Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #2

Tidak Mempan Disantet, Suami Pertama Meninggal 

Oleh: Jendra Wiswara

NUNUK tidak tahu apa yang menimpanya. Selama menikah, semua suaminya meninggal. Orang-orang bilang bahwa dia telah dikutuk. Menjadi perempuan bahu laweyan.

“Saya tidak tahu siapa yang mengutuk. Katanya itu bawaan sejak lahir. Katanya juga keturunan dari orangtua.”

Sejak suaminya meninggal dan menikah lagi, meninggal lagi dan meninggal lagi, dan seterusnya, banyak orang-orang di kampung takut mendekati Nunuk.

Perempuan bahu laweyan dianggap pembawa sial. Menurut kepercayaan masyarakat, jika perempuan bahu laweyan telah memakan korban sebanyak tujuh orang laki-laki atau suami, maka kutukan itu akan hilang dengan sendirinya. Sehingga saat pernikahannya yang kedelapan, sang suami tidak akan mengalami masalah. Hanya saja perempuan ini tetap tidak akan bisa memiliki anak.

“Ini kepercayaan masyarakat. Memang tidak ada yang mau berteman dengan saya sejak suami saya meninggal bergiliran.” 

Seorang perempuan bahu laweyan biasanya memiliki ciri khusus berupa tompel, tahi lalat besar yang ada di bahu kirinya.

“Iya, saya punya tanda itu,” Nunuk menunjukkan tanda di bahu kirinya.

Konon, perempuan bahu laweyan selalu diikuti aura sangat buruk. Sebab dia selalu diikuti makhluk halus yang sangat jahat. Suasana mistis selalu mengiringi sepanjang hidupnya, seperti tatapan matanya yang kosong, pendiam, dan penyendiri. Namun kelebihan bahu laweyan tidak mempan disantet atau diteluh.

“Kata orang sih begitu. Bahu laweyan tidak bisa disantet. Tapi bahu laweyan juga pembawa sial. Sebuah kampung yang di dalamnya terdapat perempuan bahu laweyan pasti akan sial. Misalnya saat memasuki masa panen, tiba-tiba diserang hama yang merusak hasil panen. Lalu ada yang bilang, kampung tersebut biasanya tertimpa pagebluk.”

Sayangnya, Nunuk tidak merasa menjadi pembawa sial. Semua kejadian di kampung yang orang bilang disebabkan olehnya, baginya itu hanya kebetulan saja.

“Semua kejadian itu hanya kebetulan. Memang sudah waktunya kampung mengalami musibah. Bukan karena seorang bahu laweyan. Ini hanya masalah kepercayaan saja.”

***

Kisah Nunuk diawali saat ia masih remaja. Ketika itu ia baru lulus SMA. Sebagai gadis desa, Nunuk ibarat buah ranum dan siap dipanen. Apalagi Nunuk berasal dari keluarga petani miskin yang jauh dari kesan mewah. Harapan orangtuanya, sang anak bisa segera menikah dan lepas dari beban keluarga.

“Bapak berharap saya menikah muda. Apalagi saya punya dua adik yang masih sekolah dan perlu biaya banyak. Pilihannya ada dua, menikah atau bekerja. Dua-duanya pilihan sulit. Sebab saya harus keluar dari rumah. Sebenarnya saya bingung harus pilih mana. Jika tidak memilih justru saya akan menjadi beban keluarga.”

Nunuk sempat mencari pekerjaan ke luar kampung. Namun usahanya sia-sia. Tak satupun pekerjaan didapat. Apes. Orang-orang menolak Nunuk.

“Saya ditolak bekerja. Semua lamaran pekerjaan sudah saya coba. Mulai melamar jadi pramusaji, sales, buruh, hingga pembantu. Hasilnya nihil. Pokoknya apes.”

Dari situ Nunuk secara tidak sengaja bertemu dengan Wardi. Lelaki itu adalah kepala personalia salah satu perusahaan di Pasuruan.

Sejak awal bertemu, Wardi sudah jatuh hati pada Nunuk. Meski lamaran kerja Nunuk ditolaknya karena perusahaan belum membutuhkan karyawan, namun  Wardi tetap melakukan pendekatan ke Nunuk. Sebagai pria muda yang ingin mengakhiri masa lajangnya, Wardi merasakan ada getaran di hatinya setiap kali berjumpa dengan Nunuk.

Gayung bersambut. Nunuk pun merasakan demikian. Hatinya selalu merasa tenang setiap bertemu dengan Wardi.

Bapak Nunuk tidak keberatan anaknya dipersunting Wardi. Bahkan sang bapak menyarankan agar kekasih anaknya itu secepatnya melamar.

“Nak Wardi, kalau memang sudah serius dengan anak saya, segera saja dilamar. Biar tidak timbul fitnah,” pesan bapak.

“Injeh pak. Saya segera sampaikan hal ini ke orangtua. Saya juga tidak mau lama-lama berpacaran dengan Nunuk. Toh, ujung-ujungnya yang namanya pacaran adalah menikah. Tapi semua kembali ke Nunuk, apakah dia bersedia untuk menjadi istri saya,” sahut Wardi.

Nunuk sendiri tidak merasa keberatan dengan rencana pernikahan. Selama ini dia hanya punya pilihan antara bekerja atau menikah. Karena dia tidak kunjung bekerja, maka pilihannya jatuh pada pernikahan.

“Saya siap menikah muda. Lagipula Mas Wardi sangat serius mau meminang. Dia lelaki baik. Kami sangat mencintai.”

Tak berselang lama, acara lamaran pun tiba. Kemudian disusul dengan acara pernikahan yang digelar cukup meriah. Semua berjalan lancar. Biasa-biasa saja.

Hanya saja saat resepsi digelar sempat terjadi hal aneh. Tiba-tiba muncul angin kencang disertai hujan yang memporakporandakan gelaran resepsi. Meski tidak parah dan hanya sebentar, namun kondisi ini membuat orang-orang merasa aneh. Pasalnya, saat itu suasana sangat cerah. Darimana datangnya angin dan hujan. Bagi sebagian orang yang tidak paham, menganggap itu biasa. Namun bagi yang memiliki kemampuan linuwih, adanya angin dan hujan menandakan tidak baik.

“Ada sesepuh kampung bilang angin dan hujan saat resepsi pernikahan pertanda tidak baik. Tapi semua kembali ke orangnya masing-masing. Antara percaya atau tidak.”

Pasca keanehan itu, semua kembali berjalan normal. Kehidupan rumah tangga Nunuk dan Wardi berjalan biasa-biasa saja. Bahkan rumah tangganya terkesan adem ayem dan jauh dari gosip miring.

Suaminya memperlakukan Nunuk dengan sangat baik. Tidak pernah selingkuh. Jangankan selingkuh, pulang hingga larut malam saja tidak pernah. Sebagai  suami, Wardi sangat menyayangi istrinya melebihi apapun.

Sementara Nunuk, selama menjadi istri, tidak pernah sekalipun merasakan adanya keganjilan. Malahan pasca menikah, rejeki kedua pasutri semakin berlimpah.

Setahun berrumah tangga, mereka dapat membeli sebuah rumah meski berukuran kecil.

“Rejeki Mas Wardi semakin banyak pasca menikah. Kami dapat membeli rumah. Namun kami masih merasa kosong tanpa kehadiran anak.”

Menginjak dua tahun berjalannya biduk rumah tangga, Nunuk mulai merasakan ada keanehan. Ya, suaminya mulai terlihat sakit-sakitan. Beberapa kali suami Nunuk sering keluar masuk rumah sakit. Sayangnya, dokter sendiri tidak tahu penyakit yang diderita suaminya.

“Suami saya sering sakit-sakitan. Saya heran dengan penyakitnya.  Dokter cuma bilang mas Wardi kecapekan. Padahal mas Wardi selalu merasa kesakitan. Bahkan dia sering pingsan. Semakin hari penyakit mas Wardi bertambah parah.” 

Beberapa kali Nunuk membawa suaminya ke pengobatan alernatif, hasilnya juga sia-sia. Malahan orang-orang yang mencoba mengobati bilang kalau penyakit itu merupakan penyakit kiriman dari orang-orang di tempatnya bekerja yang tidak suka dengan suaminya.

Karena tidak kuat menahan sakit, akhirnya suami Nunuk menyerah pada keadaan. Suaminya meninggal dunia tanpa diketahui penyakitnya.

“Sampai sekarang saya tidak tahu apa yang menimpa suami. Ada yang bilang dia meninggal akibat guna-guna orang. Ada yang bilang dia meninggal secara wajar. Tapi sebagian orang yang memiliki linuwih bilang, justru saya yang menjadi penyebabnya.”  [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...