Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Kisah 9 Juli 1942 di Oranje Boulevard

Oleh : Anton Dwisunu Hanung Nugrahanto

Ada kisah yang banyak orang lupa tentang bagaimana sejarah kepemimpinan negeri ini bermula sehingga melahirkan negara terbesar nomor lima di dunia. Kisah ini dimulai pada suatu senja sekitar jam 18.30 saat itu di rumah Sukarno yang baru saja ia tempati di Jalan Pegangsaan, datanglah Gatot Mangkupradja yang membawa kabar bahwa Sjahrir akan melakukan politik penolakan terhadap Jepang dan lebih memilih berjuang secara illegal.

“Kabarnya ia sudah punya tempat di Cipanas sebagai pusat kegiatannya, tapi saya tak tau pasti apakah itu benar” kata Gatot di depan Bung Karno.

“Lalu bagaimana dengan Hatta?”

“Inilah bung yang saya kuatirkan, andai Hatta ikut nanti kelompok Illegal kebanyakan, kalau mereka kalah atau ditangkap kempetai kita akan banyak kehilangan pemimpin, Amir sudah bangun kelompoknya sendiri di Surabaya dia nggak bakal mau muncul ikut-ikutan Dai Nippon”

“Ya… ya aku paham maksud kau Gatot… aku paham kita memang terpaksa harus kerjasama dengan Dai Nippon, itu sebuah keterpaksaan, karena aku tak mau rakyat kehilangan pemimpinnya dan kemudian Nippon mengangkat pemimpin boneka yang akan menyulitkan banyak orang nantinya”.

“Gatot makanlah dulu, nanti habis sholat Isya aku coba ke rumah Hatta” kata Sukarno sambil menyuruh salah seorang pelayannya menyiapkan makanan. Saat Gatot makan malam, Sukarno shalat Isya. Dalam sholat itu Sukarno berdoa dalam-dalam agar kepemimpinan negeri ini bisa terjaga, setelah Sholat selesai Sukarno agak lama merenung air wudhu-nya belum mengering.

Jam 20.30 Sukarno dengan masuk ke dalam mobil Studebaker-nya yang disetiri Arif. “Rif, kita ke rumah Hatta di Oranje Boulevard” mobil itupun berjalan ke arah rumah Hatta di Oranje Boulevard (sekarang Jl. Diponegoro, Menteng). Saat itu Hatta sedang membaca buku di ruang perpustakaannya yang rapih. Tau ada mobil memasuki halamannya Hatta keluar teras. Tak berapa lama Sukarno keluar dari mobil.

“Oh, No… masuk-masuk…” seru Hatta menyambut Sukarno.

Hatta membawa Sukarno ke ruang tamunya.

“Sedang apa kau Hatta?” tanya Sukarno kepada Hatta.

“aku lagi baca buku… wah ini gara-gara Sjahrir bawa anak asuhnya, tiga peti buku-ku terpaksa aku tinggalkan di Banda” kata Hatta seraya menyesali bukunya yang tertinggal.

“Oh, begitu hahahaha… Sjahrir… Sjahrir” Sukarno tertawa keras. Tak lama kemudian muncul asisten Hatta menyajikan minuman. Setelah selesai asisten itu menyiapkan minuman Sukarno berdehem.

“Hatta….”

“Ya” jawab Hatta menyambut panggilan lirih Sukarno.

“Aku dengar Sjahrir akan melakukan gerakan bawah tanah?”

“Ya, dua hari yang lalu ia bilang begitu, ada bungalow bibinya di Cipanas yang akan jadi pusat gerakannya”

“Bagaimana dengan kau sendiri?” tanya Sukarno lagi.

“Aku belum bisa memutuskan, No….”

“Begini Hatta, aku tau kau dan aku bukanlah jenis sahabat yang cocok, kau berbeda total dengan aku dari sisi apapun. Tapi kita dihadapkan pada situasi amat genting, pertaruhan terbesarnya adalah bila kita tidak muncul Jepang akan mempersiapkan pemimpin-pemimpin boneka yang hanya semata-mata mencari keuntungan kekuasaan dan materi. Ya…aku akui memang aku bertaruh saat ini, tapi bagaimanapun Dai Nippon adalah realitas”

“Bagaimana menurutmu bila kita tampil ke muka?” kata Hatta lagi sambil menerawang wajah Sukarno.

“Kita menjawab tanggung jawab terhadap negeri ini. Dan memang dunia ini aneh Hatta…. aneh, kau yang dulu terus menerus menyerangku tapi anehnya aku hanya percaya sama kau untuk memimpin negeri ini”.

Seperti yang diketahui sebelumnya pada tahun 1932 Hatta menulis tentang kisah Sukarno yang meratap-ratap minta ampun pada Pemerintah Hindia Belanda. dan sejak saat itu Hatta juga banyak mengeritik Sukarno. Tapi Hatta juga yang kemudian berusaha menyelamatkan keberadaan Partai Sukarno saat Sukarno dibawa ke penjara oleh Pemerintahan Hindia Belanda.

Hatta diam, ia berpikir dalam-dalam. Hatta tak suka pada Jepang, tapi rasa tak suka ini mau tak mau harus disingkirkan, sebab bila Sukarno ditinggal sendirian, Sukarno malah bisa menjadi makanan sekutu nantinya apabila Jepang kalah. Dan apabila Jepang menang, Sukarno malah bisa terjebak menjadi pemimpin boneka. Ia harus menjaga irama perjuangan ini, Hatta dipercaya oleh elite intelektual, sementara Sukarno sudah amat dikenal oleh bangsanya, sulit membayangkan negeri ini merdeka tanpa melihat Sukarno. Sejak tahun 1922 sampai 1942, sekitar 500 artikel tulisan Sukarno di Koran-koran menjadi bacaan masyarakat luas, seluruh rakyat bangsa ini seakan selalu menunggu tulisan Sukarno yang bernas itu.

“Baiklah, aku akan mendampingimu memimpin negeri ini, No….” kata Hatta ia paham sahabatnya ini tak akan mampu berjalan sendirian, ia adalah orang yang bergelora tapi kadang-kadang ia sering terjebak pada gelora yang membawa isi hati.

“Lupakan semua perbedaan kita dimasa lalu, kita harus bertanggung jawab terhadap masa depan negeri ini” Hatta mengulurkan tangan ke Sukarno, dan mereka bersalaman. Lalu berpelukan “Sekarang kita satu, disatukan dalam perjuangan yang sama”

“Setuju” sejak itulah Sukarno dan Hatta tak pernah pisah lagi. Setelah selesai kemerdekaan Sukarno selalu meminta Hatta menulis pidato-pidato resminya, atau setiap pidato resmi yang ditulis Sukarno dibaca Hatta dulu.

Tapi persahabatan bukanlah soal cerita romantika pertemanan, persahabatan punya caranya sendiri mengembangkan sayap pikiran-pikiran. Di tahun 1956 Hatta mengundurkan diri karena Parlemen membatalkan persetujuan perjanjian KMB 1949. Di tahun 1957 Sukarno karena alasan mulai intervensinya Amerika Serikat, ia mengutarakan ide Demokrasi Terpimpin. Hatta marah atas ide Sukarno lalu ia menuliskan artikel “Demokrasi Kita” di tahun 1960 menanggapi dibubarkannya konstituante dan pembubaran dua partai politik besar : Masjumi dan PSI.

Kemarahan antara Sukarno dan Hatta adalah sebuah kemarahan yang aneh, hanya mereka berdua yang tahu.

Namun kemarahan dua orang yang paling bertanggungjawab terhadap pendirian Republik ini menjadi luntur menguap oleh waktu, saat di tanggal 16 Juni 1970 Hatta menulis surat dengan air mata yang menetes. Surat itu adalah permohonan kepada Presiden Suharto agar ia bisa bertemu dengan Sukarno sahabatnya yang diinternir Suharto di Wisma Yaso. Setelah kondisinya gawat ia dirawat di RS Gatot Subroto, itupun setelah Suharto dipaksa oleh Rachmawati untuk membawa ayahnya ke RS.

Tanggal 19 Juni 1970, utusan Suharto datang dan mengabarkan Hatta bisa menengok Sukarno. Diantar puterinya Hatta ke kamar Sukarno yang bau dan pengap, kaleng ada dimana-mana, ada sebuah Koran bekas, dan baju-baju lusuh bergelantungan. Hatta diam saja melihat keadaan ini dia terus menahan gejolak di hatinya, seorang yang sepanjang hidupnya bermimpi mendirikan Negara ini, dipenjara untuk bangsa ini berakhir pada kamar yang amat kumuh, ditempatkan pada ruang perawatan kelas miskin.

Hatta memegang bahu Sukarno, lalu Sukarno yang sedang tertidur membuka matanya “Ah, No” kata Hatta.

“Hatta… Hatta” air mata Sukarno keluar dan membasahi bantal. “Hoe gaat het met jou?” Hatta diam saja tangannya memijiti tangan Sukarno yang panas, tapi tak lama kemudian tangis Hatta meledak. Sukarno minta dibangunkan dan diambilkan kaca mata lalu memandang Hatta lama.

………lama sekali dan kemudian dua orang yang pernah melahirkan bangsa ini menangis pada sebuah kamar yang pengap.

Inilah tangisan sejarah, tangisan masa depan. Dan masa depan itu adalah kini. Sukarno-Hatta menangis, karena di masa depan Indonesia pejabat hanya berfoya-foya makan duit yang seharusnya dibangun untuk kesejahteraan bersama, karena wakil rakyat seperti tak punya hati, saat dikritik soal hidup mewah, malah balas menjawab “kenapa kau jadi munafik…” seakan-akan pembenaran harta benda menjadi ukuran segala-galanya, inilah sebuah keadaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, sebuah amoralitas dan kebangkrutan sebuah idée atas nasionalisme kita.

Seandainya Sukarno atau Hatta mau mereka akan lebih memilih ke Australia daripada memimpin dengan resiko digantung Jepang, mereka aman dengan Belanda. Sjahrir juga akan lebih memilih hidup nyaman di Australia daripada harus bertarung nyawa tiap waktu untuk menggerakkan gerakan bawah tanah. Tapi kita tau mereka bukanlah pemimpin boneka, mereka lahir dari Lumpur sejarah, mereka memimpin karena dirinya memang berkualitas, bukan karena mereka anak siapa, atau punya mertua siapa.

*Kepada kisah Sukarno dan Hatta kita banyak belajar bagaimana sebuah tanggung jawab kepemimpinan harus dijalankan.

Komentar
Loading...