Kampung Dukuh, Adat Dilanggar Bisa Gila
Mereka memilih jalan hidup yang misterius, sunyi dan terpencil. Di sana, ada sebuah mata air keramat yang tidak pernah habis. Konon air itu berasal dari air Zamzam yang dibawa leluhurnya Syekh Abdul Jalil dari Mekkah.
REKAYOREK.ID Masyarakat Kecamatan Pemeungpeuk di ujung pesisir selatan Kabupaten Garut, Jawa Barat, tampak sudah menikmati segala fasilitas seperti yang tersedia di kota-kota besar pada umumnya.
Tampak keramaian lalu lalangnya kendaraan bermotor roda empat maupun dua.
Ada sederetan rumah dan toko-toko yang menyediakan segala macam kebutuhan hidup. Di setiap rumah tampak pula antena televisi, bahkan parabola.
Tetapi di Kampung Dukuh, Kecamatan Cikelet yang jaraknya hanya sekitar 10 Km, terlihat suasana yang sangat kontras. Empat puluh buah rumah yang ada di pedukuhan ini rata-rata terbuat dari kayu, dinding bilik bambu tanpa kapur, lantai bambu, serta atap bahan daun aren atau ijuk. Jalan setapak yang menghubungan rumah satu dengan lainnya terbuat dari susunan batu yang terkesan alami, tidak tertata rapi.
Pada siang hari, perkampungan ini praktis hanya menyisakan pemandangan kehidupan anak-anak yang berlarian dalam permainan sederhana, sementara orangtua mereka berangkat ke huma atau ladang untuk menanam padi gogo, jagung atau kacang tanah, serta tanaman pangan lainnya. Ladang tempat tempat mereka bercocok tanam letaknya memang sedikit agak di luar kampung.
Pada malam hari suasana terasa makin sunyi-senyap. Rumah-rumah tampak tertutup rapat dan hanya diterangi sebuah lampu teplok.
Di pedukuhan ini, satu-satunya rumah panggung yang malam itu diwarnai kehidupan adalah rumah Pak Kuncen, pria yang oleh masyarakat Dukuh biasa disapa Pak Uluk yang berusia 57 tahun.
Malam itu, Pak Uluk mengenakan pakaian sehari-harinya berupa kain sarung, baju kampret warna putih, serta ikat kepala yang terbuat dari kain berwarna hitam.
Sambil menghisap sebatang kretek dan sesekali menyeruput kopi yang disajikan dalam gelas yang terbuat dari tempurung kelapa, Pak Uluk menghadapi tamu-tamunya yakni dua orang mahasiswa antropologi UNPAD yang sedang menyusun skripsi, seorang santri asal Mester (Jakarta) yang sedang tetirah atau menenangkan pikiran, serta beberapa pria Pepuhu (pemuka) masyarakat yang biasa membantu Pak Uluk.
Menurut Pak Uluk, sikap warga bersikukuh menerapkan aturan adat sehingga menimbulkan kesan terisolasi dari pergaulan luar disebabkan taat pada wasiat leluhur. Selain itu, dia juga mendengar suara warganya yang memilih untuk tetap hidup sebagaimana pendahulunya.
“Kami hidup dalam wilayah tanah larangan. Para leluhur menganjurkan agar kami hidup sederhana, tidak berlebihan. Misalnya, kami di sini sudah merasa cukup dengan lampu teplok untuk penerangan. Lalu kenapa harus pasang listrik?” Tandasnya.
Dengan adanya listrik, kata Pak Uluk, masyarakat akan tergiur untuk memiliki radio, televisi, handphone, serta peralatan elektronik lain yang akan merusak suasana kekhusyukan masyarakat kampung Dukuh dalam beribadah.
“Rumah-rumah penduduk dibangun dalam bentuk dan ukuran yang hampir sama, yaitu agar kami tidak saling iri hati. Para leluhur menganjurkan kami menebang kayu untuk dibuat tiang, palang penyangga, serta peralatan lain, tapi tidak untuk diinjak-injak. Itu sebabnya kebanyakan lantai panggung rumah kami terbuat dari bambu,” tutur Pak Uluk.
Bagaimana kalau larangan dilanggar? Dikatakannya tidak pernah ada larangan, lisan apalagi tertulis. Jadi tidak ada sanksinya. Tapi masyarakat di sini memiliki kepercayaan dan keyakinan sendiri untuk tidak melanggarnya.
Oman (53) warga setempat mengatakan dirinya pernah coba-coba membandel alias tidak taat adat leluhur. Dia bercerita waktu itu lantai rumah seluruhnya dia bikin dari kayu.
“Ya, kayu bagus yang saya tebang dan ambil dari hutan. Apa yang terjadi? Saya mengalami sakit ingatan selama 40 hari. Waktu itu saya benar-benar tidak sadar diri, jiga nu gelo (seperti orang gila),” ucapnya.
Setelah rumah dibongkar, lanjutnya, dia baru sembuh dari penyakit lupa ingatan tersebut. Semenjak itu dia tidak pernah berani lagi macam-macam. Dia ikuti saja aturan adat walau sekecil apapun.
“Toh saya, keluarga dan masyarakat lainnya tetap hidup bahagia, aman dan tenteram,” cetusnya.
Malam itu, Pak Uluk kembali menuturkan, sebenarnya oleh pihak Pemda masyarakatnya pernah ditawari dipasangi listrik, jalan aspal, serta fasilitas seperti bangunan sekolah, balai pertemuan, dan masjid. Tapi warga di sini menolaknya dengan cara yang baik dan hormat.
“Ya saya ikuti saja keinginan dan nurani masyarakat,” sergahnya.
Dari sejumlah fasilitas yang ditawarkan itu, masyarakat hanya setuju bangunan Balai Pertemuan, itu pun setelah lewat kesepakatan bahwa seluruh material terbuat dari kayu, bambu, dan atap paling mewah ijuk.
Dari hasil pantauan, meski masyarakat Kampung Dukuh tak punya sekolah, banyak warga yang bersikukuh menyekolahkan anak mereka di luar kampung.
Jaraknya cukup jauh, yakni sekitar 3 Km. Jalannya pun naik turun bukit. Untuk anak kelas 1 dan 2 SD, jarak itu jelas terlalu jauh. Jadinya mereka sering bolos. Dalam seminggu paling banter mereka sekolah hanya 3-4 hari.
Pernah ada gagasan agar di pedukuhan itu dibangun sekolah tambahan atau kelas jauh, khusus untuk siswa kelas 1 dan 2. Tapi hingga saat ini belum tercapai kesepakatan mengenai bentuknya.
“Secara pribadi saya menerima segala masukan dan bantuan dari luar. Tapi saya mohon semua pemberian itu tidak mengusik keyakinan kami. Bukankah pemerintah saat ini sedang mendengung-dengungkan anjuran untuk terus melestarikan alam?” Tegasnya.
Pak Uluk yang sebenarnya bernama asli Lukmanul Hakim ini melakukan tugasnya selaku kuncen sejak tahun 1994, meneruskan tugas ayahnya, Ajegan Bani, yang wafat pada tahun sama.
Semenjak dikukuhkan menjadi kuncen, Pak Uluk mengaku tak bisa pergi ke mana-mana. Sehari-hari ia harus berada di tempat dan siap melayani setiap tamu yang datang.
Untunglah, semasa muda dia sempat mengembara dan belajar agama di beberapa pesantren, sehingga dia memiliki kawasan yang cukup baik. Pak Uluk pun cukup fasih Bahasa Indonesia. Sedang ayahnya, Ajegan Bani tak menguasainya. Kalau ada tamu dari luar yang datang terpaksa harus menggunakan penerjemah.
Pada setiap hari Jum’at dan Sabtu, Kampung Dukuh memang selalu kedatangan banyak tamu, yaitu untuk jaroh (ziarah). Mereka yang jaroh datang dari Garut, Bandung, Semarang, Surabaya, Jakarta, Lampung, Palembang, bahkan dari Malaysia, Jepang dan Eropa.
Setiap pekan sedikitnya 50 orang datang berkunjung ke sana. Mereka melakukan ziarah ke makam Syekh Abdul Jalil yang memang berada di lokasi Tanah Terlarang.
Masyarakat setempat menyakini Syekh Abdul Jalil tidak hanya sebagai leluhur dan pendiri Kampung Dukuh tiga abad silam, tetapi juga sebagai aulia, yakni tokoh yang diutus untuk penyebaran agama Islam di Tanah Jawa.
Menurut legenda, tatkala diutus pergi ke Tanah Jawa, Syekh Abdul Jalil membawa sekantung air Zamzam untuk bekal selama di perjalanan. Atas kehendak Allah air tersebut tidak pernah habis kendati diminum selama berbulan-bulan.
Syekh Abdul Jalil pertama kali datang ke Mataram. Oleh penguasa Mataram dia dikirim ke Kerajaan Sumedang Larang yang kala itu dipimpin oleh Prabu Ranggagempol.
Dalam catatan sejarah, Prabu Ranggagempol berkuasa memimpin Sumedang Larang pada pertengahan abad ke-17. Oleh raja Sumedang Larang, Syekh Abdul Jalil diberi keleluasaan untuk menentukan sendiri daerah di mana dirinya akan menyiarkan agama Islam.
Syekh Abdul Jalil memilih daerah pesisir selatan Jawa Barat. Sang penyebar agama Islam asal Arab ini kemudian memilih hutan diperbukitan Cikelet itu sebagai tempat tinggal sekaligus persembunyiannya dari kejaran tentara Belanda pada saat itu.
Konon, Syekh Abdul Jalil menuangkan air Zamzam bekalnya disana. Dari tanah di mana air Zamzam dituangkan itu, memancar mata air baru. Hingga sekarang, masyarakat Kampung Dukuh berkeyakinan bahwa air yang memancar dari sana merupakan terusan mata air dari Mekah. Mata air itu sendiri terletak dekat makam Syekh Abdul Jalil.
Air itu kini dialirkan ke sebuah pemandian melalui pipa bambu. Kepada setiap pengunjung yang akan berziarah dianjurkan terlebih dahulu untuk mandi di pancuran. Namun lebih afdol lagi jika mereka mandi telanjang, agar tak ada bagian kotor sekecil apapun yang tidak terbilas air.
Namun demikian, jangan coba-boba membayangkan ada aroma mesum atau sesuatu yang berbau maksiat di sana. Ritual mandi suci itu dilakukan pada malam hari, selepas ba’da Isya. Untuk para pengunjung wanita disediakan waktu serta pengawalan yang khusus.
Namun, belakangan ini ziarah sering disalah-artikan. “Mereka berziarah dengan berharap mendapatkan barokah (berkah),” kata Agus (35 tahun), salah seorang warga Kampung Dukuh.
“Kebanyakan orang kota yang sedang dililit masalah hutang, usaha kurang lancar, masalah penyakit gaib, dan sulit cari kerja. Ada juga yang memandikan keris.”
Apakah setelah mandi air pancuran dan berziarah kesulitan mereka bisa teratasi?
“Wallaua’lam,” tegas Agus dengan tersenyum.
“Kalau kita sedang menghadapi kemelut atau kesulitan, satu-satunya jalan adalah meminta pertolongan Allah SWT. Bila mereka datang ke sini dan Allah SWT memang mengabulkan niat baik dan permintaan mereka, ya bisa saja itu terjadi,” pungkas Agus.
Dua Kasta
Antara kota kecamatan Cikelet Kampung Dukuh berjarak sekitar 8 kilometer. Keduanya dihubungkan oleh jalan lebar selebar 2 meter. Jalan itu konon pernah diaspal, tetapi sekarang sisanya pun sudah tak tampak lagi.
Yang ada hanyalah hamparan baru-batu koral seukuran kepalan tangan orang dewasa, sehingga membuat jalan menjadi terjal.
Namun demikian, jalan itu bisa dilalui kendaraan roda dua (ojek) serta minibus yang oleh penduduk setempat disebut Robur. Robur itu melintas sekali dalam sehari. Dengan mulai masuknya kendaraan ini, perubahan pun mulai sedikit mewarnai kehidupan Kampung Dukuh.
Konon rumah yang bertahan di Kampung Dukuh hanya ada sekitar 39 suhunan (atap), dengan 39 kepala keluarga. Sekarang rumah-rumah baru bertambah dan jumlah sudah mencapai 100 suhunan, dengan sekitar 120 orang kepala keluarga. Tapi rumah-rumah baru itu dibangun diluar Tanah Larangan. Maka sekarang, masyarakat seperti dipilah menjadi dua kasta; Kampung Dukuh Luar dan Kampung Dukuh Dalam.
Dahulu, masyarakat hanya mengenakan pakaian sederhana dengan dominasi warna hitam atau putih dan kepala diikat, seperti halnya warga Baduy di Pandeglang, Banten.
Sekarang anak-anak mudanya sudah mengenakan jeans dan T-shirt dengan tulisan bahasa Inggris.
Dahulu alat-alat rumah tangga terbuat dari bahan-bahan yang bisa diperoleh di kampung, seperti tempurung kelapa, tanah, atau bambu. Sekarang sebagian mereka sudah menggunakan gelas, piring beling, peralatan plastik, juga thermos.
Dahulu hasil bumi mereka dimakan untuk kepentingan mereka sendiri. Sedikit sisanya dijual ke pasar untuk dibelikan kebutuhan dapur seperti garam, ikan asin, atau tembakau. Kini hasil pertanian mereka langsung dijual pada tengkulak. Untuk transaksi itu warga tidak perlu repot-repot pergi ke Pasar Pameungpeuk yang jaraknya lebih dari 10 Km.
Mereka cukup menumpuk hasil panenan di pinggir jalan, dan tengkulak datang dengan sepeda motor, serta tentunya dengan segepok uang.
Penganan khas masyarakat seperti sale pisang, dan opak singkong yang semula hanya untuk menjamu tamu, sekarang sudah menjadi barang komoditas. Lantas, apakah hal itu bertentangan dengan adat?
“Tidak!” Jawab Pak Uluk tegas.
“Semua itu hanya urusan dzohir (lahir). Perekonomian penting untuk kesejahteraan masyarakat. Sementara yang kami pertahankan adalah yang berhubungan dengan batin. Masyarakat boleh berdagang, tapi tidak dengan berbohong, apalagi menipu,” tambah lelaki dari 11 anak ini.
Ketika disinggung mengenai jumlah anaknya yang hampir satu lusin, pria dengan tutur kata lembut ini menerangkan rata-rata penduduk kampungnya memang memiliki banyak anak. Anak-anak Kampung Dukuh, meski tampak kurang terawat, tapi mendapat pendidikan cukup baik. Terutama dasar keagamaan.
“Di sini para remaja tidak mengenal istilah pacaran,” terangnya.
“Bila seorang lelaki yang sudah dianggap dewasa senang pada seorang gadis, dia boleh lengsung melamar pada orangtua si gadis. Bila orangtua setuju, perkawinan pun segera dilaksanakan. Perkawinan bisanya dilaksanakan secara adat, petugas KUA hanya tinggal menerima laporan yang kami buat. Untuk itu tidak ada pesta. Rata-rata gadis Kampung Dukuh menikah pada usia muda. Umur 15 pun kalau sudah ada yang melamar, ya dikawinkan saja,” tambahnya.
Menyambut hari-hari besar Islam masyarakat merayakannya dengan sangat khidmat. Tak ada kegiatan yang bersifat dzohir. Seperti pada hari raya Idul Adha tahun lalu misalnya, masyarakat hanya melakukan shalat Ied bersama. Tak ada kurban yang disembelih.
“Tidak ada warga di Kampung Dukuh yang mampu membeli kambing, apalagi sapi untuk Qurban,” kata Sulaiman (25 tahun), salah seorang warga Kampung Dukuh.
Ya, demikianlah sekilas potret kesederhanaan warga kampung Dukuh yang mencoba melawan arus zaman.[tong]