Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Aura Ghoib Warnai Jelajah Sejarah

Ketika mahasiswa Bali masuk area Joko Dolog, mereka merasa disapa oleh para penunggu di area Joko Dolog, kemudian mereka keluar. Para penunggu yang tidak kasat mata ini mengingatkan agar mereka membawa sesajen layaknya masuk tempat suci di Bali.

REKAYOREK.ID Di tengah pusat keramaian kota Surabaya, ada kesunyian yang tiada tara. Tempatnya berselimut aura, yang tidak kasat mata. Yang kasat mata adalah rerimbunan pohon beringin, yang memberi keteduhan di tengah keramaian. Pada sejengkal lahan di komplek Taman Apsari terdapat sebidang ruang yang kontras, menyajikan alam nyata (kasat mata) dan alam tidak nyata (ghoib).

Ruang kontras ini sebetulnya sudah tidak asing bagi kebanyakan orang, khususnya warga Surabaya. Inilah ruang terbuka alami dimana terdapat arca Budha yang menjadi perwujudan Prabu Kertanegara, raja terakhir dari Kerajaan Singhasari. Masyarakat lokal menyebut arca ini dengan nama Joko Dolog.

Selama ini ruang Joko Dolog menjadi jujugan penganut ajaran Budha serta penganut kepercayaan yang masih ada di Surabaya dan beberapa tempat di sekitar kota. Ritual kepercayaan dan keyakinan mereka membawa aroma harum dan magis seiring dengan asap dupa yang bertaut jadi satu dengan nafas halus yang berhembus dari sela sela himpitan ranting dan dedaunan pohon beringin.

Ruang yang tidak seberapa luas ini menjadi simbol luasan Nusantara, yang sekarang telah menjelma menjadi negara Republik Indonesia. Ruang ini menjadi refleksi perpaduan dan bertemunya keragaman Nusantara. Yaitu keragaman keyakinan yang kala itu, di era pemerintahan Raja Kertanegara (1268-1292), aliran Budha dan Hinduisme terpaut menjadi satu dan lahirlah keyakinan Siwa Budha.

Adalah Raja Kertanegara, petinggi negara Singasari, sebagai pemeluk ajaran Siwa Budha. Ajaran Siwa-Buddha merupakan campuran (sinkretisme) agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Pada zaman Majapahit (1293 hingga 1527 M), agama Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu, dan ini bisa dilihat dalam beberapa karya sastra antara lain Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawijaya.

Jelajah Sejarah Subtrack bersama mahasiswa Pariwisata Bali yang dimulai dari Joko Dolog, Simpang. Foto: nanang

 

Dari era Kerajaan Singasari, khususnya di bawah pemerintahan Prabu Kertanegara (1268-1292), yang kemudian berganti ke era Kerajaan Majapahit (1293 hingga 1527 M), ajaran Siwa Budha menjadi bagian dari kehidupan ritual masyarakat.

Majapahit telah sirna sebagaimana ditandai oleh penanda Candrasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” yang berati tahun 1400 Saka atau 1475 M, adalah penanda mulai runtuhnya kerajaan Majapahit.

Kata “sirna” sendiri berarti lenyap, “ilang” berarti hilang, “kerta” dapat diartikan sebagai kemakmuran, “bumi” berarti dunia. Dengan demikian maka “Sirna Ilang Kertaning Bumi” dapat diartikan sebagai “lenyapnya kemakmuran di dunia”. Dengan kata lain runtuhnya kejayaan atau kemakmuran bumi Majapahit.

Trowulan, di kabupaten Mojokerto, dulu adalah pusat kerajaan Majapahit. Kini di Trowulan hanya tersisa benda, struktur, bangunan dan situs dari kejayaan kerajaan Majapahit. Semua terhitung serpihan serpihan. Apalagi keyakinan. Tidak ada lagi keyakinan Siwa Budha yang membahana seperti dahulu kala, kecuali karya masyarakat setempat yang kini menjadi wujud kreativitas budaya.
Berbeda dengan yang ada di bumi Bali, yang diyakini menjadi tempat dimana tradisi dan ajaran Siwa Budha tetap lestari, selain Keyakinan Hindu. Keyakinan dan karya budayanya mesih menghiasi pulau dewata itu.

Jika dikaitkan dengan sifat Siwa Budha di Joko Dolog, Ruang Joko Dolog menjadi tempat yang biasa biasa saja bagi warga Surabaya, tapi bagi warga Bali, tempat ini menjadi tempat menghadirkan aura yang luar biasa.

Ruang Joko Dolog yang kecil ini sebenarnya menjadi etalase perwujudan sifat sifat Siwa dan Budha yang besar. Selain terdapat arca Budha yang merupakan perwujudan Raja Kertanegara, di area teduh ini terdapat arca arca yang bersifat Hindu. Ada lingga yoni, ada dwarapala, ada kepala kala serta arca arca kecil lainnya.

Joko Dolog Dikunjungi 65 Mahasiswa Bali

Pada Rabo sore, 25 Mei 2022, sebanyak 65 mahasiswa Politeknik Pariwisata Bali mengunjungi Joko Dolog dalam rangkaian jelajah wisata sejarah di Surabaya.

Pohon pohon beringin dalam balutan kain kotak kota hitam putih layaknya di Bali. Foto: nanang

 

Lokasi Joko Dolog adalah tempat keberangkatan (starting point) sebelum berjalan menuju ke Taman Apsari dengan patung pahlawan nasional Gubernur Suryo, kemudian menuju ke eks museum kota Surabaya di era Hindia Belanda yang bernama Stedelijk Museum van Soerabaia, gedung negara Grahadi dan Balai Pemuda sebagai spot terakhir.

Sebetulnya, rombongan mahasiswa Bali ini tidak menyadari spot pertama Joko Dolog ini apa. Mereka hanya tahu bahwa tour sejarah di Surabaya dimulai dari Joko Dolog.

Begitu dua bus yang membawa mereka tiba di lokasi, mereka pun turun. Lalu bersama sama berjalan memasuki area Joko Dolog melalui gapura bentar.

Melangkah masuk, mereka langsung merasakan teduhnya lokasi karena berpayung sepasang pohon beringin yang berbalut kain kotak kotak berwarna hitam putih dengan sejumlah arca di pelataran sebuah cungkup dengan arca Budha asokbya.

Tapi mereka, khususnya yang asli dan asal Bali, langsung kaget. Mereka merasakan ada aura kuat yang menyapanya. Secara natural dan otomatis, bulu kuduk mereka berdiri.

“Saya kaget. Saya ini memasuki tempat apa. Tapi secara fisik saya tahu. Ada pohon beringin, ada kain hitam putih, ada arca arca yang bersifat Hindu. Juga ada arca Budha dengan pendapa. Di saat itu bulu kuduk saya berdiri. Saya merasakan ada aura kuat yang menyapa dan mengingatkan saya bahwa saya seharusnya membawa sesajen layaknya saya masuk sebuah tempat suci seperti pura di Bali”, ujar Ni Putu Evi Wijayanti, salah seorang dosen pembimbing dari Politeknik Pariwisata Bali.

Mahasiswa Bali saat berada di lokasi Joko Dolog. Foto: nanang

 

Evi Wijayanti pun mundur dan keluar dari area berpagar. Ternyata tidak cuma dia, mahasiswa asal Bali pun mundur dan keluar batas pagar. Lainnya, yang bukan asli Bali, tetap masuk dan mengikuti arahan pemandu sejarah Subtrack karena Mereka tidak merasakan aura magis.

Ni Putu Evi Wijayanti menjelaskan pengalaman spiritualnya setelah jelajah sejarah ini selesai.

Menurutnya ketika ia dan mahasiswa Bali masuk area Joko Dolog, mereka merasa disapa oleh para penunggu di area Joko Dolog, kemudian mereka keluar. Para penunggu, yang tidak kasat mata ini, mengingatkan agar mereka membawa sesajen layaknya masuk tempat suci di Bali.

Evi pribadi merasa bingung harus mencari sesajen dimana sebagai persembahan para penunggu area Joko Dolog. Mereka tidak siap karena memang tidak tahu bahwa akan memasuki area suci.

Begitu mahasiswa asli Bali ini diberi konsumsi oleh panitia Subtrack, maka konsumsi yang berupa snack inilah yang dipersembahkan sebagai sesajen. Setelah itu, mereka pun masuk dan mengikuti kegiatan jelajah sejarah Surabaya, yang diawali dari spot Joko Dolog.

Joko Dolog adalah spot pertama dalam jelajah sejarah di kawasan Simpang ini. Selanjutnya penjelajahan menuju ke Taman Apsari, SMA Trimurti, gedung Grahadi dan terakhir di Balai Pemuda.

Testimoni spiritual di area Joko Dolog ini tidak hanya dinyatakan oleh dosen pembimbing Poltekpar Bali, tapi juga sejumlah mahasiswa lainnya.

Dari testimoni ini, ternyata area Joko Dolog masih didiami para penunggu yang “hidup” berdampingan dengan manusia dengan segala aktivitasnya yang meramaikan lingkungan Joko Dolog.

Karena Joko Dolog adalah tempat suci dan masih menjadi hunian para penunggu Ghoib, Evi berpesan agar tempat ini dipergunakan sebagai mana mestinya sebagai tempat suci.

Jelajah Wisata Sejarah ini berjalan sukses berkat kolaborasi Begandring Soerabaia, PT Elveka Tour & Travel, PT. Bangun wisata, FIB Unair dan Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata.@Nanang

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...