Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #29

Namanya Sahid

Oleh: Jendra Wiswara

Laki-laki itu sudah bangun. Dia langsung pergi. Buntelan kecil ditinggal di surau. Berarti perginya tidak lama. Dan benar, selang 30 menit, dia kembali lagi dengan memikul setumpuk kayu bakar.

“Maaf Mbak, ini saya bawakan kayu bakar dari hutan. Barangkali Mbak butuh untuk memasak,” kata laki-laki itu.

“Waduh kok repot, Pak. Terima kasih. Habis ini saya buatkan kopi ya,” sahut Nunuk.

Saat melangkah ke belakang, Nunuk masih tidak percaya dengan kejadian semalam dan subuh tadi. Seperti mimpi, pikir Nunuk. Bagaimana dia bisa menjalin komunikasi dengan laki-laki itu dari hati ke hati. Dan sekarang, komunikasi mereka biasa-biasa saja.

Tidak lama, Nunuk kembali ke depan membawa secangkir kopi.

“Silahkan diminum kopinya, Pak. Oh iya, saya tinggal ke belakang dulu ya. Mau menyiapkan sarapan.”

“Terima kasih.”

“Oh iya, kalau boleh tahu nama bapak siapa?” Tanya Nunuk.

“Saya Sahid, Mbak!”

“Iya.”

Nunuk tidak bertanya balik. Tidak juga bertanya urusan Sahid datang ke warungnya dan menginap di surau. Yang Nunuk tahu, Sahid singgah di warungnya kemudian butuh tempat untuk istirahat.

Perempuan bahu laweyan itu kemudian pergi ke belakang untuk menanak nasi. Tidak lama, bapaknya datang mengendarai motor. Sebelum menuju ke belakang, sempat uluk salam ke Sahid.

“Assalamualaikum,” sapa bapaknya Nunuk.

“Waalaikumsalam,” balas Sahid.

Hanya saja, bapaknya Nunuk agak heran dengan Sahid. Kemarin dia bertemu Sahid di mushalla. Dan sekarang laki-laki itu sudah ada di warung.

Bapaknya Nunuk celingukan. Tidak ada motor. Berarti Sahid berjalan kaki dari kampung ke warung yang jaraknya hampir 5 kilometer.

Saat bertemu Nunuk, sang bapak menanyakan sosok Sahid.

“Nduk, siapa laki-laki itu?” Tanya bapaknya sedikit curiga.

“Oh, itu Pak Sahid. Dia kemarin sore tiba di sini. Sepertinya dia berasal dari jauh. Semalam menginap di sini.”

“Apa!?”

Bapaknya Nunuk kaget. Hampir saja menjerit. Tapi urung.

“Apa ada yang salah, Pak?” Kata Nunuk masih tenang.

“Jam berapa kemarin Sahid kemari?”

“Sekitar jam 5 sebelum Magrib, Pak!” Balas Nunuk.

“Terus saat Magrib dia ke mana?”

“Dia tidur di surau.”

“Apa kamu tidak salah, Nduk!”

“Salah bagaimana, Pak?” Nunuk agak curiga dengan pertanyaan bapaknya.

“Apa mungkin laki-laki itu turun ke kampung saat Magrib?” Tanya bapaknya memastikan.

“Turun ke kampung bagaimana, Pak. Lha wong aku sholat Magrib dia masih tidur di surau. Bahkan sampai sholat Isya, dia masih tidur.”

“Allahu Akbar,” bapaknya Nunuk langsung menyeru nama Allah.

“Bapak kenapa, kok seperti orang kebingungan?” Tanya balik Nunuk.

Sebelum menjawab pertanyaan anaknya, sang bapak menghembuskan nafas dalam-dalam. Kekagetannya belumlah reda. Dia mengulang memorinya. Semoga jawabannya tidak salah.

“Kemarin Magrib, aku sholat berjamaah dengan Sahid di mushalla, Nduk!”

Ah, bapak jangan mengada-ada. Aku di surau sama dia. Aku lihat dia tidur. Bagaimana mungkin dia di surau tidur terus sholat di kampung. Pasti bapak salah orang.”

“Tidak, Nduk. Bapak tidak salah orang. Pakaian yang dikenakan sama. Orangnya ya itu. Dia benar-benar ada di mushalla. Kami sholat Magrib berjamaah. Dia sama sekali tidak turun dari mushalla hingga waktu Isya. Setelah Isya kami sholat berjamaah lagi. Bahkan dia berada di samping bapak. Kami sempat bersalaman usai sholat.”

“Masa, Pak!” Nunuk tidak percaya.

“Saat semua orang pulang. Dia masih di mushalla. Duduk menghadap kiblat. Tidak berhenti berdzikir.”

Subhanallah. Apa tidak salah yang kudengar, Pak. Sejak Magrib hingga Isya, Sahid terus bersamaku. Dia tidak bangun. Cuma tidur. Kami sempat bi…” Nunuk tiba-tiba berhenti. Omongannya tidak diteruskan.

Bapaknya langsung menyahuti, “Sempat apa, Nduk!”

“Sempat bi…ca…ra…” kata-kata Nunuk terputus-putus.

Nunuk langsung lemas. Dia seperti linglung. Matanya menerawang jauh menembus dinding-dinding cakrawala. Alam pikirnya, alam akalnya, tidak sanggup menguraikan kejadian semalam dengan cerita bapaknya.

“Apa mungkin dia…” Nunuk berbicara sendiri. Tapi masih didengar bapaknya.

“Dia apa, Nduk?” Tanya bapaknya membuyarkan lamunan anaknya.

Ah, tidak apa-apa, Pak. Bapak sudah ngopi. Aku buatkan kopi ya,” Nunuk mengalihkan pembicaraan.

***

Bapaknya Nunuk sebenarnya mau mencari kayu bakar. Tapi dicegah. Sebab Sahid sudah mencarikan kayu bakar sebelum bapaknya tiba di warung.

Pria itu kemudian keluar dan menemani Sahid yang masih duduk sendiri menikmati kopinya.

Tidak lama kemudian, Nunuk menyusul sembari membawa secangkir kopi untuk bapaknya dan ketela rebus untuk dihidangkan.

“Sementara hidangannya ini dulu. Sarapannya belum matang,” kata Nunuk.

“Tempat ini sunyi dan tenang. Enak buat berpikir. Saya suka di sini. Kalau diijinkan, bolehkan saya menginap beberapa hari di sini. Saya janji tidak akan menganggu. Nanti saya tidur di surau saja,” jawab Sahid.

Nunuk dan bapaknya saling memandang, lalu mengangguk.

“Silahkan saja. Kami tidak keberatan. Malah senang Nunuk ada temannya. Dan terima kasih sudah mencarikan kayu bakar untuk anak saya,” balas bapaknya.

“Kalau boleh tahu, Pak Sahid dari mana?” Giliran Nunuk.

“Jangan panggil, Pak. Panggil saja Sahid. Saya masih muda. Sepantaran, Mbak!”

“Saya panggil Mas saja ya. Gak sopan panggil nama.”

Monggo, silahkan,” Sahid meneruskan, “Saya dari Demak.”

“Jawa Tengah.”

Sahid mengangguk.

“Kalau boleh tahu, ada urusan apa Mas Sahid jauh-jauh datang ke sini?” Tanya Nunuk.

Ah, biasa saja. Cuma jalan-jalan. Melihat pemandangan alam. Dan bercengkrama dengan kekasihku.”

Menyebut nama kekasih, Nunuk teringat kata-kata Sahid sewaktu sedang tidur. Kata-kata ‘kekasih’ itu mengusik pendalaman Nunuk. Dia pun memberanikan diri bertanya.

“Kekasih, siapa yang dimaksud dengan kekasih?”

“Kekasihku ada di mana-mana. Dia lebih dekat daripada urat nadiku.”

Jawaban Sahid membuat Nunuk dan bapaknya kebingungan. Saat hendak bertanya lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh Suud.

“Wong ganteng datang, wong ganteng datang,” teriak Suud lantas memarkirkan motornya.

“Wah, ada dayoh (tamu) rupanya. Ning, aku kopi ya,” pesan Suud sambil meringis.

Eh, Mas Suud,” sapa Sahid.

“Lho, Mas sudah tahu nama saya. Apa kita pernah bertemu?”

“Kalau wong ganteng kan terkenal di mana-mana,” Sahid membalas sekenanya.

Nunuk heran dan memandang laki-laki di hadapannya. Dia bertanya-tanya dari mana Sahid tahu nama Suud. Sementara Suud sendiri tidak mengenalnya.

“Lho, Ning kok masih di sini. Mana kopinya?” Suud membuyarkan lamunan Nunuk.

Eh, iya sebentar ta buatkan dulu,” Nunuk melangkah pergi ke belakang dan kembali membawa secangkir kopi.

Diseruputnya kopi pelan-pelan. Menghela nafas panjang. Tampak ada sesuatu yang membebani pikiran Suud.

Nunuk tahu itu, dia bertanya. “Mas Suud ada apa?”

Ya, biasa Ning. Dagangan hari ini lagi sepi. Dari tadi keliling kampung, yang laku masih separuh. Alamat dimarahi istri lagi.”

“Lho, Mas Suud kan belum naik ke atas. Siapa tahu di atas dagangannya diborong orang,” Sahid buru-buru menjawab keluh kesah pedagang sayur tersebut.

“Yang di atas cuma warung-warung seperti di sini. Jarang beli. Paling juga ngutang kayak Ning Nunung, he…he…he…,” Suud tertawa terkekeh mencandai Nunuk, sementara yang dicandai tidak marah malah tersenyum.

“Jangan su’udzon dulu. Manusia tidak boleh berburuk sangka. Apalagi Mas Suud adalah pedagang. Dulu saat Nabi SAW berdagang, beliau tidak pernah berburuk sangka. Coba Mas Suud naik ke atas. Kalau tidak ada yang beli, nanti balik lagi ke sini, ngopi lagi,” saran Sahid.

Seperti terhipnotis kata-kata Sahid, Suud lantas berpamitan. Sebelum pergi, kopi diseruput hingga tersisa setengah.

“Aku naik dulu ya Ning. Wong ganteng datang, wong ganteng datang,” teriak Suud menghidupkan motor dengan dagangan masih separuh.

Hanya berselang 15 menit, Suud turun lagi sambil teriak-teriak saat melintas di depan warung Nunuk. “Wong ganteng pulang, wong ganteng pulang, assalamualaikum,” teriak Suud melambaikan tangan. Terlihat dagangannya ludes terjual.

Di sini Nunuk dihadapkan pada sebuah kejadian aneh untuk kesekian kalinya. Sahid sepertinya sudah tahu sebelum sesuatu terjadi. Sebelum bapaknya datang, Sahid sudah mencarikan kayu bakar. Saat Suud datang dan berkeluh kesah, dia menyarankan untuk naik ke atas. Terbukti dagangan Suud langsung ludes.

“Dia sepertinya tahu sebelum winarah (sebelum sesuatu terjadi). Awalnya saya tidak percaya. Mungkin saat mencari kayu bakar, dia bisa saja kebetulan. Tapi saat kejadian Suud, ini membuat saya berpikir. Bagaimana bisa Sahid menebak nama Suud. Bagaimana dia bisa tahu di atas dagangannya bakal diborong. Saya putuskan untuk naik ke atas dan bertanya pada orang-orang. Terutama yang memborong dagangan Suud. Satu persatu saya tanya, mereka mengaku tidak pernah bertemu dengan Sahid. Yang membuat saya tidak habis pikir adalah cerita bapak. Bagaimana bisa ada satu orang berada di dua tempat sekaligus.”

[bersambung]  

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...