Apa Kepentingan Vaksin Berbayar?
Pemerintah beralasan kebijakan vaksin berbayar karena ada persepsi kalau pemerintah akan kurang gesit, kurang cepat, dibandingkan dengan swasta.
REKAYOREK.ID Vaksin berbayar menjadi kontroversi di masyarakat. Padahal pemerintah telah memutuskan besaran harga vaksin melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021 tentang Penetapan Besaran Harga Pembelian Vaksin Produksi Sinopharm.
Harga satu dosis harus merogoh Rp321.660 dan juga tarif layanan senilai Rp117.910 per dosis. Jadi perkiraan biaya untuk menyelesaikan dua dosis adalah sekitar Rp 879.140.
PT Kimia Farma (Persero) Tbk sebagai penyelenggara vaksin Covid-19 gotong royong untuk individu berbayar mulai Senin (12/7/2021), memutuskan untuk menunda.
Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno Putro menyebut penundaan dilakukan karena besarnya animo dan pertanyaan yang masuk.
“Kami mohon maaf karena jadwal vaksinasi Gotong Royong Individu yang semula dimulai hari Senin, 12 Juli 2021 akan kami tunda hingga pemberitahuan selanjutnya,” jelas Ganti.
Penundaan vaksin berbayar diapresiasi banyak pihak. Saleh Partaonan Daulay, anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN mengapresiasi langkah cepat pemerintah yang menunda pelaksanaan vaksin gotong royong mandiri berbayar tersebut.
Ini artinya, pemerintah mendengar aspirasi masyarakat. Terlebih, rencana kegiatan ini sempat menyita perhatian dan tanggapan publik.
“Saya tentu senang kegiatan ini ditunda. Dengan begitu, pemerintah bisa mengkalkulasi lagi untung rugi penerapan vaksin berbayar individual ini,” jelas Saleh dalam keterangan resminya, Senin (12/7).
Namun, Saleh mengusulkan agar pemerintah membatalkan vaksin gotong royong individu berbayar tersebut. Ia menilai, tidak ada salahnya jika PMK 19/2021 direvisi dan dikembalikan kepada semangat awal vaksinasi yakni gratis. Dengan begitu, setiap anggota masyarakat memiliki akses yang sama dalam memperoleh vaksinasi.
“Saya yakin, masyarakat akan mendukung jika program itu tidak hanya ditunda, tetapi dibatalkan. Bagaimana pun juga, vaksinasi gratis pasti akan lebih populis dan mudah diterima daripada vaksinasi berbayar,” tegasnya.
Namun, Saleh menekankan, pelaksanaan vaksin gotong royong untuk para pekerja tetap disetujui. Hal tersebut, lantaran vaksin gotong royong perusahaan tersebut biayanya tidak memberatkan para pekerja karena dibebankan kepada badan hukum/badan usaha/pengusaha.
“Format seperti inilah sebetulnya yang dimaksud gotong royong. Ada pihak yang secara sadar dan sukarela membantu pemerintah dalam program vaksinasi nasional,” imbuhnya.
Saleh meminta pemerintah untuk mempercepat program vaksinasi nasional. Sebagaimana target yang disampaikan Presiden Jokowi, hingga akhir 2021 ini diharapkan sebanyak 70% jumlah penduduk telah divaksinasi.
“Ini harus segera dikejar. Sebab, suntikan ketiga sudah menanti. Terutama bagi para tenaga kesehatan yang berdiri di barisan terdepan,” ujar Saleh.
Sementara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menuntut agar vaksinasi Covid-19 berbayar dibatalkan dengan mencabut Permenkes 19/2021. PSHK mendesak bukan hanya ditunda sementara, tapi kebijakan vaksin berbayar dianulir. Sebab, vaksinasi gotong royong individu yang diterapkan pemerintah ini merugikan masyarakat.
“Pemerintah melalui Menteri Kesehatan harus mencabut Permenkes 19/2021 serta membatalkan rencana pelaksanaan vaksinasi gotong royong individu,” kata Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK Rizky Argama dalam keterangan tertulisnya, Senin (12/7/2021).
Rizky mengatakan, setidaknya ada 4 alasan agar program tersebut dibatalkan.
Pertama, definisi vaksin gotong royong yang diubah pemerintah tidak diketahui publik. Hal ini terindikasi bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) Permenkes 1/2020 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bidang Kesehatan di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Pasal itu mewajibkan dilakukannya uji kelayakan dalam proses penyusunan rancangan Permenkes.
“Sulit bagi publik untuk mempercayai bahwa Permenkes 19/2021 telah memenuhi aspek transparansi dan partisipatif tersebut mengingat para epidemiolog dan praktisi kesehatan justru banyak yang menolak skema vaksinasi berbayar,” kata Rizky.
Kedua, pemerintah tidak melakukan sosialisasi Permenjes 19/2021 dengan baik kepada publik. Naskah Permenkes 19/2021 baru tersedia di situs web Satgas Penanganan Covid-19 pada Minggu, 11 Juli 2021, sore hari.
Sebelumnya, naskah itu hanya beredar melalui jalur tidak resmi pesan berantai dan hingga kini masih belum tersedia pada direktori regulasi pada situs web Kementerian Kesehatan padahal regulasi tersebut ditetapkan pada 5 Juli 2021.
Ketiga, kebijakan vaksinasi berbayar menunjukkan sikap pemerintah yang ingin melepas tanggung jawab dalam masa kondisi darurat. Saat ini, mengacu pada data WHO hingga Juli 2021, penerima vaksin Indonesia dengan dosis lengkap hanya 14 juta atau 5,4 persen dari total penduduk. PSHK juga mencatat ada tenaga medis dan tenaga kesehatan yang belum mendapatkan vaksin hingga belasan ribu orang.
Jumlah terbanyak berada di provinsi terluar seperti Aceh dan Papua. Minimnya pencapaian vaksinasi dan penularan yang tidak terkendali bukan berarti negara mendorong vaksinasi gotong royong dan mencari untung dalam program vaksinasi, kata Rizky. Pemerintah seharusnya mengedepankan pelayanan program vaksinasi sebagaimana Permenkes 10/2021.
Keempat, kebijakan vaksinasi berbayar berpotensi hanya menguntungkan golongan masyarakat dengan level ekonomi menengah ke atas. Hal ini tidak hanya melanggar UUD 1945 dalam pembukaan dan Pasal 28H ayat 1 dan 2, tetapi juga lebih menguntungkan kelompok kaya, sementara infeksi Covid-19 terjadi mayoritas di pemukiman kumuh dengan level ekonomi menengah ke bawah berdasarkan survei yang dirilis Dinas Kesehatan DKI, FKM UI, dan Lembaga Eijkman Indonesia.
“Permenkes 19/2021 tidak mengatur secara spesifik batasan atau persyaratan untuk mengakses VGR individu. Di lapangan, hal itu dapat dimanfaatkan oleh orang-orang yang telah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap sebelumnya tetapi ingin mendapatkan VGR sebagai booster,” tandas Rizky.
Pemerintah Buka Suara
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir buka suara terkait vaksin berbayar yang masuk dalam program Vaksinasi Gotong Royong, baik yang dilakukan oleh badan usaha maupun individu (mandiri).
Vaksin yang digunakan dalam program ini disebutkan tidak menggunakan vaksin yang berasal dari vaksin yang sudah dialokasikan untuk program vaksinasi pemerintah. Pun tidak menggunakan vaksin yang berasal dari sumbangan ataupun hibah dari kerja sama bilateral dan multilateral.
“Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku, semua vaksin yang digunakan dalam program Vaksinasi Gotong Royong, baik untuk badan usaha/lembaga yang saat ini sudah berjalan maupun untuk individu, tidak menggunakan vaksin yang berasal dari vaksin yang sudah dialokasikan untuk program vaksinasi pemerintah,” Erick dalam siaran persnya, dikutip Selasa (13/7/2021).
“Vaksinasi ini juga tidak menggunakan vaksin yang berasal dari sumbangan ataupun hibah dari kerja sama bilateral dan multilateral, seperti hibah dari UAE dan yang melalui GAVI/COVAX,” kata pendiri Mahaka Media ini.
Selain itu, Erick mengungkapkan bahwa pengadaan vaksin untuk Vaksinasi Gotong Royong ini tidak menggunakan dana yang bersumber dari APBN.
Dana tersebut berasal dari keuangan korporasi maupun pinjaman korporasi yang dilakukan oleh Holding BUMN Farmasi yakni PT Bio Farma dengan anak usahanya, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) dan PT Indofarma Tbk (INAF).
Sedangkan untuk biaya Vaksinasi Gotong Royong Individu, yang sedianya berlaku Senin kemarin (12/7) dan ditunda, menggunakan kewajaran harga vaksinasi yang akan dikaji oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Semua penerima Vaksinasi Gotong Royong Individu harus dinaungi badan usaha atau lembaga tempat ia bekerja. Tentu data yang akan digunakan adalah data badan usaha atau lembaga yang telah terdaftar untuk Vaksinasi Gotong Royong melalui Kadin, dan divalidasi oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini akan dirinci lebih lanjut dalam sosialisasi Vaksinasi Gotong Royong Individu,” jelasnya.
Dia menjelaskan bahwa saat ini penting untuk saling gotong royong dalam kondisi PPKM Darurat ini. Sebab angka kematian yang terus meningkat hingga kumulatif sebanyak 66.464 jiwa per 11 Juli 2021, dengan fatality rate 2,63% – melebihi 2,16% di tingkat global.
Dengan demikian Vaksinasi Gotong Royong untuk individu merupakan dukungan untuk percepatan vaksinasi guna mencapai kekebalan komunal atau herd immunity, dan menyelamatkan jiwa.
“Masyarakat pun kini memiliki opsi tambahan untuk mengakses vaksinasi. Ini salah satu bentuk gotong royong yang bisa dilakukan masyarakat di momen penuh tantangan ini.”
Adapun Vaksinasi Gotong Royong Individu merupakan perluasan dari program Vaksinasi Gotong Royong yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 tahun 2021 yang disahkan per 5 Juli 2021.
Ini merupakan perubahan kedua dari Peraturan Menteri Kesehatan No. 10 tahun 2021, untuk memberikan opsi pilihan atau opsi yang lebih luas ke masyarakat dalam pelaksanaan vaksinasi.
Sementara Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menjawab soal vaksin gotong royong (VGR) berbayar yang kini ramai dibahas.
Hal itu disampaikan Menkes Budi dalam rapat Komisi IX yang disiarkan akun YouTube DPR RI, Selasa (13/7/2021). Menkes Budi menjelaskan kembali soal vaksin gotong royong didorong agar vaksinasi berjalan dengan cepat.
“Memang vaksin gotong royong waktu di awal adalah merespons kebijakan ini dibikin untuk merespons karena ada persepsi kalau pemerintah akan kurang gesit, kurang cepat, dibandingkan dengan swasta. Di awal memang dibikin seperti itu,” kata Menkes Budi.
Vaksin gotong royong, menurut Menkes Budi, awalnya murni urusan business to business. Kemenkes, kata Budi, hanya terlibat dalam hal jenis vaksin dan jumlah vaksin yang digunakan.
“Yang kedua, vaksin gotong royong ini pure business to business, jadi dikelola oleh BUMN, Bio Farma Group, dengan produsennya. Kami tidak terlibat, kemudian dijual juga oleh Bio Farma. Waktu itu keputusannya dikoordinasikan lewat kami. Kami hanya terlibat bahwa itu vaksinnya apa dan jumlahnya berapa banyak, itu saja kami terlibat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan vaksinasi gotong royong berbayar. Di antaranya pelaksanaan program vaksin gotong royong masih bisa ditingkatkan peranannya dalam mempercepat pencapaian target vaksinasi nasional.
“Vaksinasi gotong royong kita lihat seharusnya masih bisa lebih cepat, karena swasta kan seharusnya lebih cepat geraknya dari pemerintah untuk bisa mengakselerasi cakupan vaksinasi ini,” kata dia.
Lalu, program vaksinasi gotong royong tidak memiliki keterlibatan negara dari sisi anggaran atau tidak menggunakan APBN, tetapi dana dari BUMN dan perusahaan swasta.
Di sisi lain, biaya yang ditanggung oleh individu ataupun badan hukum yang mengikuti program vaksinasi gotong royong akan membantu meringankan beban APBN dalam upaya menangani pandemi di Indonesia.[]