Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Aksara Hanacaraka dan Kemisteriusan Ajisaka

Bila pada saat itu Ajisaka sudah dikenal atau sebut saja dia pencipta Hanacaraka, paling tidak ada catatan sejarahnya. Namun kisah tentang Ajisaka hanya ditemukan dalam bahasa Jawa baru, artinya kisahnya ditulis pada jaman Kapujanggan (Mataram Kartasuran).

REKAYOREK.ID Aksara Jawa atau lebih dikenal dengan sebutan Hanacaraka selalu berputar ke legenda Ajisaka. Sayang, minimnya refrensi tentang Ajisaka, justru memunculkan banyak cerita rakyat atau mitologi. Sulit ditemukan literatur sejarah yang bisa dipertanggungjawabkan.

Padahal bila melihat awal pemakaian huruf Jawa yang bersamaan dengan berkuasanya Sultan Agung di Mataram, catatan tentang itu (Ajisaka) seharusnya ada. Apalagi aksara Hanacaraka bukan sekedar tulisan Jawa, melainkan sebuah perabadan, sebuah peninggalan budaya yang tak ternilai harganya.

Bentuk aksara dan seni pembuatan menjadi suatu peninggalan yang patut untuk dilestarikan. Tak hanya di Jawa, aksara Jawa ini rupanya juga digunakan di daerah Sunda dan Bali, walau memang ada sedikit perbedaan dalam penulisan. Pada dasarnya aksara yang digunakan tetap sama.

Di bangku sekolah dasar, kita tidak asing dengan pelajaran menulis aksara Jawa. Namun tahukah kita bahwa aksara Jawa yang berjumlah 20 yang terdiri dari Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Ta Nga dinamakan aksara Legena.

Ya, aksara Legena merupakan aksara Jawa pokok yang jumlahnya 20 buah. Sebagai pendamping, setiap suku kata tersebut mempunyai pasangan, yakni kata yang berfungsi untuk mengikuti suku kata mati atau tertutup, dengan suku kata berikutnya, kecuali suku kata yang tertutup oleh wignyan, cecak dan layar.

Tulisan Jawa bersifat Silabik atau merupakan suku kata. Sebagai tambahan, di dalam aksara Jawa juga dikenal huruf kapital yang dinamakan aksara Murda. Penggunaannya untuk menulis nama gelar, nama diri, nama geografi, dan nama lembaga.

Sebelum Sultan Agung, aksara yang dipakai adalah arab pegon, ketika jaman kerajaan Demak-Pajang. Di jaman Majapahit yang digunakan adalah aksara pallawa.

Kalau memang Ajisaka penemu hanacaraka tentunya orang Jawa tidak mengenal aksara pallawa dan devanagari. Nyatanya semua prasasti ditulis dalam huruf pallawa. Terlebih lagi tidak ada bentuk kakawin dalam Jawa Kawi yang memuat kisah Hanacaraka.

Sebenarnya bangsa Nusantara ini memiliki tradisi berupa tradisi lisan dan bukan tulisan. Maka dari itu banyak candi memiliki relief berupa cerita mirip komik sehingga mudah dipahami oleh masyarakat.

Ketika tingkat intelektualitas kalangan bangsawan dan cendekia merasa kurang praktis dengan bahasa gambar, mereka meminjam dan memodifikasi aksara India (pallawa dan devanagari) untuk dijadikan tulisan nusantara. Namun bukan tentu juga aksara tersebut diciptakan oleh Ajisaka meski sosoknya disebut berasal dari India.

Bila pada saat itu Ajisaka sudah dikenal atau sebut saja dia pencipta Hanacaraka, paling tidak ada catatan sejarahnya. Namun kisah tentang Ajisaka hanya ditemukan dalam bahasa Jawa baru, artinya kisahnya ditulis pada jaman Kapujanggan (Mataram Kartasuran).

Aksara Jawa ternyata pernah mengalami peralihan. Ada aksara Jawa kuno dan aksara Jawa baru. Namun sulit untuk mengetahui secara pasti kapan masa lahir, masa jaya, dan masa peralihan aksara Jawa kuno dan aksara Jawa baru.

Sri Ratna Sakti Mulya, Dosen Sastra Jawa UGM mengatakan, “Sangat sulit menemukan kapan lahir ataupun peralihannya. Dikarenakan juga masih sedikit orang yang melakukan penelitian tentang hal ini,” jelasnya.

Aksara Jawa kuno diprediksi ada pada jaman Mataram Kuno. Sementara aksara Jawa kuno juga mirip dengan aksara Kawi. “Jika mau diurut-urutkan, sejarah aksara Jawa ini berasal dari cerita Ajisaka dan Dewata Cengkar,” tambahnya.

Dari penulisannya pada jaman dahulu pun, ternyata Aksara Jawa dapat dibedakan menjadi 2, yaitu aksara yang ditulis oleh orang-orang Kraton dan aksara yang ditulis oleh masyarakat biasa – lebih dikenal dengan sebutan aksara Pesisir.

Rimawan, Abdi Dalem yang membantu mengelola Perpustakaan Pakualaman menjelaskan, jika aksara Kraton mempunyai bentuk yang jauh lebih rapi. Aksara-aksaranya ditulis dengan jelas dan rapi, serta naskah sering dihiasi dengan gambar ornamen-ornamen yang mempunyai arti tersembunyi.

“Setiap gambar yang menghiasi halaman naskah, mempunyai arti dan maknanya masing-masing. Kadang juga dihiasi dengan tinta emas asli. Dan ini semuanya adalah tulisan tangan,” terang Rimawan.

Sedangkan aksara Pesisir, lanjutnya, penulisannya kurang rapi. Sebagai salah satu cara pelestarian, banyak koleksi naskah aksara Jawa sejak jaman dahulu tersimpan rapi di Perpustakaan Pakualaman dan Perpustakaan Kraton.

Perpustakaan Pakualaman menyimpan sekitar 251 naskah kuno yang dikumpulkan mulai sejak masa Pakualam I hingga Pakualam VII. Sementara aksara Jawa sudah mendapat pengakuan resmi dari Unicode, lembaga di bawah naungan UNESCO. Pengakuan ini diberikan pada 2 Oktober 2009, bersamaan dengan penetapan batik sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Dengan pengakuan itu, kini aksara Jawa bisa dipakai untuk komputer yang setara dengan huruf lain di dunia yang telah digunakan dalam komputer, seperti Latin, Cina, Arab, dan Jepang.

Pengakuan tersebut diberikan setelah Ki Demang Sokowaten dari Yogyakarta pada 9 September 2007 silam mendaftarkannya ke Unicode. Banyak keuntungan bagi Indonesia apabila aksara Jawa diakui UNESCO sebagai simbol salah satu bahasa ibu di dunia, di antaranya: terlindungi dari ancaman kepunahan, melindungi dan melestarikan sendi-sendi kebudayaan aksara Jawa, serta tidak bisa dicuri atau diklaim pihak manapun.

Aksara hanacaraka atau yang dikenal dengan nama carakan termasuk ke dalam kelompok turunan aksara Brahmi, yang digunakan atau pernah digunakan untuk penulisan naskah-naskah berbahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Sunda, bahasa Bali, dan bahasa Sasak.

Aksara Brahmi sendiri merupakan turunan dari aksara Assyiria. Aksara Jawa modern adalah modifikasi dari aksara Kawi dan merupakan abugida. Hal ini bisa dilihat dari struktur masing-masing huruf yang paling tidak mewakili dua buah huruf (aksara) dalam huruf latin. Sebagai contoh aksara Ha mewakili dua huruf yakni H dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “hari”. Aksara Na mewakili dua huruf, yakni N dan A, dan merupakan satu suku kata yang utuh bila dibandingkan dengan kata “nabi”. Dengan demikian, terdapat penyingkatan cacah huruf dalam suatu penulisan kata apabila dibandingkan dengan penulisan aksara latin.

Kisah Ajisaka selalu abadi

Kenapa kisah Ajisaka lebih disebut sebagai mitologi. Ini sesuai dengan budaya lisan bangsa kita yang lebih suka menyampaikan sesuatu tanpa dokumen tertulis, sehingga kiasan banyak dipergunakan.

Apalagi cerita turun temurun itu kebanyakan bersifat istana sentris. Sehingga banyak hal yang dibiaskan dari makna sesungguhnya. Tak heran bila banyak sekali filosofi lama yang ketika dipertanyakan akan cukup dijawab dengan kata ora ilok atau pamali.

Filosofi yang akan diajarkan dari kisah ini bisa ditelusur dari penamaan tokoh-tokohnya. Tanah Jawa diceritakan dikuasai oleh Prabu Dewata Cengkar. Dewata berarti dewa, roh leluhur yang dianggap menguasai salah satu kodrat. Cengkar artinya tempat yang luas; tidak subur; banyak batu padasnya. Ajisaka berasal dari dua kata. Aji berarti kekuatan yang cenderung bersifat spiritual. Saka berarti tiang atau penyangga. Jadi dari kemenangan Ajisaka atas Dewatacengkar bisa diartikan sebagai kebaikan yang mengalahkan keburukan. Ajisaka sebagai simbol kebajikan akhirnya bisa naik tahta menjadi raja Medang Kamulan. Benarkah Ajisaka hanya sekedar simbol?

Merujuk nama Ajisaka, dalam legenda tanah Jawa disebutkan nama Ajisaka sangat mungkin diartikan berasal dari kata Haji Saka, bermakna Perwakilan Negara (Duta) atau Konsul yang bertanggung jawab atas para pedagang asing, yang berasal dari negeri Saka (Sakas).

Negeri Sakas dalam sejarah India dikenal negara Sakas atau Western Satrap (Sumber: Western Satrap, Wikipedia). Pada tahun 78M Western Satrap (Sakas) mengalahkan Wikramaditya dari Dinasti Wikrama India. Kemenangan pada tahun 78M dijadikan sebagai tahun dasar dari penanggalan (kalender) Saka. Wilayah Western Satrap mencakup Rajastan, Madya Pradesh, Gujarat, dan Maharashtra.

Para raja dari Western Satrap biasanya memakai dua bahasa yaitu Sankrit (Sansekerta) dan Prakit serta dua aksara yaitu Brahmi dan Yunani dalam proses pembuatan prasasti dan mata uang logam kerajaan. Sejak pemerintahan Rudrasimha (160M-197M), pembuatan mata uang logam kerajaan selalu mencantumkan tahun pembuatannya berdasarkan pada Kalender Saka.

Keberadaan Sakas dengan Kalender Saka-nya, nampaknya bersesuaian dengan legenda Jawa, yang menceritakan Ajisaka (Haji Saka), sebagai pelopor Penanggalan Saka di pulau Jawa.

Di dalam Naskah Wangsakerta, kita mengenal seorang pedagang dari tanah India, yang bernama Dewawarman I. Dia dikenal sebagai pendiri Kerajaan Salakanagara. Ada sejarawan berpendapat, bahwa Dewawarman I adalah indentik dengan Haji Saka (Ajisaka). Akan tetapi apabila kita selusuri lebih mendalam, sepertinya keduanya adalah dua orang yang berbeda.

Ajisaka tidak dikenal sebagai pendiri sebuah kerajaan, melainkan dikenal membawa pengetahuan penanggalan, bagi penduduk Jawa. Sebaliknya Dewawarman I adalah pendiri Kerajaan Salakanagara, dan tidak ada riwayat yang menceritakan, bahwa dia pelopor Kalender Saka.

Dewawarman I diindentifikasikan berasal dari Dinasti Pallawa (Pahlavas) atau berkebangsaan Indo-Parthian, yang berkemungkinan salah satu leluhur dengan Arsaces I (King) of PARTHIA. Dan jika diselusuri silsilahnya akan terus menyambung ke Artaxerxes II of Persia bin Darius II of Persia bin Artaxerxes I of Persia bin Xerxes I “The Great” of Persia bin Atossa of Persia binti Cyrus II “The Great” of Persia (Zulqarnain).

Sementara Ajisaka diidentifikasikan berasal dari Sakas (Western Satrap) yang berkebangsaan Indo-Scythian, dimana susur galurnya besar kemungkinan, menyambung kepada keluarga kerajaan di India Utara (King Moga/Maues).(Sumber :Indo-Scythians  dan Maues, Wikipedia).

Nah, dalam legenda Jawa diceritakan Ajisaka adalah seorang manusia yang khilaf dengan apa yang sudah menjadi ucapannya sendiri. Ungkapan sabda pandhita ratu yang menjadi panutan bawahannya menuai bencana.

Kisah fenomenal itu merujuk pada terciptanya aksara hanacaraka yang diangkat dari dua abdi setianya, yakni Dora dan Sembada.

Ketika Ajisaka meninggalkan pulau Majethi di sebelah selatan Nusakambangan, kerisnya dititipkan ke abdinya Sembada. Sang abdi ditugasi untuk menjaga dengan pesan keris itu tak boleh diserahkan kepada siapapun selain Ajisaka sendiri yang mengambil.

Setelah Ajisaka bertahta dia menyuruh abdinya yang lain bernama Dora untuk mengambil keris. Keduanya bersikukuh dalam pendirian masing-masing. Sembada merasa wajib menjaga keris sampai Ajisaka mengambilnya sendiri. Sementara Dora merasa wajib mengambil keris itu dan menyerahkannya kepada Ajisaka.

Akhirnya keduanya bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas demi mempertahankan perintah Ajisaka.

Karena tak kunjung kembali, Ajisaka menyusul Dora. Betapa terkejutnya, yang ditemukan malah kuburan mereka berdua. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua abdi kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu, yang bunyinya: ha na ca ra ka artinya ada utusan. da ta sa wa la artinya saling berselisih pendapat. pa dha ja ya nya artinya sama-sama sakti. Dan, ma ga ba tha nga artinya sama-sama menjadi mayat.

Kisah ini sampai sekarang tetap eksis. Selalu ada dua kekuatan yang selalu saling serang. Misalnya antara kelompok religius yang mengandalkan kitab-kitab suci dan keimanan sebagai dasar. Dan yang kedua adalah kelompok sekuler yang mengandalkan logika dan akal sebagai dasar. Kedua kelompok ini selalu bertikai dan saling membunuh.

Setidaknya kisah Dora dan Sembada menjadi bukti nyata keadaan di Indonesia, bagaimana kelompok religius selalu berseberangan dengan kelompok sekuler. Bila kita melihat kebiasaan bangsa kita yang membuat candra sengkala, maka susunan Hanacaraka layak kita baca dengan cara itu. Ada sebuah konsep spiritual yang teramat tinggi yang bisa dijabarkan dengan cara baca terbalik.[]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...