Oleh: Jendra Wiswara
Nini Denok dan tamu misteriusnya berbicara blak-blakan walau untuk urusan privasi sekalipun.
Tidak ragu. Tanpa tedeng aling.
Meski jujur saja, sebagai lelaki, si tamu tetap harus menghormatinya. Bahwa, meskipun ia seorang penari, di rumahnya sendiri, ia adalah seorang istri. Ada seorang lelaki yang menjadi dharma baktinya.
“Dulu, waktu pertama kali menjadi seorang penari, apakah Nini Denok pernah pacaran?” Tamu itu bertanya.
Nini Denok tersipu malu. Dengan suara enteng, ia menjawab:
”Ya jelas dong Mase gimana sih. Bahkan, saat awal aku menjadi ledek, sudah banyak laki-laki berbagai umur yang menyukaiku.”
”Di usia Nini yang tergolong muda saat itu, apakah Nini sudah mengenal cinta. Atau, hanya sekadar kenal dengan nafsu saja?”
Pertanyaan ini, tentu terlalu berani. Tapi, biar sajalah. Tidak perlu tahu, seperti apa pandangan ia tentang cinta dan nafsu.
“Terus terang ya Mase, aku juga tidak tahu. Kenapa banyak laki-laki yang suka kepadaku. Kata mereka, aku ini cantik bila sudah memakai baju untuk menari. Apalagi kalau saat itu aku hanya memakai kemben…”
Ia terdiam sebentar. Di tembok pojok ruang, memang ada foto perempuan itu, dengan kemben. Ia berdandan sebagai seorang penari. Ia menari dalam sebuah acara. Sepertinya, acara seremonial.
Memang sangat berbeda, saat melihat ia berpakaian seperti biasa dan saat ia memakai baju ‘’kebesaran’’ penari. Sangat berbeda.
Begitu berdandan sebagai penari, ada aura magis yang keluar. Meski hanya sekadar foto, tapi perempuan itu benar-benar berbeda. Setiap lekuk dan sudut tubuhnya, seperti menebar sesuatu.
Dalam balutan kemben Jawa, Nini Denok terlihat seperti perempuan yang menebar pesona. Kulitnya terlihat putih. Lebih putih daripada saat dia memakai pakaian sehari-hari. Begitu juga bentuk hidung, bentuk mata, alis, bibir, kening.
Semua jadi berbeda. Sangat berbeda.
Belum lagi bagian lain yang sensual.
Dan, terlihat sekali, dalam foto itu, Nini Denok sadar akan setiap lekuk dan sudut tubuhnya. Bahwa, itu adalah ruang yang harus ia tawarkan pada setiap mata yang memandang.
“Bagaimana rasanya menjadi perempuan yang jadi rebutan banyak lelaki?’’
“Terus terang, ada rasa takutnya Mase. Dulu, selain banyak lelaki yang berusaha merebut, juga ada orang yang tega memperkosaku,’’ raut mukanya semakin sedih.
Ia meneruskan, “dia seorang tuan tanah di daerah sini. Orang itu pula yang telah merenggut keperawananku,’’ kalimatnya pelan, tapi terdengar begitu jelas.
Ia mengatupkan giginya. Mulutnya terkunci.
Perempuan yang menebar pesona itu, ternyata punya kenangan pedih. Kehormatannya direnggut paksa. Kewanitaannya, terhempas dalam sebuah tragedi yang menyedihkan.
Ah, penari Gunung Wilis! [bersambung]