Bahu Laweyan #35
'Wong Ganteng Datang’
Oleh: Noviyanto Aji
Kertas yang ditemukan Nunuk bertuliskan huruf Arab gundul alias Arab Pegon. Dia tidak tahu bunyinya. Matanya terus mencermati. Berusaha dia membaca. Tetap tidak bisa. Perempuan bahu laweyan itu memang bisa mengaji. Tapi membaca Arab Pegon, dia sama sekali tidak bisa.
Dibolak-balik kertas itu. Isinya tidak berubah. Diterawang. Tulisan tetap sama. Masih itu-itu juga.
Kertas itu kemudian dimasukkan ke dalam kantong. Berharap suatu hari nanti ada orang yang dapat menterjemahkannya.
Tanpa sadar hari sudah memasuki waktu Subuh. Suara adzan terdengar dari bawah sana saling sahut menyahut. Nunuk mendengarkan suara adzan itu hati tunduk pada kehendakNya. Suara adzan itu selalu mengesankan bagi pribadi-pribadi yang sedang dipanggil.
Nunuk teringat pada cerita mantan suaminya, Iksan, bahwa suara adzan sejatinya menggema hingga belahan bumi tanpa berhenti sesaat pun. Adzan terus menggema seperti halnya bumi yang berputar pada porosnya. Suara gema adzan bisa didengar seluruh manusia sejagat.
Bergema dari satu masjid ke masjid lain, dari satu daerah ke daerah lain, dari satu negara ke negara lain. Demikian seterusnya hingga dimulai lagi dari awal.
Jika dari selesai adzan Subuh, maka dari negara lain dimulailah adzan Dhuhur, lalu dibalas adzan Ashar, Magrib, hingga Isya. Begitulah seterusnya, adzan tak pernah berhenti.
“Mas Iksan pernah bercerita, inilah fenomena adzan. Tak pernah berhenti walau sesaat. Selalu sambung-menyambung dan estafet dari satu tempat ke tempat lain, memberi makna bagi yang mendengarnya. ‘Kiamat tidak akan terjadi hingga tidak ada lagi manusia yang menyebut nama Allah di muka bumi ini.”
Nunuk turun dari surau, menuju kamar mandi yang beratapkan langit. Di situ tersedia gentong dari tanah liat berisi air untuk wudhu. Pada sisi-sisinya terlihat usang dan bagian bawahnya banyak ditumbuhi lumut. Meski begitu, airnya sangat segar karena diambil langsung dari pegunungan.
Selesai wudhu, Nunuk kembali ke surau. Dilihatnya tempat pengimaman. Dia teringat Sahid saat sedang mengimaminya. Membaca khatam seluruh Alquran. Wujud dan wajah Sahid tampak jelas dalam bayang-bayangnya. Tapi kini suasananya berbeda. Bisa lebih baik, bisa juga tidak lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Yang jelas, Nunuk kini dalam sendirian. Tak ada imam yang dengan sabar dia menanti hingga selesainya sholat. Tak ada lagi suara yang menyahuti kegundahan hatinya. Ya, tak ada suara Sahid yang selalu membantah omongannya. Nunuk rindu itu.
Perempuan bahu laweyan itu kembali tinggal dalam kesendirian. Semakin jelas, bahwa dia diburu oleh kegilaan hatinya. Begitu mudah terlena dengan pikirannya sendiri. Bahwa di balik seruan dan anjuran, ada sebuah kegilaan maha dashyat yang gaib. Sang kekasih. Yang selalu disebut-sebut Sahid dalam tidurnya.
Satu persatu bayangan Sahid disingkirkan. Urusan Sahid dengannya masih panjang. Ibarat sebuah jalan belum ujungnya. Tapi urusan dia dengan Allah adalah urusan hati, urusan nyawa, urusan hidup, urusan mati, yang setiap saat selalu menyertai semua insan.
“Allahu Akbar,” takbiratul ihram diucapkan Nunuk sambil mengangkat kedua tangannya.
Konsentrasi. Fokus. Melafalkan surat. Melakukan gerakan. Hingga berakhirnya sholat. Di sinilah Nunuk kembali dihadapkan pada bayang-bayang masa lalu, meski bayangan itu tidak lama hadir dalam hidupnya. Namun Nunuk merasai, bayangan itu seperti sudah sekian tahun berlalu.
Berulang kali Nunuk berdzikir. Mengeraskan suaranya. Lalu melihat ke samping, eit, tidak ada orang. Padahal kemarin dia masih melihat Sahid tidur di sampingnya. Tanpa selimut. Tidak juga tubuh itu kedinginan. Lalu setiap kali Nunuk berdzikir dengan suara lantang, dibalas oleh laki-laki itu dan dianggapnya suara tersebut sangat menganggu. Apa-apa yang diucapkan Nunuk selalu dibantah Sahid dalam kondisi kesadaran tingkat tinggi.
Ah, membayangkan peristiwa menakjubkan itu, Nunuk hanya bisa tersenyum. Lalu dzikirnya diteruskan hingga fajar tiba. Saat itu Nunuk tetap duduk di surau. Dia sama sekali tidak menghentikan dzikirnya. Terus dan terus.
Dari luar terdengar suara orang sedang berjalan. Saling bicara. Sepertinya mereka penduduk setempat. Biasanya kalau pagi masuk ke hutan untuk mencari kayu bakar. Nunuk pun mengakhiri wiridnya.
Duduk dia di depan warung. Mengamati lalu lalang orang-orang. Saat keadaan sudah sepi, Nunuk bangkit dan membuka pintu rumahnya sekaligus warungnya.
Perempuan cantik itu dengan ceria menyapa setiap orang yang melintas di depannya. Sopan pembawaannya.
“Mampir, Mbok!” Sapa Nunuk pada pencari kayu yang melintas.
“Kalau belum makan, di sini banyak lauk dan nasi,” tawarnya.
Mungkin saking pegalnya, si pencari kayu hanya menanggapi sekilas. “Sudah, Nuk. Terima kasih tawarannya!”
Pencari kayu itu tampak renta. Cara berjalannya membungkuk. Ajaibnya, dia masih mampu mengangkat kayu bakar naik turun pegunungan. Benar-benar wanita tangguh.
Nunuk mungkin tidak sanggup seperti mereka. Dia bukan perempuan gunung yang segala sesuatunya dikerjakan sendiri. Kalau sekedar mandiri sebatas kemampuannya sebagai perempuan, masih sanggup. Namun untuk melakukan pekerjaan yang sebenarnya dilakukan laki-laki, dia tidak sanggup.
Saat hendak masuk ke dalam rumah, terdengar deru motor yang tidak asing. Pengendaranya berteriak-teriak seperti biasanya.
“Wong ganteng datang, wong ganteng datang,” teriaknya.
“Mas Suud,” sapa Nunuk.
Nunuk urung masuk rumah. Dia balik badan dan melihat dagangan Suud.
“Kok sudah habis Mas!” Seru Nunuk.
“Alhamdulillah Ning. Hari ini rejeki anak sholeh,” kata Suud cengar-cengir.
“Ya sudah Mas Suud ngaso dulu. Tak buatkan kopi ya.”
Nunuk masuk ke dalam dan kembali membawa secangkir kopi seperti biasanya.
Suud celingukan ke dalam rumah. Nunuk pun menegurnya.
“Kenapa Mas, kok kelihatannya seperti risau gitu?” Tanya Nunuk.
“Mas Sahid kemana Ning?” Suud balik bertanya.
“Sudah pergi, Mas!”
“Pergi kemana?”
Nunuk mengangkat kedua pundaknya. Dia juga enggan menceritakan perihal peristiwa semalam yang dialaminya bersama Sahid. Lagipula, cerita itu mungkin tidak menarik bagi Suud. Apalagi jika berbau horor, pasti dia tidak percaya atau bisa jadi malah membuatnya takut.
“Lha malam pertama terus bagaimana. Kan baru kemarin menikah?” Suud penasaran.
“Tidak ada malam pertama, Mas,” Nunuk tersenyum malu menjawab urusan pribadinya ke Suud.
“Tapi gak masalah Ning. Aku tetap senang Ning Nunuk nikah dengan Mas Sahid. Dia orang baik. Aku tidak pernah bertemu orang seperti dia.”
Suud membuka obrolan. Meski gayanya cengengesan, kali ini obrolan pedagang sayur itu sedikit serius.
“Darimana Mas Suud tahu kalau Mas Sahid orang baik?” Nunuk penasaran.
“Pembawaannya itu loh, sangat tenang sekali. Ada aura besar dalam diri Mas Sahid. Dia sepertinya tidak gampang terusik dengan urusan dunia. Dia seperti…,” Suud menghentikan kata-katanya. Seakan sedang berpikir.
“Seperti apa, Mas?”
“Dia seperti sedang lelaku,” duga Suud.
“Ah, Mas Suud bisa saja.”
Dalam hati Nunuk sebenarnya mengiyakan perkataan Suud. Namun dia masih enggan terbuka. Apalagi menceritakan peristiwa-peristiwa di luar nalar selama Sahid menginap di surau hingga menikahinya.
“Lho, benar Ning. Aku tidak bohong. Aku sepanjang hidup ketemu banyak orang. Tapi tidak seperti Mas Sahid. Saat pertama kali bertemu, aku kaget saat dia tahu namaku. Kemudian saat dia bilang di atas ada orang yang memborong daganganku, itu makin membuatku kaget.”
“Barangkali kebetulan saja, Mas!”
“Tidak, Ning. Aku ini memang orangnya cengengesan. Hanya saja soal urusan begini, aku sangat serius. Sejak kejadian itu, setiap ketemu langgananku, aku bertanya pada mereka. Dan mereka bilang tidak kenal Mas Sahid. Saat di atas pun, aku tanya ke pemborong daganganku, dia bilang tidak kenal dengan Mas Sahid.”
“Begitu ya Mas.”
Nunuk sebenarnya juga melakukan apa yang dilakukan Suud. Perempuan bahu laweyan itu juga mengecek kebenaran kata-kata Sahid. Dan semua orang tidak ada yang mengenal Sahid.
“Aku menduga Mas Sahid bukan sekedar pelaku spiritual. Dia seperti…,” Suud kembali menduga-duga.
“Seperti apa, Mas?”
“Seperti ulama besar yang sedang menyamar saja. Wali Allah,” jawab Suud.
“Kenapa Mas Suud bisa menyimpulkan seperti itu?”
“Aku ini jelek-jelek begini pernah mondok, Ning. Insya Allah, aku bisa membedakan mana orang biasa dan mana orang berilmu.”
Mendengar perkataan Suud, Nunuk langsung teringat secarik kertas bertuliskan Arab gundul yang ditemukan di buntelan milik Sahid. Karena Suud pernah mondok, pastilah dia bisa membaca tulisan tersebut.
“Sebentar Mas. Mumpung ada sampeyan di sini. Aku mau minta tolong, boleh nggak!”
“Asal tidak pinjam uang saja,” sahut Suud cengengesan.
Nunuk pergi ke dalam rumah. Kembali lagi ke Suud sambil membawa kantong. Dibuka kantong berisi kertas yang dilipat-lipat oleh si empunya. Lalu disodorkan pada Suud.
“Mas Suud bilang pernah mondok. Aku yakin Mas Suud bisa membaca ini.”
Lipatan kertas itu dibuka Suud. Karena takut sobek, dibuka lipatan pelan-pelan. Terdapat tulisan Arab Pegon. Suud melihat tulisan itu dengan seksama. Membacanya dengan batin. Tampak mulutnya terkatub-katub.
Setiap tulisan dibaca dan dihayati. Mudah bagi Suud membaca isi tulisan tersebut. Sebab di pondok, dia sering mengaji kitab kuning.
Untuk sesaat membaca tulisan tersebut, mata Suud berkedi-kedip. Seperti kemasukan debu. Dikucek-kucek matanya. Memastikan kembali bahwa yang dibacanya tidak salah. Ya, Suud tidak percaya dengan yang dibacanya.
Lalu terlontar begitu saja kata-kata dari mulut Suud, “Subhanallah!” [bersambung]