Bahu Laweyan #58
Pesan Mimpi
Oleh: Noviyanto Aji
Nunuk tiba-tiba berada di tengah hutan. Suasananya begitu sunyi. Hening. Tidak mencekam. Tiada terdengar suara binatang. Nunuk teringat pertemuannya pertama kali dengan Sahid. Saat sang suami tiba di gubuknya di tengah hutan di bawah kaki gunung Penanggungan, seketika binatang seisi hutan berhenti bersuara. Persis saat ini.
Sayangnya, Nunuk tidak tahu kini sedang berada di mana. Hutan itu sama sekali tidak dikenalnya. Begitu asing. Mana arah Timur, Barat Selatan, Utara, tak tahu. Dia celingukan ke sana kemari dan tidak mendapati seorang pun.
“Aku sedang di mana sekarang?” Hatinya berkecamuk.
Nunuk mendongakkan kepala ke atas. Hari masih siang. Hanya saja, karena tingginya pepohonan berikut cabang-cabangnya yang besar dan tidak beraturan, membuat cahaya matahari tidak tembus. Sehingga hutan jadi nampak gelap.
Nunuk berjalan perlahan. Cuma menggunakan instingnya agar dapat keluar dari belantara hutan. Akar-akar yang merintangi jalan membuat Nunuk mengalami kesulitan. Belum lagi dia harus jatuh bangun karena licinnya tanah yang dipijak. Namun Nunuk tetaplah Nunuk. Dengan kesabarannya, semua rintangan berhasil dilalui.
Selama hampir 30 menit Nunuk berjalan menembus belantara hutan. Selama itu, dia masih belum mendapati suara binatang-binatang. Sebaliknya, Nunuk malah mendengar suara debur ombak.
“Aneh, di tengah hutan ini ada suara ombak,” batinnya.
Kupingnya dibuka lebar-lebar. Sementara langkah kakinya terus bergerak ke arah suara ombak. Makin penasaran, Nunuk mempercepat langkahnya. Makin mendekati suara itu, langkah kakinya terhenti. Sebab tanah yang dipijak berubah. Tidak keras melainkan lunak. Itu tanah berpasir. Dan pasirnya sangat halus. Warnanya putih. Sejenak Nunuk memanjakan kakinya dan bermain-main dengan pasir. Menenggelamkan kakinya ke pasir lalu menyepak-nyepaknya seperti anak kecil.
Nunuk tersenyum. Kemudian berjalan lagi dan tibalah di tepi pantai.
Benar dugaannya, itu suara pantai. Keindahannya sulit digambarkan. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan laut yang begitu luas, perbukitan, dan pepohonan hijau.
“Halo,” Nunuk bersuara lantang. Berharap ada orang mendengar.
“Halo, apakah ada orang di sini,” diulangi lagi.
Tak ada tanda-tanda adanya manusia. Nunuk kemudian berlari ke sana kemari. Mungkin suaranya terdengar kurang jelas karena kalah dengan suara ombak pantai. Lalu berteriak lagi.
“Halo, Assalamualaikum,” teriak Nunuk sekencang-kencangnya.
Belum ada jawaban. Kini Nunuk mulai sadar dirinya berada di tengah-tengah pulau antah berantah.
Hatinya merasa tidak nyaman. Dia mulai merasakan sebuah kehampaan. Ada kepahitan hidup, tajam dan terarah.
Perempuan bahu laweyan itu berusaha untuk mencari jalan keluar. Dia berpikir keras, mengembalikan ingatannya. Ya, Nunuk ingat, bukankah dia saat itu sedang berada di kasur yang empuk bersama Dewi Sartika. Lalu mengapa sekarang dirinya tiba-tiba berada hutan dan pantai?
“Apakah ruhku sedang melakukan perjalanan? Apakah aku sudah mati?” Nunuk bertanya pada diri sendiri.
Usahanya untuk mencari jawaban sia-sia. Dia mau memprotes, mengadu, mengutuk, mengadili, tapi tidak tahu pada siapa. Pasalnya, Nunuk sendiri tidak tahu sedang berada di mana. Dan lagi, dia sendirian berada di tempat itu.
Nunuk terdiam. Matanya diarahkan pada hamparan laut nun jauh di sana. Tanpa sadar air matanya jatuh menetes. Lalu terjatuhlah dia. Dilesatkan dengan lemas pantatnya di atas pasir yang empuk dan mulai menghitung-hitung penderitaan.
“Apa salahku? Aku sedang berada di mana? Siapa yang membawaku sampai ke sini? Apa maksud dari semua ini?”
Terpekur Nunuk seorang diri. Pikirannya kacau. Tidak menentu. Berkali-kali dia mengusap airmatanya yang jatuh ke pipi. Sedu sedan. Tangisnya seperti ditekan. Lalu saking lemasnya, dia mengikhlaskan airmata jatuh karena tidak henti-hentinya bercucuran.
“Mengapa kau, Dik? Apakah hatimu sedang terluka? Apakah aku telah melukai hatimu sampai sepedih itu perasaanmu,” tiba-tiba Nunuk mendengar sebuah suara. Nunuk menoleh ke belakang. Kemudian pandangannya diarahkan ke depan. Ganti ke kanan dan kiri. Ada suara tanpa wujud.
“Siapa yang berbicara?” Tanya Nunuk lantas berdiri.
Suara itu seperti tengah berbicara di hati dan pikiran Nunuk.
“Entah sudah berpuluh atau beratus kalimat telah kuhamburkan untuk menghiburmu, Dik. Dan kau tak juga surut dari kesedihan,” ucap suara tanpa wujud itu.
Antara takut dan penasaran, kali ini Nunuk membalas suara tanpa wujud itu dengan kencang.
“Kau siapa? Tunjukkan wujudmu. Aku tidak takut padamu,” balasnya.
“Ah, kau tetap akan takut. Aku yakin itu.”
“Aku tidak takut. Keluarlah. Tunjukkan wujudmu.”
Percakapan Nunuk dengan suara tanpa wujud makin lama makin jelas. Dan suara itu sangat dekat dengannya. Seperti sedang berhadap-hadapan.
Lalu, suara itu terhenti. Suasana kembali sunyi, kecuali desir ombak yang memekakkan telinga.
“Kau di mana?” Nunuk bertanya lagi, tubuhnya diputar 360 derajat. Berharap kembali mendengar suara tersebut dan benar-benar ada wujudnya.
Tidak ada jawaban. Tiba-tiba dari kejauhan nampak seseorang sedang berjalan mendekat. Seorang pria. Membawa semacam kayu sebagai pegangan. Sepertinya tongkat. Nunuk memandangi sosok itu dengan cemas. Sosoknya semakin mendekat. Mata Nunuk sama sekali tak berkedip. Dia terus memandangi pria tersebut.
“Kau masih tidak mengenalku, Dik!” Suara itu kembali berseru. Sementara Nunuk masih dibuat heran dengan suara itu.
“Sekarang aku mendekatimu. Kau sudah melihatku dari kejauhan.”
“Kau, tidak mungkin kau bisa berbicara dengan jarak sejauh itu denganku,” ucap Nunuk.
“Kenapa tidak. Kalau Allah mengijinkan, segalanya tidak ada yang tidak mungkin,” balasnya.
Hingga 200 meter, sosoknya mulai terlihat tapi belum jelas. Nunuk memperhatikan dengan seksama. Dilihat dari cara berjalan, Nunuk mengenalnya.
“Kau…tidak mungkin ini kau…”
“Benar ini aku, Dik!”
Suara mereka sangat dekat tapi tubuh mereka masih berjauhan.
“Mas Sahid,” teriak Nunuk langsung berlari menyambut suaminya. Dengan sekencang-kencangnya Nunuk menghampiri suaminya.
“Mas Sahid,” teriaknya masih berlari seperti dalam cerita telenovela.
Betapa Nunuk dihinggapi rasa kangen mendarah daging pada Wali Allah tersebut. Airmatanya tumpah tak teraturan. Sesekali tertiup angin. Nunuk tak menghiraukan lagi. Kali ini airmata itu adalah cermin kebahagiaan hatinya. Biarlah tumpah sebanyak-banyaknya dan membasahi seisi jagat asal dia dapat bertemu suaminya.
Saat itulah Nunuk langsung menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Sahid. “Mas Sahid,” peluk Nunuk berurai airmata.
Yang dipeluk tidak menjawab, hanya membalas dengan pelukan.
“Mas Sahid,” peluk Nunuk makin erat.
“Aku kangen kamu, Mas!” Seru Nunuk dengan manja.
“Sama, Dik,” balas Sahid singkat.
Ketika Sahid hendak melepaskan pelukan, Nunuk tidak mau melepaskan dan terus memeluk suaminya.
“Aku tidak mau melepasmu, Mas,” Nunuk menjawab dengan manja sembari menggelengkan kepala.
Sahid tetap berusaha untuk melepas pelukan istrinya.
“Dik, ada yang mau aku sampaikan padamu. Lepaskan dulu,” kata Sahid.
“Tidak mau,” rengek Nunuk.
“Aku mohon, Dik,” lanjut Sahid.
Karena Sahid meminta, Nunuk pun melepas dekapannya. Namun matanya tak henti-hentinya memandang pria yang amat dicintainya itu. Apalagi suaminya itu telah membebaskannya dari cengkraman Gendro Swara Pati.
Setelah dekapan kerinduan terlepas, Sahid lantas menggandeng tangan Nunuk berjalan menyusuri pantai.
“Ketahuilah, Dik. Apa yang terjadi sekarang ini bukan nyata,” kata Sahid.
“Maksud Mas Sahid tidak nyata apa?”
“Yang kau alami sekarang ini adalah mimpi. Tubuhmu masih berada di kasur empuk,” jawab Sahid.
“Aku sedang bermimpi!” Nunuk kaget.
Dijawab anggukan oleh Sahid.
“Tidak mungkin, Mas,” kepala Nunuk menggeleng-geleng seperti tidak percaya ucapan suaminya, “Aku tidak mungkin sedang bermimpi. Kau nyata berdiri di hadapanku. Aku bisa merasakan tubuhmu, Mas!”
“Itu karena Allah, Dik. Aku berdoa kepada Allah agar dipertemukan denganmu dalam mimpi.”
“Mas Sahid juga sedang bermimpi?”
“Aku juga sedang tidur,” sahut Sahid. Wali Allah itu segera menyapukan pandangan ke istrinya dengan cepat, mengangguk, dan menatap serius.
“Bagaimana mungkin dua orang bisa bertemu dalam mimpi. Semua ini seperti nyata bagiku,” balas Nunuk.
Nunuk menelan kekecewaan mendalam. Dia tak lagi mencoba bertanya lebih lanjut. Kembali dilepaskannya perhatian pada Sahid. Suaminya itu begitu bersahaja. Sangat mengesani jiwa-jiwa nelangsa seperti dirinya. Dan sepanjang perjalanannya bertirakat, Nunuk senantiasa melihat wajah Sahid di setiap orang-orang yang ditemuinya. Pandangan Nunuk kini ditebarkan ke mana-mana, pada hamparan laut, pada gunung gemunung dan hutan.
“Kau tidak suka bertemu denganku, Mas!” Nunuk berkata mengiba.
“Aku suka bertemu denganmu, Dik. Aku berharap dapat segera bertemu denganmu. Tapi ada hal-hal yang lebih penting dan harus kita dahulukan.”
Nunuk memandang lagi wajah suaminya. Kali ini dengan mimik serius.
“Apa itu, Mas?”
“Ini soal Gendro Swara Pati.”
Mendengar nama itu disebut, bola mata Nunuk seperti hendak copot dari wadahnya. Nama itu bertahun-tahun mencengkram dirinya. Suami-suaminya mati karena menjadi tumbal keganasan Gendro Swara Pati. Sejak diusir Sahid dari hutan gunung Penanggungan, Nunuk merasa terbebas dari makhluk halus tersebut. Dan kini, Sahid kembali menyinggung nama ‘terlarang’ itu.
“Kenapa Mas menyebut nama itu. Aku sudah melupakannya,” sahut Nunuk.
“Bukan maksudku membuatmu sedih, Dik. Aku terpaksa mengatakan ini padamu. Karena hanya kamu yang dapat melakukannya,” timpal Sahid.
“Aku, Mas. Melakukan apa?”
“Kali ini aku meminta tolong supaya kamu membantu seorang anak perempuan agar terbebas dari Gendro Swara Pati.”
“Apaaa!?”
Mendengar keterkejutan istrinya, Sahid berusaha untuk menenangkan.
“Kau sabar dulu, Dik.”
“Tapi Mas, bagaimana kalau Gendro kembali merasukiku!” Seru Nunuk was-was.
“Dia tidak akan merasukimu, Dik. Bahkan meskipun aku tiada, dia takkan berani menganggumu.”
Perasaan Nunuk lega setelah Sahid mengatakan demikian. Namun Nunuk masih bimbang dengan permintaan suaminya. Bagaimana dia bisa membebaskan seorang anak perempuan dari cengkraman Gendro Swara Pati. Sementara Iksan, mantan suaminya yang alim itu gagal mengusir makhluk jahat tersebut. Hingga membuatnya harus berpisah demi keselamatan ketiga buah hatinya. Selama ini justru Sahid yang mampu melawan Gendro Swara Pati.
“Aku tidak tahu bagaimana cara membebaskan anak perempuan itu dari Gendro Swara Pati, Mas,” kata Nunuk bingung.
“Kau tidak usah bingung, Dik. Serahkan segalanya kepada Allah.”
“Kenapa Mas begitu yakin aku bisa membebaskannya? Bukankah banyak orang alim di luar sana yang bisa menolong anak perempuan tersebut?”
“Memang banyak orang alim tapi pikiran mereka masih diliputi urusan keduniawian. Hati mereka belum jernih. Sedangkan aku melihatmu, kau sudah melepaskan urusan duniawi. Kau kini sedang bermesraan dengan Kekasih. Dengan hatimu yang bersih itu, atas seijin Allah, kau mampu melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang-orang alim itu. Jika hati manusia sudah dibersihkan, tutupnya akan diangkat sehingga dia bisa melihat rahasia-rahasia gaib yang tak bisa dilihatnya,” jawab Sahid.
“Aku hanya orang biasa, Mas. Aku bukan orang berilmu seperti Mas Sahid dan Kyai Sepuh,” ucapnya.
“Cintamu kepada Kekasih merupakan cinta suci yang dikaruniakanNya kepada para hamba yang benar-benar telah suci. Karena Dia Maha Suci, maka mustahil Dia menganugerahkan cinta kepada orang-orang yang masih diliputi syahwat duniawi yang kotor. Hanya orang-orang yang telah mensucikan diri yang terpilih untuk mendapat cintaNya. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyucikan diri.”
“Munajatmu yang ikhlas telah membuka pintu gaib. Allah telah menampakkan sifat-sifat-Nya yang indah sebagai rahmat kepada hambaNya dan seluruh alam semesta. Dengan munajatmu, Allah memasukkan ke dalam batin hamba ilmu-ilmu laduni dan rahasia-rahasia pengetahuan,” imbuh Sahid.
Mendengar ucapan suaminya, Nunuk tak bisa berkata apa-apa lagi. Meski dia sendiri belum yakin dengan yang akan dilakukannya pada Gendro Swara Pati, Nunuk tetap mematuhi suaminya.
“Di mana aku bisa menemukan anak perempuan itu, Mas?” Tanya Nunuk.
“Berjalanlah searah tujuanmu ke Walisanga melintasi jalur Selatan. Lewatlah Pangandaran,” perintah Sahid.
“Apakah anak itu di sana?”
Sahid tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Lalu mengecup kening istrinya.
“Salamku buat Dewi Sartika. Sampaikan terima kasihku karena sudah membantu istri tercintaku,” ucap Sahid kemudian hilang dari pandangan Nunuk.
Bersamaan itu pula Nunuk terbangun dari tidur. Dia mendapati dirinya berada di kamar penginapan. Ternyata benar, dia tadi sedang bermimpi. Mimpi yang aneh, pikirnya. Nunuk tak segera beranjak dari kasur empuk. Matanya masih menerawang langit-langit ruangan.
“Mas Sahid, kau di mana sekarang,” Nunuk berkata lirih sembari menghembuskan nafas panjang.
Di samping ranjang, Nunuk melihat Dewi masih tidur dengan pulasnya. Dilihat jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 2 dinihari. Segera dia bangun dan mengambil air wudhu untuk shalat malam. [bersambung]