Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Ziarah Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Harus Pakai Kemben

Makam Imogiri menjadi simbol kesakralan. Tak heran jika tempat ini selalu ramai dikunjungi. Peziarah juga tidak boleh sembarangan masuk. Sebelum masuk mereka harus mencopot seluruh pakaian dan berganti dengan kemben. Itu untuk menjaga kesakralan makam, terutama makam Sultan Agung.

REKAYOREK.ID Dalem Para Nata di Panjimatan Imogiri, Bantul, merupakan makam raja-raja Mataram ‘beristirahat’. Di makam raja-raja ini peziarah harus melakukan laku prihatin. Pasalnya, di sinilah Pangeran Sultan Agung beserta raja-raja mataram yang lain sumare. Baik itu yang bertahta di Kasultanan Ngayogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.

Namun untuk bisa memasuki makam tidak sembarangan pengunjung. Terutama di makam Raja Mataram pertama, Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Ada pantangan yang tidak boleh dilanggar, khususnya bagi wanita yang sedang mentruasi. Dan untuk masuk harus memakai baju berwarna biru dan harus pula menanggalkan perhiasan.

Menurut salah satu Lurah Makam Panjimatan, Ki Jogo Warsito, biasanya pada hari Selasa dan
Jumat Kliwon merupakan hari yang paling pas untuk berziarah.

“Hari itu selalu dikunjungi peziarah. Tak hanya itu, peziarah yang datang banyak yang dari kalangan keluarga kraton Kasulatanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta. Dan menjelang sore dan tengah malam peziarah akan semakin ramai meski pintu utama makam telah ditutup,” terang Warsito.

Peziarah memasuki makam harus ganti pakaian dengan beskap mirip kemben. Foto: Istimewa

Namun kata Warsito, peziarah yang masuk ke makam Sultan Agung harus dalam keadaan suci. Jadi seluruh pakaian dilepas dan diganti pakaian peranakan berupa beskap warna hitam atau biru tua bergaris-garis, tentunya tanpa mengenakan keris atau hanya memakai kait/karit tanpa baju. Sekilas mirip kemben. Sedangkan bagi wanita, mereka harus mengenakan kemben.

“Peziarah harus pakai pakaian peranakan kalau mau masuk. Sebab adatnya memang begitu. Itu
sudah aturan dari kraton,” kata Warsito.

Warsito menambahkan, meski ada sekitar 24 Raja Mataram yang disemayamkan di makam suci Imogiri, namun para peziarah hanya boleh mengunjungi atau berdoa di sekitar pesarean yang telah diijinkan oleh pihak kraton.

Seperti makam Sri Sultan Hamengku Buwono VII, Sri Sultan Hamengku Bowono VIII serta Sri Sultan Hamengku Bowono IX. Sedangkan waktu dan hari berkunjung pun dibatasi pada hari tertentu.

“Misalkan pada hari Jumat, hanya dibuka pada jam 13.00-16.00 serta hari Minggu dan Senin antara jam 10.00 s/d jam 13.00 wib,” tutur Warsito.

Segenggam Pasir Dari Mekkah

Raja-raja jaman dahulu sebagian besar bersifat sentralistik. Dalam segala aspek kehidupan mengacu kepada kekuasaan tunggal yaitu Sang Maharaja.

Setiap Kadipaten diwajibkan memberikan upeti kepada kerajaan, jangan coba-coba menolak membayar upeti ini kalau tidak mau diserbu dan dimusnahkan.

Kehidupan Sang Raja menjadi perhatian utama para kawula saat itu, hingga tempat pemakamannya pun sudah dipersiapkan jauh-jauh hari waktu sang raja masih hidup.

Jadwal kunjungan peziarah. Foto: Istimewa

Makam Imogiri terletak di sebelah Selatan Jogja – kurang lebih 45 menit ke arah Selatan perjalanan dengan menggunakan kendaraan sendiri, atau bisa juga ditempuh dengan minibus dari Jogja langsung sampai di depan pintu masuk makam. Makam ini terletak di atas perbukitan yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu.

Makam raja-raja Mataram yang memiliki anak tangga 554 buah ini merupakan makam yang dibangun oleh Sultan Agung pada tahun 1645. Pesarean Imogiri yang juga disebut makam suci Imogiri.

Konon menurut sebuah riwayat disebutkan, Imogiri dibangun oleh Sultan Agung saat beliau berada di Mekkah.

Yah, Sultan Agung kala itu dikenal sebagai raja yang cerdik dan pandai. Sehingga rakyatnya maupun makhluk halus serta jin takluk dan tunduk atas kekuasaannya. Dan negeri Mataram terkenal sebagai pelindung penyakit.

Kanjeng Sultan disebutkan setiap hari Jumat dapat pergi bersujud ke Mekkah dengan secepat kilat. Sesudah 5 tahun memerintah, kerajaannya dipindahkan ke Kerta-Plered dan selanjutnya Kanjeng Sultan ingin memulai membuat makam di Pegunungan Girilaya yang terletak di sebelah Timur Laut Imogiri yang dipergunakan sebagai makam raja.

Tetapi sebelum makam itu selesai, pamannya yaitu Gusti Pangeran Juminah lebih dulu mengajukan permintaan. Kemudian Sinuhun merasa kecewa. Tidak lama kemudian, pamannya meninggal seketika.

Sesudah pamannya meninggal, Kanjeng Sultan Agung melemparkan pasir yang berasal dari Mekkah yang akhirnya pasir tersebut jatuh di Pegunungan Merak. Selanjutnya Sinuhun segera membuat makam raja di pegunungan yang besar dan tinggi tersebut.

Nama Imogiri yang berasal dari kata imo yang bermakna halimun atau kabut serta giri yang berarti gunung, sehingga memiliki arti gunung yang tertutup kabut, adalah merupakan nama pemberian Sultan Agung.

Makam Imogiri. Foto: Istimewa

Karena sudah memiliki tempat pemakaman, saat Sultan Agung wafat, beliau pun kemudian dimakamkan di Imogiri. Sebagai seorang raja berwibawa tinggi dan selalu mengayomi rakyatnya, tanah di mana beliau sumare hingga saat ini terus mengeluarkan bau yang sangat wangi.

Selain berbau wangi, tempat ‘istirahat’ Sultan Agung juga mengeluarkan cahaya. Sehingga meskipun langit terlihat mendung hitam pekat dan ketika waktu telah sore, tempat ini tetap kelihatan terang benderang, bercahaya bagai tersinari oleh lampu.

Namun karena tempatnya sangat disakralkan, hanya dari kalangan keluarga kraton yang bisa masuk lokasi ini.

“Tidak sembarang orang boleh masuk ke makam Sultan. Yang diperbolehkan hanya kalangan keluarga kraton. Selain itu, pengunjung yang masuk ke makam juga dilarang membawa kamera,” ujar Warsito.

Meski begitu setiap masyarakat yang berziarah di makam raja-raja Mataram, mereka tetap bisa mendoakan dari luar area makam. Dan doa tersebut tetap mustajab, karena dilandasi oleh keyakinan mereka sendiri. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang rela nenepi meski hanya di lingkungan sekitar makam.

Menghitung Anak Tangga

Siapa pun harus menaiki anak-anak tangga menuju ke puncak makam Imogiri. Berapa jumlah anak-anak tangga (undag-undagan) yang harus dilalui hingga bisa mencapai pintu masuk ke kompleks makam Sultan Agung?

Pertanyaan ini barangkali sangat iseng, tetapi diam-diam jumlah anak tangga juga menarik dibicarakan. Sebab, banyak peziarah yang tidak sama satu dengan yang lain dalam menghitung anak-anak tangga itu.

Menurut Pawirodiharjo, abdi dalem yang mengaku sebagai pemandu wisata, jumlah anak tangga makam Imogiri itu ada 409 buah. Abdi dalem lainnya yang berjaga-jaga di masjid, yang sewaktu-waktu bisa mengantar tamu wisata berziarah, juga menyebutkan 409 buah. Artinya, jumlah 409 adalah jumlah baku. Atau, jumlah berdasarkan kesepakatan.

Anak tangga menuju makam Imogiri. Foto: Istimewa

Menurut pengalaman mereka, “Lebih mudah menghitung kalau kita naik daripada kalau kita menuruni tangga,” aku Pawirodiharjo yang memandu tamu wisata makam Imogiri selama sekitar dua setengah jam.

Namun demikian, tak semua peziarah bisa benar menghitung anak-anak tangga ke makam Imogiri. Tak semua peziarah yang datang ke makam Imogiri menghitung sampai pada bilangan 409. Ada saja yang salah hitung. Atau, tak sampai selesai. Bahkan, bisa jadi lupa di tengah jalan. Mau mengulang dari bawah, malas.

Banyak peziarah yang tidak tahu berapa jumlah anak tangga, bila tidak bertanya pada juru kuncinya atau abdi dalem yang biasa memandu wisatawan atau peziarah ini.

“Ada peziarah yang menghitung sampai 366 atau kurang dari 409. Ada yang hanya sampai seratus, lalu tidak meneruskan menghitung,” terangnya.

Lalu mengapa bisa terjadi salah hitung jumlah anak tangga? Persoalan jumlah anak tangga makam
Imogiri ini bisa saja dibiarkan menjadi teka-teki. Sebab, terjadinya selisih hitungan merupakan daya tarik, sesuai dengan penafsiran peziarah. Lain halnya bila para peziarah sudah diberi tahu bahwa jumlah anak tangga itu 409.

Terjadinya salah hitung, sangat mungkin karena napas peziarah tersengal-sengal ketika menaiki anak-anak tangga itu. Ini diakui oleh Pawirodiharjo dan juga tamu-tamu peziarah.

“Memang, untuk menaiki anak-anak tangga setinggi itu agar bisa mencapai pintu masuk ke makam Sultan Agung, napas kita bisa tersengal-sengal. Apalagi bagi mereka yang belum biasa naik tangga setinggi itu. Pasti ada kendala dalam menghitung,” tutur Pawirodiharjo.

Selain itu, ada pendapat mengapa tak bisa mencapai hitungan angka 409, karena mereka menghitung sambil berkata-kata, sehingga konsentrasinya hilang. Tetapi, memang bermacam-macam tujuan orang datang ke makam Imogiri ini. Sengaja berziarah ke makam Sultan Agung. Sambil menaiki anak tangga, ada yang iseng menghitung. Tepat atau tidak tepat hitungan itu, tak menjadi soal.

Para peziarah di makam Imogiri. Foto: Istimewa

Ada salah seorang peziarah yang sudah menghitung sampai 50, mestinya ia sudah menghitung pada angka 60. Sehingga, tidak genap 409. Ada pula yang menghitung 309. Ke mana yang 100 buah? Hitungan bakunya adalah 409.

Ditambahkan Pawirodiharjo, angka 409 tidak mengandung sebuah makna khusus. Tetapi, ini juga bukan matematika.

“Bila kita ingin benar menghitung anak-anak tangga itu, ada saran: setiap anak tangga selesai dihitung kita beri angka. Hitungan akan berhenti sampai pada angka 409. Tidak percaya? Coba saja sendiri,” katanya.

Tingginya makam Imogiri ini, menurut Pawirodiharjo, tak sekedar dilihat pada jumlah anak
tangga. Sesungguhnya ini bisa dibaca sebagai simbol.

“Bahwa untuk mencapai ketenteraman, orang harus melalui cobaan. Dipilihnya tempat yang agak tinggi karena sudah menjadi pilihan Sultan Agung sendiri ketika berada di Mekkah,” pungkasnya.[lan]

Komentar
Loading...