Kolaborasi Merawat Sejarah Lamongan
Bupati Yuhronur Effendi didapuk sebagai Adipati Ronggo Hadi, Adipati pertama Lamongan yang juga berjuluk Mbah Lamong.
REKAYOREK.ID Tanggal 26 Mei telah ditetapkan sebagai Hari Jadi Lamongan. Secara historis, tanggal ini menjadi penanda dilantiknya Ronggo Hadi oleh Sunan Giri sebagai Adipati dengan sebutan Tumenggung Surajaya dan sekaligus sebagai Bupati Lamongan pertama pada 1569 M.
Oleh warga Lamongan, bupati pertama Lamongan ini juga disebut Mbah Lamong.
Pengangkatan menjadi Adipati Lamongan pertama ini karena Ronggo Hadi dianggap berhasil dalam penyebaran agama Islam di Lamongan.
Pengangkatan itu jatuh pada hari Kamis Pahing tanggal 10 Dzul-Hijjah 976 H, yang bertepatan dengan tanggal 26 Mei 1569 M dengan SK Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Lamongan nomor 05/1983 tanggal 26 Desember 1983 tentang Hari Jadi Lamongan.
Untuk kali pertama, sejarah Lamongan ini diaktualisasikan dalam bentuk pertunjukan drama kolosal. Kisahnya diawali dari era Prabu Airlangga hingga diangkatnya Adipati Ronggo Hadi sebagai Bupati pertama Lamongan. Pada Kamis malam, 26 Mei 2022, drama kolosal ini dipergelarkan di halaman kantor Bupati dan terbuka untuk umum.
Secara faktual, di bumi Lamongan memang banyak terdapat temuan temuan arkeologis dari era Airlangga, Majapahit hingga masa penyebaran agama Islam oleh Raden Qosim atau Sunan Drajat. Diantara temuan temuan itu adalah sejumlah prasasti dari berbagai lokasi di Lamongan. Dari prasasti prasasti itulah terinformasikan bagaimana gambaran Lamongan tempo dulu.
Yang menarik bahwa kisah sejarah panjang Lamongan ini tersaji secara singkat padat dan apik dalam bentuk seni pertunjukan, yang diperankan oleh Bupati Lamongan beserta jajaran Forkopimda Lamongan yang berkolaborasi dengan Seniman dan budayawan Lamongan.
Bupati Yuhronur Effendi didapuk sebagai Adipati Ronggo Hadi, Adipati pertama Lamongan yang juga berjuluk Mbah Lamong.
Gelaran drama kolosal ini sangat efektif untuk sarana berbagi kisah sejarah Lamongan. Pertunjukannya sangat menghibur dan edukatif.
Habibah, salah seorang penonton mengatakan drama kolosal ini tidak hanya menghibur dan edukatif, tapi sekaligus mengakrabkan jajaran pemerintahan Kabupaten Lamongan dengan masyarakat.
“Saya jadi lebih kenal dengan pak Bupati beserta stafnya. Ternyata mereka bisa menyapa rakyat melalui seni peran drama kolosal. Pertunjukan semacam ini sangat diperlukan karena bisa menjadi jembatan pemersatu antara pimpinan dan rakyatnya”, terang Habibah usai pertunjukan.
Drama Kolosal Sajikan Sejarah Lamongan
Sebetulnya kisah sejarah Lamongan ini sudah teridentifikasi mulai dari timeline era perundagian, era Pu Sindok, lalu era Airkangga, Majapahit, era para Wali dalam penyebaran agama Islam, kolonial hingga tentu saja pasca kemerdekaan.
Sejarawan Lamongan Supriyo dalam sebuah sarasehan sejarah yang berjudul “Mengungkap Kejayaan Lamongan Abad XI -XV” membedah secara kronologis perjalanan sejarah Lamongan berdasarkan bukti bukti temuan mulai dari bentuk prasasti, benda, struktur, bangunan hingga situs situs klasik di Lamongan.
“Berdasarkan temuan prasasti Rayung, di desa Ngayung, kecamatan Maduran, ternyata prasasti ini berasal dari masa Pu Sindok abad X. Jadi sejarah peradaban Lamongan ini sudah ada selama 1000 tahun”, jelas Supriyo yang akrab disapa Kang Yok.
Namun dalam cerita drama kolosal, kisahnya diawali dari babak pengembaraan Airlangga di sebuah hutan pasca kehancuran istana ayah mertua, Dharmawangsa Teguh, yang juga sebagai pamannya. Kehancuran istana ini diiringi dengan tewasnya Darmawangsa.
Dalam pengembaraan untuk bertapa itu, Airlangga ditemani oleh Mpu Narotama. Dalam pertapaan, Airlangga ditemui oleh tiga dewa dan meminta kepadanya agar Airlangga mau membangun kembali istana untuk melanjutkan pemerintahan ayahnya.
Singkat cerita pemerintahan baru yang bernama Kerajaan Kahuripan (1009-2042) terbangun dan di penghujung pemeritahannya, 1042, Airlangga membagi wilayah Kahuripan menjadi Panjalu dan Jenggala untuk kedua anaknya agar masing masing bisa bertahta di masing masing wilayah: Panjalu dan Jenggala.
Selanjutnya, kisahnya masuk ke era Majapahit yang ditandai dengan kelahiran bayi, yang selanjutnya tumbuh dewasa menjadi sosok pemimpin visionir dan setia kepada negara dan raja.
Sosok ini adalah Gajah Mada yang kemudian dengan ikrar Sumpah Amukti Palapa berhasil menyatukan Nusantara.
Pada penghujung era Majapahit, mulai berkembanglah ajaran Islam yang diperkenalkan oleh para wali.
Raden Qosim yang selanjutnya dikenal dengan nama Sunan Drajad adalah salah satu wali yang menyebarkan ajaran Islam di wilayah Pantai Utara di bumi Lamongan. Ilustrasi sejarahnya diiringi dengan alunan tembang “Ilir Ilir” karya Sunan Kalijogo.
Di era poro wali inilah, muncul sosok Ronggo Hadi yang tidak lain adalah santri Sunan Giri yang diutus untuk menyebarkan agama di wilayah Lamongan Tengah.
Kehadiran Ronggo Hadi mampu menyulap tatanan masyarakat baik secara fisik maupun non- fisik (akhlak) menjadi lebih baik. Karena keberhasilan itu, maka Sunan Giri melantik Ronggo Hadi atau Tumenggung Surojoyo menjadi bupati pertama di Lamongan yang oleh warga disebut Mbah Lamong. Pelantikan ini terjadi pada 26 Mei 1569.
Dalam drama itu juga dikisahkan adanya nilai nilai kemanusiaan yang bersifat universal dimana masyarakat Brondrong di pesisir pantai pada 1936 ikut turun tangan dalam penyelamatan korban tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Bukti otentik penghargaan pemerintah Hindia Belanda kepada masyarakat Lamongan di pesisir Brondong adalah adanya monumen Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk di pelabuhan ikan Brondong.
Ternyata ada nilai nilai universal mulai dari nilai budaya, ekologi bagaimana masyarakat Lamongan bisa adaptif terhadap alam, hingga nilai kemanusiaan. Nilai nilai inilah yang perlu dilakukan dalam perjalanan Lamongan dalam menatap masa depan.
“Sebenarnya bukan soal pagelarannya, tapi bagaimana kita bisa belajar dari sejarah. Kemudian bisa menjadi dorongan semangat untuk membangun Lamongan menjadi lebih baik lagi,” tutur Bupati Yuhronur Effendi yang akrab dipanggil Bupati Yes.
Kolaborasi Demi Kejayaan
Kata kunci Kolaborasi menjadi mutlak dan utama dalam proses pembangunan, termasuk dalam membangun Lamongan masa kini dan masa depan.
“Mari kita bersama-sama menyamakan gagasan, mempertemukan kekuatan, dan menghargai perbedaan untuk Lamongan yang lebih baik lagi,” jelas Bupati Yes ini.
Bupati Yuhronur Effendi yakin bahwa dengan kolaborasi, kejayaan Lamongan akan berkesinambungan dan pembangunan bisa berkelanjutan.
Karenanya ketika Begandring Soerabaia, yang menjadi bagian dalam kolaborasi Ekspedisi Bengawan Solo 2022, bersama Prof. Suparto Wijoyo dan Prof. Rudy Purwono dari Sekolah Pasca Sarjana Unair, menyampaikan gagasan konsep pembangunan berkelanjutan melalui aksi Ekspedisi Bengawan Solo 2022 mendapat tanggapan positif dari Bupati.
“Kami siap mendukung kegiatan Ekspedisi Bengawan Solo 2022”, respon Bupati dengan antusias.
Respon positif ini tdak hanya disampaikan ketika bertatap muka di ruangan Pendopo dan kantor Bupati, tetapi juga disampaikan secara umum usia pertunjukan drama Kolosal pada Kamis malam, 26 Mei 2022.
Menurutnya Bengawan Solo dan Bengawan Jero termasuk anak anak sungainya adalah bagian dari Bumi Lamongan.
Secara alami sungai adalah hamparan Sajadah Tanah dan Air, yang menjadi pijakan peradapan dari jaman ke jaman. Sejarah telah membuktikan itu.
Karenanya hamparan Sajadah Tanah dan Air ini harus tetap senantiasa dijaga sebagai pijakan dalam pembangunan Lamongan sekarang dan mendatang.
Perayaan HUT Lamongan ke 453 pada tahun 2022 ini adalah momentum gerakan bersama pasca pandemi Covid 19 yang telah melumpuhkan beragam kegiatan mulia 2020 hingga 2021. Sebagai gerakan kolosal, peringatan HUT Lamongan 2022 ini digelar hingga Agustus 2022.
Karenanya ketika Ekspedisi Bengawan Solo 2022 memasuki wilayah Lamongan pada bulan Agustus 2022 nanti, ini adalah momen yang pas untuk wujud aksi kolaborasi dalam menjaga kejayaan Lamongan sesuai namanya “Surojoyo”, yang berati “Berani demi Kemenangan dan Kejayaan”.@Nanang