. Bukannya mencari pelaku, malah saling tuding. Bukan aku saja yang turut andil, tapi juga pejuang-pejuang yang mengatasnamakan pencoleng-pencoleng Surabaya yang mampu melakukan semua itu. Mereka sudah hebat dari pertama kami bertemu. Aku salut dengan sepak terjang mereka. Aku salut dengan semangat mereka. Mereka bak singa di malam hari, dan menjadi kucing manis di siang hari.” [bersambung]