Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Denok Deblong #12

Penari Itu Takdir

Oleh: Jendra Wiswara

Nini Denok tak mau menyebutkan siapa nama pejabat itu. Ia hanya bilang, pejabat itu orangnya begitu pendiam. Sama sekali tidak kelihatan kalau dia sebenarnya tukang kawin.

Pada waktu itu, penjabat teras itu sudah mempunyai satu istri resmi, dan satu lagi istri simpanan. Nini Denok sudah tahu betul sepak terjang bapak pejabat dalam urusan istri simpanan. Dan, Nini Denok menerima saja pinangan pejabat teras tadi. Selain demi uang, pejabat itu juga orang yang berpengaruh di daerah situ. 

“Sepertinya, suami aku ke ini, tidak mau aku menjadi seorang penari. Padahal, waktu pertama kali kenal dengannya, ya, di pegelaran hajatan. Ya, mungkin dia ingin memiliki diriku seutuhnya. Karena dia sendiri tahu, bagaimana kehidupan seorang penari bila sudah berada di pertunjukan, selalu jadi perhatian,” katanya.

“Nini berhenti jadi penari?’’ 

“Ya, yang namanya istri, Mase, walau tidak secara resmi, aku menurut saja. Selain itu, karena suamiku yang ketiga ini orangnya suka memberi. Segala kebutuhan aku, semua dia yang mencukupi. Bahkan sampai berlebih. Kemana-mana bila mengajak pergi, aku selalu pakai mobil pribadi. Betul-betul dengan suami yang ketiga ini, aku bagai hidup mewah. Tidak pernah sedikitpun aku merasa kekurangan.” Matanya berbinar-binar.

Sejak saat itu, Nini Denok mengubah diri. Mulai cara berdandan, makan, sampai perawatan tubuh. Bukan hal yang sulit buatnya menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. 

Ia juga mencoba melupakan dunianya.

Ia merasa, ia sekarang sudah mempunyai suami yang bisa memenuhi segala kebutuhannya. Dan sebenarnya, secara pribadi ia juga ingin meninggalkan dunia tari. 

Rupanya, Nini Denok mau mejadi penari selain karena keturunan, juga karena hal itu sudah mendarah daging.

Menjadi istri ketiga, Nini Denok bisa dibulang sukses. Oleh suaminya, Nini Denok dibelikan rumah. Lokasinya di sebuah tempat terpencil dan jauh dari tempat kerja suaminya. Nini Denok dan keluarganya disuruh menempati rumah itu. 

Maklum, suaminya ini takut ketahuan istri sahnya. Dan juga akan membahayakan reputasinya sebagai seorang penjabat penting.

“Hidup dengan suami pejabat, aku menemukan kebahagiaan. Sayang, itu tidak berjalan lama, Mase,” kalimatnya pelan dan tersendat. 

“Kenapa?”

“Malu aku sebenarnya untuk menceritakan semua ini,” ia terdiam sebentar. 

“Ternyata, semua harta benda yang diberikan oleh suamiku yang ketiga ini, hasil dari korupsi,” kali ini kalimatnya tenang dan mantap.

Perempuan ini terdiam lagi. Matanya menatap sayu. Kepalanya setengan menunuduk. Sepertinya ia benar-benar marasa malu saat itu. 

***

Nasib perempuan ini seperti roda. Di atas dan di bawah. Suatu saat disanjung, di saat lain dihujat dan terjerumus. 

Kini, wajah Nini Denok berusaha tenang. Ia melanjutkan ceritanya. Katanya, suami ketiganya itu terlibat kasus korupsi uang proyek yang dia pegang.

Maka, sebagai imbas dari perbuatannya itu, semua harta benda milik suaminya disita. Tidak ketinggalan, harta benda yang pernah Nini Denok miliki. Semua ludes.

Setelah menjalani beberapa kali persidangan, akhirnya suami Nini Denok dijatuhi hukuman penjara lima tahun.

Nini Denok tak punya pilihan. Ia akhirnya kembali ke rumahnya yang dulu. Rumah tua berdinding anyaman bambu, berdiri di tepi hutan lebat, namun masih menjanjikan kedamaian. 

Nini Denok kembali ke dunianya yang lama. Kembali menjadi penari.

Pelan tapi pasti, Nini Denok mulai melupakan pernah menjadi ibu pejabat. 

Dunia penari makin menenggelamkan Nini Denok. Dengan usianya yang matang, dan pengalaman berhubungan dengan banyak lelaki, membuat Nini Denok disegani.

“Nini, apa sampeyan akan terus menjadi penari?” 

Ia terdiam. Agak lama.

Sepertinya, pertanyaan ini adalah awal dan akhir dari perjalanan penari Gunung Wilis yang satu ini. 

Aku manusia biasa, Mase. Aku punya perasaan, hati dan pikiran. Menari sudah tentu menjadi bagian dari jiwaku. Kerlap kerlip kehidupan manusia mungkin indahnya hanya di situ-situ saja. Perjalanan hidup manusia itu sudah digariskan oleh Gusti yang di atas sana,” ia melanjutkan, “mungkin, hidup menjadi penari sudah menjadi takdirku, Mase. Walau begitu aku tetap berharap, bisa mengajarkan duniaku ini pada anak-anak di sekitar sini. Sehingga ada pewarisnya.

Hari semakin larut. Sudah tidak ada kalimat lagi untuk menceritakan tentang kehidupan penari yang satu ini. Sudah terlalu capek. Suara kokok ayam pun sudah terdengar. Di luar, bulan masih purnama. Dan, ia pun harus bertahan agar tidak tidur sampai pagi.

Tapi, matanya sudah mengantuk sekali. Kelihatan sekali ia sudah lelah. Sudah tak bisa menjelaskan lagi pernak-pernik kehidupan penari. 

Ya, inilah Nini Denok, penari dari Gunung Wilis.

Malam itu, tamu misterius dan Nini saling berpandangan. Bisa dilihat dari tatapan mata keduanya. 

Menjadi penari atau tidak, bukan masalah. Yang penting hatinya. Yang penting apa yang bisa diberikan buat Tuhannya.

Mata tamu misterius menjadi tajam dan merah. Ia pamitan pulang. Keluar warung, melangkah keluar. Tanpa salam.

“Lho, Mase, mau ke mana malam-malam begini. Apa tidak tidur di sini saja atau melekan bareng aku?” Nini Denok mencegah tamunya.

Nini Denok mengingatkan pada tamunya: “Ini kan malam bulan purnama. Orang-orang di sini percaya, ini malam penuh dengan mahluk ghaib. Orang-orang menganganggap bahwa malam ini malam untuk membangkitkan aura. Kok sampeyan malah mau pergi?

Tamu misterius itu diam. Dan tiba-tiba sosoknya menghilang dari pandangan mata. Hilang begitu saja. Raib. Sirna. Mukso. Lalu, keluarlah kabut warna putih.

Nini Denok kaget. Ia terheran-heran. Ia keluar dari warung yang dipakainya sebagai tempat tinggal. Ia celingukan ke sana kemari. Tidak menemukan sang tamu. Ke mana perginya? 

Lalu terdengar suara:

“Aku juga ingin menemanimu, Nini. Tapi, aku harus pergi. Kamu istirahat saja, tidak perlu melekan sampai pagi. Aku sudah tahu apa yang kamu rasakan. Tidurlah!” Terdengar suara dari tamu tadi, tapi sosoknya tidak ada. Hanya, suara.

Nini Denok cuma tersenyum. Kali ini, sulit bagi semua orang mengartikan senyuman terakhir dari penari yang satu ini. Sebab tamu yang ditemui tadi bisa jadi penunggu Gunung Wilis.[tamat]

Catatan: Naskah ini telah mengalami perubahan di judul maupun beberapa isinya. Terima kasih buat kritikan dan masukan dari teman-teman pembaca. Salam sehat selalu.

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...