Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Arti Sebuah Ekspedisi di Bengawan Solo

Ternyata selama ini banyak masyarakat di desa desa tepian sungai tidak menyadari bahwa desanya menyimpan kekayaan masa lalu.

REKAYOREK.ID Terdengar seperti sebuah gerakan global karena melibatkan banyak sector yang berskala nasional, tapi justru outnya adalah demi menggerakkan potensi lokal. Yaitu potensi desa. Adalah desa desa, yang ada di pinggiran sungai Bengawan Solo. Gerakan ini adalah aksi Ekspedisi Bengawan Solo 2022.

Desa desa ini sesungguhnya memiliki keistimewaan yang dapat dijadikan sebagai modal pembangunan ekonomi berkelanjutan pada masa sekarang dan mendatang. Modal dasar pembangunan itu adalah nilai ekologi lingkungan dan peradaban (sejarah dan budaya).

Ada banyak desa di sepanjang sungai Bengawan Solo yang secara administratif berada di 12 Kabupaten di dua propinsi: Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, berdasarkan sumber historis yang menjadi dasar pijakan eksplorasi peradaban melalui agenda Ekspedisi Bengawan Solo 2022, hanya ada sekitar 40 desa ditambah dengan desa desa tertentu lainnya yang memiliki potensi pengembangan.

Kesemuanya akan menjadi role model pengembangan potensi desa untuk semua desa desa di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo.

Dasar historis itu adalah sebuah prasasti, yang dikeluarkan oleh Raja Majapahit, Sri Raja Hayam Wuruk pada 1358 M. Prasastinya disebut Prasasti Canggu atau Ferry Charter.

Sementata dasar hukum untuk menggali, melestarikan, menyelamatkan, mengelola, mengembangkan dan memanfaatkan potensi sejarah dan budaya sebagaimana tersurat dalam Prasasti itu adalah Undang Undang RI nomor 11/2010 tentang Cagar Budaya dan Undang Undang RI nomor 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Semuanya demi kesejahteraan masyarakat.

Berbekal dasar dasar inilah, desa desa yang tersebut dalam prasasti Canggu menjadi obyek pemajuan kebudayaan melalui aksi Ekspedisi Bengawan Solo 2022.

Di kabupaten Gresik, desa desa kuno, yang namanya sudah dicatat oleh Raja Hayam Wuruk, adalah Desa Bedanten (Madanten), Dusun Wringin Wok (Wringin Wok) di desa Sidorejo, Mojopuro (Brajapura), Desa Jrebeng (Jerebeng), Desa Luwayu (Lowayu) dan Bulangan (Pabulangan).

Dermaga Tambangan di Randuboto. Foto: nanang

 

Di eranya desa desa tepian sungai yang berjasa atas tambangan ini adalah desa desa, yang memiliki andil besar untuk upaya pemajuan kawasan setempat.

Mereka mendukung dinamika masyarakat dengan segala urusannya melalui penyediaan jasa penyeberangan sungai. Selain urusan transportasi, juga dimungkinkan urusan urusan lain seperti ekonomi, perdagangan, sosial dan keagamaan.

Menurut sesepuh Desa Lowayu, H. Ngatemo (70), bahwa Lowayu menjadi jujugan aktivitas perdagangan desa desa di sekitarnya seperti dari desa Mentaras, Tebuwung, Tirem Kaliagung, Wonokerto, Sumurber Siwalan, Petiyin dan Jetis. Dulu wilayah Lowayu hingga bibir Bengawan.

Dampak Perubahan

Jaman telah berganti dan perubahan pun terjadi. Termasuk desa desa di tepian sungai (Naditira desa) yang dulu berjasa dan berjaya, kini jadi desa biasa. Hilang keluarbiasaannya. Keemasannya seolah terkubur seiring dengan para leluhur yang berkalang kubur. Untung kubur kubur para lelebur itu masih menyembul sebagai bukti bahwa mereka pernah ada disana. Tapi siapa yang peduli?

Melalui Ekspedisi Bengawan Solo 2022, kiranya mulai ada upaya bersama untuk mengenali kembali mereka, para leluhur dengan karya dan budaya sebagai manifestasi kebesarannya. Kebesaran mereka (masa lalu) adalah buah karya yang menjelma menjadi kearifan lokal (sekarang) yang patut dijaga dan dilestarikan sebagai modal menatap masa depan.

Maka berdasarkan sumber faktual Prasasti Canggu (1358) dan dengan menggunakan UU Cagar Budaya (2010) dan UU Pemajuan Kebudayaan (2017), Ekspedisi Bengawan Solo (2022) mengajak berbagai pihak (stakeholder), utamanya mereka yang berada dan hidup di daerah tepian sungai (naditira) Bengawan Solo, menyadari potensi kebesaran desanya pada masa lalu untuk dijadikan modal pembangunan menatap masa depan yang ramah ekologi (ecologycal based development) dan yang ramah sejarah dan budaya (historical and cultural based development).

Pembangunan yang ramah lingkungan, sejarah dan budaya ini berorientasi pada desa yang berada di tepian sungai (riverside ecological, historical and cultural based development) dan pembangunan ini sebagai benteng perlindungan desa dari dampak negatif modernisasi baik di bidang teknologi maupun sosial dan budaya.

Pelestarian Cagar Budaya

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan.

Penulis dan pegiat sejarah Gresik Ahmad Husaini di atas perahu Tambangan. Foto: nanang

 

Untuk itu Pemerintah pada tahun 2010 menerbitkan UU 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya sebagai pembaharuan dan pengganti atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Karenanya, Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasi pemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Peran masyarakat dalam hal ini menjadi penting demi pelestarian pengelolaan hingga pemanfaatan Cagar budaya, terutama jika dikaitkan dengan masyarakat di desa desa tepian sungai yang tersebut dalam naditira pradeca.

Ternyata selama ini banyak masyarakat di desa desa tepian sungai tidak menyadari bahwa desanya menyimpan kekayaan masa lalu.

Di Desa Bedanten (Madanten) kecamatan Bungah Gresik misalnya, sebelumnya, karena kekurangan mengertian masyarakatnya skan peninggalan sejarah di desanya, ketika mereka menemukan benda benda kuno, maka dengan mudah benda benda itu dijual.

Kini dengan hadirnya komunitas pegiat sejarah yang melakukan pendampingan untuk upaya pengelolan pembangunan desa yang berbasis kearifan lokal, maka penemuan fragmentasi gerabah dan guci pun mulai dilaporkan dan disimpan untuk digunakan sebagai bahan edukasi.

Pasal 56 UU no 11/2010 tentang Cagar Budaya mengamanahkan bahwa setiap orang dapat berperan serta melakukan Perlindungan Cagar Budaya. Selain itu pasal 63 juga mengamanahkan bahwa masyarakat dapat berperan serta melakukan Pengamanan Cagar Budaya

Dari partisipasi masyarakat itulah, jika mereka menemukan benda benda bersejarah dan apalagi yang diduga sebagai Cagar budaya, mereka bisa mengamankan dan melaporkan kepada pihak berwenang sebagaimana diamanahkan oleh Undang undang pada pasal 23 UU 11/2010 Tentang Cagar Budaya.

Bunyinya adalah setiap orang yang menemukan benda yang diduga benda Cagar budaya, bangunan yang diduga bangunan Cagar budaya, struktur yang diduga Cagar budaya dan atau lokasi yang diduga situs Cagar budaya, maka wajib melaporkannya kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan, kepolisian negara Republik Indonesia dan atau instansi terkait paling lama 30 hari sejak ditemukannya.

Kini temuan temuan yang sudah diinventarisir oleh warga desa Bedanden adalah makam makam kuno yang tersebar di desa. Tidak hanya diinventarisir, tapi dimakmurkan dengan cara diadakannya doa bersama dan istighosah rutin. Kemudian dimanfaatkan sebagai obyek wisata religi. Hal yang sama yang sedang dilakukan oleh perangkat desa Bedanten adalah manfaatkan temuan fragmentasi arkeogi sebagai bahan artefak yang akan ditempatkan di museum desa.

Pemajuan Kebudayaan

Peradaban tidak hanya menyisakan peninggalan bersejarah, baik yang berupa benda, struktur, bangunan serta situs tapi bisa juga berbentuk kearifan lokal yang bersifat tak benda. Yakni nilai nilai kebudayaan yang obyek obyek nya patut dimajukan (dikelola untuk dimanfaatkan) untuk sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan kebudayaan itu maka diaturlah dalam sebuah Undang undang yang salah satu upayanya adalah Pemajuan Kebudayaan. Pemajuan Kebudayaan adalah upaya meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia melalui Pelindungan, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan.

Bahwa di desa desa di sepanjang Bengawan Solo, yang secara klasik disebut Naditira, tidak hanya menyimpan peninggalan yang bersifat bendawi (tangible), tapi juga ada obyek obyek Kebudayaan yang bersifat tak benda (intangible).

Melalui Ekspedisi Bengawan Solo 2022, obyek obyek kebudayaan setempat juga akan menjadi sasaran inventarisasi.

Berdasarkan pasal 5 UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, ada 10 obyek pemajuan Kebudayaan. Yaitu seni, tradisi Lisan, teknologi Tradisional, permainan Tradisional, Olahraga Tradisional, Pengetahuan Tradisional, Manuskrip, Adat Istiadat, Ritus dan Bahasa.
Berdasarkan 10 obyek pemajuan Kebudayaan ini, obyek obyek apa saja yang bisa diinventaris dari setiap desa yang menjadi sasaran Ekspedisi. Kemudian dicari kreativitas pengembangan dan pemajuannya agar budaya setempat tidak hilang ditelan jaman.

Di desa Lowayu misalnya ada tradisi Jaranan. Prestasi seni tradisi ini sesungguhnya sudah membawa harum nama kabupaten Gresik di tingkat regional dan nasional. Tapi justru kiprahnya di rumah sendiri (desa Luwayu) seolah kurang terwadahi. Seni Jaranan yang bernama “Aryo Kriyo Sanjoyo” masih kesulitan untuk mendapat tempat latihan.

Menurut seniwati dan budayawati Lowayu Rokiyatun (38) bahwa latihan latihan dan atraksi jaranan ini adalah wujud pemajuan. Semakin sering latihan dan berpentas, maka seni tradisi ini akan lebih populer. Maka inilah arti sebuah pemajuan obyek Kebudayaan.

“Selama ini kami latihan di depan rumah saya”, jelas Rokiyatun.

Mengunjungi Seniwati Jaranan di Lowayu. Pegiat sejarah Ahmad Husaini (kiri), Ali Topan (berkaca mata), Rokiyatun (ketiga dari kiri) dan penulis. Foto: nanang

 

Upaya pemajuan Kebudayaan adalah tanggung jawab bersama mulai dari warganya hingga pemangku wilayahnya. Apalagi jika ada kolaborasi pentahelix, yaitu kolaborasi antar stakehder misalnya pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas dan media. Maka percepatan pemajuan Kebudayaan sebagaimana diamanahkan oleh Undang undang akan bisa lebih cepat terwujud.

Pemerintah daerah, termasuk unit yang terkecil, seperti pemerintahan desa, harus bertangung jawab sesuai Undang undang. Misalnya menurut Undang undang Cagar Budaya pasal 96 ayat (1) bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai wewenang: (c) menghimpun data Cagar budaya, (f) membuat peraturan pengelolaan Cagar budaya, dan (i) mengelola kawasan Cagar budaya.

Hal yang sama juga berlaku terhadap nilai nilai Kebudayaan dan tradisi. Pemerintah daerah turut bertanggung jawab terhadap pelestarian nilai nilai budaya termasuk upaya upaya pemajuan nya. Adalah salah jika di satu desa, misalnya di desa Luwayu, potensi lokalnya kurang mendapat dukungan dalam rangka pelestarian dan pemajuannya.

Melalui Ekspedisi Bengawan Solo 2022, potensi desa yang berbasis peradaban sejarah dan budaya akan menjadi perhatian karena menjadi aset bangsa. [Nanang]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...