Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #43

Sebuah Tanggungjawab

Oleh: Jendra Wiswara

Sejam berlalu. Rupa-rupanya bapaknya Nunuk sudah bosan dengan pemandangan pedesaan. Dia meninggalkan warung kopi. Kembali ke pondok.

Melihat anaknya dan bapak dari cucu-cucunya masih di balai-balai bambu, sang bapak mendekat.

“Bapak dari mana?” Tanya Nunuk sebelum pantat bapaknya dijejalkan di kursi.

“Tadi bapak ngopi di warung sana,” jawabnya singkat.

Bapaknya Nunuk lalu diam. Menunggu apa yang hendak disampaikan anaknya. Sepertinya bapaknya Nunuk penasaran dengan obrolan mantan suami istri tersebut. Dia punya cara dan sudut pandang lain. Namun tidak berani menyampaikan. Takut menyinggung perasaan mereka.

Apa yang diharapkan dari bapaknya Nunuk? Tidak ada. Dia hanya ingin semua permasalahan 6 tahun lalu selesai malam itu juga. Berakhir bahagia. Dan memang benar. Yang diharapkan sesuai dengan harapan.

“Sepertinya aku harus menginap di sini, Pak. Kata Mas Iksan aku masih punya banyak hutang pada anak-anak.”

“Itu lebih baik, Nduk. Silahkan.”

“Apakah bapak mengijinkan?”

“Lho, kamu kan sudah menjadi ibu. Segala keputusanmu adalah hakmu. Bapak sudah tidak bisa mengatur-ngatur kamu. Bapak gak bisa melarang. Kamu juga punya anak yang harus diperhatikan. Sudah 6 tahun kamu berada di hutan. Wajar jika hutangmu banyak pada mereka.”

“Iya, Pak. Terima kasih atas pengertiannya.”

“Bapak selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya. Apalagi sekarang bapak punya cucu.”

“Iya, Pak. Apakah bapak menginap di sini?”

“Kalau untuk semalam boleh. Tapi besok bapak harus kembali. Soalnya sawah gak ada yang ngurus.”

Nunuk mengamini kata-kata bapaknya.

Tak lama, terdengar suara kelas menjadi bising. Nampaknya anak-anak sudah selesai belajar.

Iksan menoleh ke arah kelas.

“Itu kelasnya Ahmad. Hari ini mereka belajar kitab Al-Ajurumiyah,” kata Iksan melambaikan tangan pada Muhammad saat keluar kelas dan balik memandang Nunuk.

“Dia sudah besar, Mas. Sudah jadi anak pintar!” 

“Semoga begitu.”

Tak lama kelas Fatimah juga selesai. Kelasnya paling pojok arah Selatan. Dia melihat kedua orangtuanya di balai-balai bambu, lantas berjalan mendekati sambil mendekap sebuah kitab.

“Itu yang dibawa Fatimah kitab apa, Mas?” Tanya Nunuk melihat anaknya dari kejauhan.

“Kalau nggak salah itu kitab Arba’in Nawawi. Isinya berupa hadits-hadits. Kitab itu memuat dasar-dasar agama seperti Tauhid, Akhlak, Fiqh, Muammalat dan Syari’ah,” sahut Iksan. 

Meski sudah dijelaskan, Nunuk masih tidak paham. Yang jelas perempuan bahu laweyan itu tampak bahagia melihat tumbuh kembang anak-anaknya. Rasa-rasanya baru kemarin dia menggendong mereka. Dan sekarang, ketiganya sudah tumbuh dengan cepat.

Nunuk berdoa dalam hati, semoga ilmu agama yang dipelajari anak-anaknya dapat berguna bagi banyak orang. Ilmu mereka takkan pernah padam, tak pernah hilang ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.

Tak lama Aisyah menyusul. Dia keluar dari masjid. Sama dengan adiknya, Aisyah juga mendekap sebuah kitab.

Nunuk tidak lagi bertanya. Sebab dia pasti takkan tahu meski sudah diberitahu.

Jika santri-santri lain sibuk dengan urusannya sendiri, ada yang pergi keluar pondok, ada memilih kembali ke kamar, ketiga anak Nunuk justru mendekati kedua orangtuanya.

Kali ini yang langsung dituju Nunuk. Mereka tak lagi lupa dengan ibunya, sosok yang pernah melahirkan, menyuapi, menggendon, dan meninabobokan semasa kecil.

Muhammad dan Fatimah yang paling manja. Keduanya duduk di samping ibunya sambil menatap wajah ayahnya. Tersenyum mereka. Seperti memamerkan kebahagiaan pada ayahnya.

Iksan membalas tersenyum.

Sementara Aisyah duduk di samping ayahnya. Wajahnya menatap wajah ibunya dengan pandangan tidak pernah bosan.

Tak tahu lagi bagaimana Nunuk mengungkapkan perasaan bahagianya saat melihat seluruh keluarganya berkumpul. Mungkin orang-orang tersayangnya itu tak pernah bosan memandangi wajahnya. Sebaliknya, Nunuk terus dihinggapi rasa gugup saat memandangi wajah anak-anaknya dan mantan suaminya.

“Hari ini dan seterusnya aku mau tidur sama ibu,” manja Muhammad.

“Aku juga,” sahut Fatimah tak kalah manja.

“Aisyah bagaimana?” Tanya Iksan.

“Aku mau dimasakin ibu. Sudah lama Ais tak merasakan masakan ibu.”

Hal itu langsung diamini Muhammad dan Fatimah.

“Iya, Bu. Malam ini masak yang enak ya,” kata Fatimah dan Muhammad kompak.

“Iya, nanti ibu masakin yang enak buat kalian. Terus mau masak apa?”

“Terserah ibu saja,” balas Aisyah tersenyum.

“Dik, kalau mau masak di dapur banyak lauknya. Kamu bisa ambil. Biar Aisyah nanti yang mengantarmu,” jawab Iksan hendak pamit.

“Lho ayah mau ke mana?” Tanya Fatimah.

“Kan sekarang waktunya mengajar santri senior. Kalian nanti jangan malam-malam tidurnya. Besok harus bangun Subuh. Ingat, habis makan langsung tidur. Nanti ayah biar tidur di kamar santri putra.”

“Hore, kita tidur di kamar ayah, Bu!” Seru Muhammad.

“Dik, aku tinggal dulu ya. Pak, nanti kalau mau ngaso di kamar saja,” kata Iksan pada Nunuk dan bapaknya.

“Iya, Nak.”

Iksan pun berlalu.

***

Malam itu, Nunuk pergi ke dapur bersama Aisyah menyiapkan makanan. Sementara Muhammad dan Fatimah pergi ke kamar ayahnya untuk menyiapkan perlengkapan tidur ditemani oleh kakeknya.

Tak lama, masakan pun jadi. Nunuk dan Aisyah membawa makanan ke kamar. Malam ini mereka makan bersama. Nunuk memasakkan kari ayam kesukaan anak-anaknya. Ketiga buah hatinya begitu lahap menyantap masakan ibunya.

Selama makan, mereka bercerita banyak hal. Nunuk yang lebih banyak diam karena dia lebih tertarik mendengar cerita-cerita anak-anaknya.

“Tadi Ustad Rosyid memarahi Abdul karena tertidur saat menyimak kitab. Dia dilempar kapur tulis, kapok!” cerita Muhammad sambil tertawa.

“Hei, jangan mendoakan Abdul tidak baik. Nanti ganti kamu lho yang tertidur di kelas,” ejek Fatimah.

“Yei, aku ga pernah tertidur di kelas pondok. Tapi kalau tertidur di sekolah pernah, he…he…he…” sahut Muhammad.

“Dik, kamu sudah sampai juz berapa?” Tanya Fatimah pada Muhammad.

Anak laki-laki itu kemudian berhenti makan. Dia lantas menghitung jari-jarinya.

“Masih 19. Doakan segera selesai dan masuk juz 20, Mbak,” jawab Muhammad lugas.

“Amin,” jawaban Muhammad diamini kedua kakaknya.

Begitulah obrolan anak-anak pondok. Mereka tak pernah berhenti membicarakan seputaran pondok. Canda tawa mereka tak jauh dari yang namanya ilmu nahwu sharaf, fikih, usul fiqh, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf, dan lain-lain. Yang semua itu tidak dipahami oleh Nunuk.

Tanpa terasa makan malam telah habis disantap. Ketiga anak-anak Nunuk langsung bergegas membawa piringnya masing-masing berikut piring ibunya dan kakeknya.

“Kalian mau ke mana?”

“Mau cuci piring dulu, Bu,” sahut Aisyah meninggalkan ibunya dan kakeknya.

“Oh iya, habis ini kita sholat Isya berjamaah ya. Nanti kakek yang mengimami,” ujar Muhammad.

Kaget Nunuk melihat pemandangan tidak biasa itu. Pertama soal piring, meski hanya sepele tapi rasa tanggungjawab mereka sangat besar. Kedua soal sholat, tanpa diperintah, ketiga anak-anak Nunuk merasa memiliki kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.

Entah bagaimana caranya para guru di pondok mengajarkan akhlaq mulia dan budi pekerti luhur terhadap mereka. Di mata Nunuk, lingkungan pondok telah mendidik anak-anaknya untuk hidup mandiri dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri.

Nunuk memandang bapaknya. Dia geleng-geleng kepala.

Wis, gak usah dipikir. Memang begitu anak-anakmu.”

“Iya, Pak. Cuma aku agak heran. Anak-anak seumuran itu sudah memiliki tanggungjawab terhadap dirinya. Aku kagum pada mereka, terutama pada guru-guru pendidik di sini.”

“Beruntung anak-anaknya bisa mondok di sini. Beruntung juga ayahnya pengajar di sini. Ya, kita hanya mendoakan yang terbaik buat mereka.”

“Iya, Pak.”

“Ya sudah kamu bersihkan dulu sisa makanan ini terus ambil wudhu. Bapak tak ambil wudhu dulu.”

“Iya, Pak.”

***

Usai sholat berjamaah, mereka mulai rebahan. Bapaknya Nunuk memilih tidur di kursi panjang. Sementara anak-anak saling berebut tidur di samping ibunya. Nunuk di tengah-tengah.

Nunuk mulai dengan ceritanya. Seperti mendongeng sebelum tidur. Kali ini bukan cerita Gendro Swara Pati. Sebab nama itu tidak layak untuk diperdengarkan pada anak-anak. Melainkan, cerita soal Sahid. Soal obrolan gaib di surau yang membuat mereka takjub.

Dan, mereka pun tidak keberatan. Bahkan, Aisyah penasaran dengan sosok Sahid. Dia sering bertanya namun selalu dibantah Fatimah.

“Jangan banyak tanya, Mbak. Biar ibu cerita sampai selesai,” kata Fatimah.

Ketiga anaknya diam. Nunuk terus bercerita. Hingga tanpa sadar cerita malam itu telah meninabobokan mereka masuk ke dalam ruang mimpi. Mereka pun terlelap.

Nunuk memandangi anak-anaknya. Pikirannya makin jernih. Dia merasa sebagai ibu harus mampu menciptakan keceriaan pada jiwa anak-anaknya. Dia harus mampu memenuhi hati mereka dengan keanggunan, keelokan dan pendirian teguh. Dengan begitu dia bisa membawa mereka terbang ke cakrawala tanpa batas, menjelmakan diri mereka dalam bentuk matahari, bulan dan bintang.

Dan, Nunuk pun terlelap dalam tidur.

Jarum jam menunjukkan pukul 2.30 dinihari. Tidak terasa mereka sudah tidur hampir 5 jam. Aisyah terbangun. Dia mengucek-ngucek matanya. Melihat semua orang masih tertidur. Buru-buru dia membangunkan Fatimah yang memeluk ibunya. Tak ketinggalan pula Muhammad.

“Dik, ayo bangun. Sudah jam 2,” kata Aisyah lirih sambil menggoyang-goyangkan pantat adiknya.

Yang dibangunkan pun tidak marah. Dia mengucek matanya dan melihat pada jam dinding. Memang waktunya bangun.

“Iya, Mbak. Adik Ahmad sampeyan bangunkan juga.”

Asiyah berpindah tempat ke Muhammad. Melangkah pelan supaya tidak membangunkan ibunya.

“Dik, ayo bangun.”

Muhammad tampak kaget. Dia masih ogah-ogahan. Tapi dia tetap harus bangun. Sebab, ini telah menjadi rutinitas mereka.

Buru-buru ketiga anak Nunuk mengambil air wudhu dan kembali ke kamar. Mereka nampak bersiap-siap menunaikan sholat malam. Sajadah digelar. Mereka berdiri di tempat pengimaman. Muhammad menjadi imam.

Nunuk yang menyadari anak-anaknya tidak berada di sisinya, segera terbangun. Dia mendapati ketiga anaknya sudah dalam posisi sembahyang. Dia menengok ke jam dinding.

“Masih pukul 2.30. Apa yang mereka kerjakan?” Batin Nunuk.

Perempuan bahu laweyan itu lantas duduk menatap ketiga buah hatinya dari belakang.

“Anak-anakku sedang sholat malam,” batinnya lagi.

Usai sholat, mereka tidak segera beranjak. Mereka duduk terpekur. Mulai membaca satu persatu ayat-ayat Alquran, dari mulai awal hingga akhir. Tidak lantang tapi cepat. Dan dibaca lirih sekali. Suara ketiganya seperti mendengung, terdengar menyerupai lebah. Nunuk dapat mendengar suara-suara lirih itu saling bersahut-sahutan.

Melihat anak-anaknya sedang menghafal Alquran, Nunuk langsung teringat dengan Sahid saat menjadi imam di surau. Betapa banyak surat dan ayat Alquran yang dibaca Sahid kala itu. Dibaca dari awal hingga akhir. Sampai khatam. Dan keadaan yang sama ini dilihat Nunuk pada ketiga anaknya.

“Subhanallah. Anak-anakku!” Nunuk berseru dalam hati.

“Apakah aku tidak salah melihat anak-anakku. Apakah dengan cara ini anak-anakku menyadari akan kebutuhan kepada Allah. Apakah dengan ini anak-anakku mengakui kerendahan diri mereka di hadapanNya. Kalian tampak dari luarnya saja seperti kebanyakan anak-anak pada umumnya. Tapi di usia yang masih muda ini, kalian sudah memiliki tanggungjawab pada diri sendiri. Kalian harus bangun dinihari di saat semua orang sedang terlelap. Kalian menjaga sholat malam. Kemudian menghafalkan seluruh ayat-ayat Allah,” Nunuk membatin lagi.

Tanpa sadar, airmata Nunuk meleleh menyaksikan pemandangan indah yang tergelar di hadapannya. Anak-anak Nunuk memiliki adab yang baik. Mereka tak lagi meminta kepada Allah sebab mereka telah menjadikan Allah sebagai kebutuhan hidupnya. Segala hidup mereka hanya disandarkan pada Allah semata, dan karena terlalu sibuk dengan ayat-ayatNya, sehingga tidak sempat untuk memohon kepadaNya.

Nunuk melihat anak-anaknya sedang menyampaikan hidayah Allah. Apa yang disampaikan oleh mereka bisa jadi karena luapan perasaan yang melimpah di dalam hati, atau itu sebagai pemberi petunjuk sebagai seorang murid. Yang pertama adalah keadaan para salik (penempuh jalan), sedangkan yang kedua adalah keadaan pembimbing spiritual yang telah sangat matang dalam ilmu hakikat.

Nunuk tahu bahwa dirinya tidak sabar untuk mengenal Allah, tapi Allah terus-terusan memperlihatkan kepadanya apa yang berasal dariNya. Dan itu dilihatnya pada orang-orang terkasihnya.

“Allah Maha Mengetahui tentang kemalasan hambaNya dalam berhubungan denganNya, sehingga Dia menjadikan ketaatan kepadaNya sebagai kewajiban mereka. Lalu Allah menggiring mereka kepada ketaatan dengan rantai kewajiban. Rabbmu kagum dengan orang-orang yang digiring ke surga dengan menggunakan rantai tersebut. Maha Suci Allah,” ucap Nunuk.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...