Di Balik Tugu Pahlawan yang Kasat Mata
Doel Arnowo, walikota Surabaya pasca kemerdekaan yang semula berfikir tentang pembangunan Tugu Pahlawan di lahan bekas gedung Raad van Justitie (era Belanda) yang kemudian di era pendudukan Jepang dipakai sebagai kantor polisi Kempetai.
REKAYOREK.ID Tugu Pahlawan tidak sekedar simbol yang perlu dimiliki oleh arek arek Surabaya sebagai pengingat peristiwa heroik dan riil yang terjadi pada masa lalu dalam upaya mempertahankan kemerdekaan pada November 1945. Tugu Pahlawan juga sebagai dasar semangat arek arek Surabaya dalam mengisi kemerdekaan untuk meraih cita-cita sebagai mana tersebut dalam UUD 1945.
Tugu Pahlawan tidak hanya memiliki nilai lokal, yang berlaku untuk Surabaya saja. Tapi tugu ini memiliki nilai yang bersifat nasional, baik sebagai ekspresi peristiwa masa lalu, juga sebagai sifat dan semangat yang harus dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam menatap masa depan. Karenanya, Tugu Pahlawan digunakan sebagai simbol hari Pahlawan yang diperingati secara nasional.
Di balik Tugu Pahlawan, yang kasat mata, terdapat nilai nilai Kepahlawanan dan Kejuangan yang tidak kasat mata dan bersifat nasional yang layak diwarisi oleh generasi sekarang dan mendatang.
Kepahlawanan: Nilai Kepahlawanan adalah sikap dan perilaku yang dilandasi oleh sifat-sifat berani, jujur, pantang menyerah, dan tanpa pamrih dalam melaksanakan perjuangan membela tanah air baik untuk memperjuangkan maupun menegakkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Direktorat Kepahlawanan, Kemensos RI).
Kejuangan: Berasal dari kata dasar Juang yang berarti “memperebutkan sesuatu dengan mengadu tenaga dan bahkan mengorbankan jiwa dan raga untuk mencapai kemerdekaan”.
Konsep Soekarno
Adalah Doel Arnowo, walikota Surabaya pasca kemerdekaan yang semula berfikir tentang pembangunan Tugu Pahlawan di lahan bekas gedung Raad van Justitie (era Belanda) yang kemudian di era pendudukan Jepang dipakai sebagai kantor polisi Kempetai.
Di era Perang Kemerdekaan, gedung ini menjadi sasaran pejuang pejuang Surabaya dan tidak sedikit pejuang pejuang yang tewas di tempat ini. Gedung berhasil dibakar habis hingga roboh, kecuali tinggal pilar pilar depan.
Menurut Doel Arnowo, yang dikutip dari Sarkawi Husein dalam bukunya “Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960)”. Sarkawi Husein: Jakarta Lipi Press 2010, bahwa tidak mungkin membangun kembali gedung itu karena membutuhkan banyak biaya, maka digagaslah pembangunan tugu Pahlawan untuk menghormati jasa jasa para pahlawan yang gugur dalam pertempuran Surabaya.
“Oleh karena di tempat itu dulu pernah ada pertempuran yang hebat antara pemuda pemuda kita dengan Jepang, maka di tempat itu lalu saya rencanakan untuk dibuat tugu Pahlawan” (Bargowo, 1974: 31)
Selanjutnya Doel Arnowo membentuk tim dan dari tim dihasilkan beberapa gambar design tugu Pahlawan. Gambar gambar ini diajukan kepada Presiden Soekarno, tetapi tidak satu pun gambar yang disetujui.
Maka Soekarno, yang seorang insinyur, membuat design gambar yang berbentuk paku dalam posisi terbalik. Ujung paku menghadap ke atas, sementara kepala paku sebagai dasarnya.
Atas dasar gambar itu, maka pada 10 November 1951 dilakukanlah peletakan baru pertama oleh Presiden Soekarno sebagai tanda dimulainya secara resmi pembangunan Monumen Tugu Pahlawan. Selanjutnya pembangunannya diserahkan kepada Walikota Besar Surabaya, Doel Arnowo, yang dilanjutkan oleh Walikota Moestadjab Soemowidigdo, yang bertindak sebagai ketua panitia. Diantara salah satu anggota kepanitiaan adalah R. Soeratmoko (arsitek), yang kala itu menjabat sebagai Kepala Jawatan Gedung Gedung Surabaya.
Selanjutnya dalam proses pembangunan, R. Soeratmoko bertindak sebagai ketua proyek pembangunan dan menunjuk R. Sarodja B.A.E (ahli tehnik sipil) sebagai pelaksana sekaligus asisten pelaksana. Berikut Time line pembangunan. Pada 10 November 1951 peletakan baru pertama oleh Soekarno. 10 November 1952 peresmian tugu Pahlawan oleh Presiden RI, Soekarno.
Simbol dan Makna
Tugu Pahlawan tidak hanya sebagai pengingat masa lalu, tetapi sekaligus sebagai semangat untuk meraih masa depan. Di balik tugu yang kasat mata dan makna yang tak nampak menjadi perpaduan yang menjadi spirit kota dalam bekerja dan berkarya meraih cita cita tanpa meninggalkan masa lalunya.
Secara fisik dari Tugu Pahlawan mengandung makna dan cita cita. Tugu yang berbentuk paku terbalik ini pada bagian badannya terdapat lekuk yang berjumlah 10 sebagai perlambang tanggal 10. Sedangkan badan tugu ini terdiri dari susunan panel panel yang berjumlah 11 sebagai perlambang bulan November (11).
Sementara pada dasar tugu terdapat Relief Sabuk Api Perjuangan dimana relief nya menggambarkan Trisula, Cakra, Stamba dan Padmamula yang terbingkai dalam formasi gunungan gunungan. Formasi sabuk gunungan yang terhiasi dengan gambar Trisula, cakra, stamba dan Padmamula ini adalah simbolisasi Api Perjuangan.
Padma mula berarti tempat benih sebagai asal mula manusia (sperma), yang melahirkan sumber daya, kekuatan dan keberanian. Kemudian Stamba yang merupakan alat penyalur kekuatan (alat vital), yang selanjutnya melahirkan pusaka pusaka. Adalah Cakra dan Trisula sebagai perwujudan pusaka. Cakra adalah pusaka Krisna. Trisula menjadi pusaka Arjuna.
Yang menarik ketika pembangunan, yang sedianya tinggi monumen 45 meter, tapi karena andang untuk pembangunan hanya 40 meter, maka ukuran disesuaikan dengan alat yang tersedia. Maka diubahlah satuan ukuran dari 45 meter menjadi ukuran 45 yards atau 41 meter. Maka tinggi monumen dalam ukuran 45 yards. Monumen selesai dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1952.
Menjadi lambang kota
Sejak 10 November 1952, kota Surabaya memiliki icon baru. Yaitu Tugu Pahlawan. Karena Tugu Pahlawan ini tidak hanya tetenger masa lalu, tapi juga merupakan semangat untuk menatap masa depan, maka cukup beralasan ketika gambar tugu Pahlawan disematkan pada logo kota Surabaya.
Karenanya pada 1953, Ketua DPRDS Kota Besar Surabaya, Soeprapto, mengusulkan perubahan logo kota dari yang mulanya merupakan peninggalan lama (1906), menjadi yang baru dengan gambar Tugu Pahlawan di dalamnya. Proses perubahan memakan waktu 3 tahun hingga pada akhirnya di tetapkan oleh DPRDS KBS dengan Penetapan no. 34 tahun 1956.
Kala itu Soeprapto menghendaki agar lambang kota disesuaikan dengan keadaan kota, misalnya menambahkan gambar tugu pahlawan pada lambang yang baru.
Pada pasal 3, DPRDS KBS no. 34 tahun 1956 berbunyi: bahwa Lambang Kota Surabaya berupa perisai segi enam yang distilir dan berwarna biru. Di tengah tengah perisai terdapat lukisan tugu pahlawan berwarna perak (putih). Di belakang lukisan tugu pahlawan terdapat seekor hiu berwarna emas (kuning) di sebelah atas dan di sebelah bawah seekor buaya berwarna emas (kuning) pula, keduanya dalam sikap saling menyerang.
Sayangnya perubahan itu menghilangkan semangat “Sura ing Baya”, yang memiliki arti “Berani Menghadapi Bahaya”. Semangat ini adalah spirit kearifan lokal (local wisdom) yang mencerminkan sifat orang orang Surabaya sejak dulu (era Majapahit).
Meski dalam era kolonialisasi, memangat lokal ini tetap tersematkan pada lambang kota Surabaya seiring dengan ditetapkannya Surabaya sebagai kota otonom pada 1 April 1906. Satu satunya bukti otentik yang masih ada dari peninggalan kolonial yaitu emblem kota yang masih dipasang di SMA Trimurti Surabaya, yang dulunya adalah Museum Kota Surabaya (Stedelijk Museum van Soerabaia).
“Sura ing Baya”, berani menghadapi Bahaya, adalah semangat yang mendorong arek arek Surabaya berani mati dalam mempertahankan kedaulatan pada November 1945.
Kesimpulan
Tugu Pahlawan mengandung nilai nilai Kepahlawanan dan Kejuangan yang sepantasnya menjadi dasar beraksi, berkreasi, berkarya dan bekerja untuk meraih cita cita. Karenanya nilai nilai kepahlawanan dan kejuangan ini pantas diwariskan kepada generasi sekarang dan mendatang. Nilai kejuangan dan kepahlawanan adalah karakter bangsa, karakter orang orang Surabaya.@nanang