Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Karomah Kiai Kholil Bangkalan

REKAYOREK.ID Masa penjajahan merupakan masa yang sulit bagi perjalanan Bangsa Indonesia. Di masa itu, para kiai terutama di Tanah Jawa-Madura kerapkali disibukkan dengan konsolidasi untuk melawan Belanda dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Kiai Kholil Bangkalan, Madura termasuk salah satu kiai yang berperan aktif dalam pertempuran melawan Belanda. Ia dikenal sebagai Kiai yang tak kenal lelah untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Bahkan Kiai Kholil kerapkali memberi suwuk (mengisi kekuatan batin atau tenaga dalam) kepada para pejuang kemerdekaan.

Ada kisah unik, saat itu beberapa pelarian pejuang kemerdekaan dari Jawa bersembunyi di pesantren Kiai Kholil. Kompeni Belanda rupanya mencium kabar itu. Tentara Belanda berupaya keras untuk menangkap para pejuang kemerdekaan yang bersembunyi. Rencana penangkapan diupayakan secepat mungkin.

Setelah yakin bersembunyi di pesantren, tentara Belanda memasuki pesantren Kiai Kholil. Seluruh pojok pesantren digerebek. Ternyata tidak menemukan apa-apa.

Hal itu membuat kompeni marah besar. Karena kejengkelannya, akhirnya membawa pimpinan pesantren, yaitu Kiai Kholil untuk ditahan. Dengan siasatan ini mereka berharap ditahannya kiai, para pejuang menyerah diri.

Ketika kiai dimasukkan ke dalam tahanan, maka beberapa peristiwa ganjil mulai muncul. Hal ini membuat susah petugas penjara.

Mula-mula ketika kiai masuk ke dalam tahanan, semua pintu penjara tidak bisa ditutup. Dengan demikian, pintu tahanan dalam keadaan terbuka terus menerus.

Kompeni Belanda harus terjaga siang dan malam secara terus menerus. Sebab jika tidak, maka tahanan bisa melarikan diri.

Pada hari berikutnya sejak kiai ditahan, ribuan orang dari Madura dan Jawa berdatangan untuk menjenguk dan mengirim makanan.

Kejadian ini membuat kompeni merasa kewalahan mengatur orang sebanyak itu. Silih berganti setiap hari terus menerus.

Akhirnya, kompeni membuat larangan berkunjung. Pelarangan itu rupanya tidak menyelesaikan masalah.

Masyarakat justeru datang setiap harinya semakin banyak. Para pengunjung yang bermaksud berkunjung ke Kiai Kholil bergerombol di sekitar rumah tahanan. Bahkan, banyak yang minta ditahan bersama kiai.

Sikap nekat masyarakat yang mengujungi kiai jelas membuat Belanda makin kewalahan. Kompeni merasa khawatir kalau dibiarkan berlarut-larut suasana semakin parah.

Akhirnya, daripada pusing memikirkan hal yang sulit dimengerti oleh akal itu, kompeni Belanda melepaskan kiai begitu saja.

Setelah kompeni mengeluarkan Kiai Kholil dari penjara, baru semua kegiatan berjalan sebagai mana biasanya.

Demikian juga dengan pintu penjara sudah bisa ditutup kembali serta para pegunjung yang berjubel di sekitar penjara, kembali pulang ke rumahnya masing-masing.

Allah berkehendak Kiai Kholil bebas, maka bebaslah Kiai Kholil dengan mudah dari penjara dengan cara yang unik. Subhanallah.

Karomah Kiai Kholil

Kiai Kholil termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa.

Diceritakan, suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh.

Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Kiai Kholil untuk berobat.

Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh empat orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon).

Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Kiai Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Kiai Kholil, muncullah Kiai Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata, “Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian.”

Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit.

Karena Kiai Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Kiai Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.

Pada kisah yang lain diceritakan, Kiai Kholil berusaha melindungi calon santrinya dari musibah. Padahal dia berada di Bangkalan, sementara si calon santri di tengah Alas Roban, Batang, Pekalongan.

Menurut cerita si calon santri yang bernama Muhammad Amin, ia berangkat dari Kempek, Cirebon, bersama lima orang temannya, menuju Bangkalan, Madura, untuk berguru kepada Kiai Kholil.

Mereka tidak membawa bekal apa-apa kecuali beberapa lembar sarung, baju, dan celana untuk tidur, parang, serta thithikan, alat pemantik api yang terbuat dari batu.

Setelah berjalan kaki berhari-hari, menerobos hutan dan menyeberangi sungai, mereka sampai di tepi Hutan Roban di luar kota Batang, Pekalongan.

Hutan itu terkenal angker, sehingga tidak ada yang berani merambahnya. Pohon-pohon yang ada di hutan itu besar-besar, semak belukar sangat tinggi, banyak binatang buas di dalamnya. Na¬mun yang lebih menyeramkan, banyak perampok yang berkeliaran di tepi hutan itu. Mereka perampok yang kejam dan tidak segan-segan membantai mangsanya kalau melawan.

Menjelang malam, tatkala enam orang calon santri itu sedang mencari tempat untuk tidur, tiba-tiba muncul sesosok laki-laki. Namun karena tampangnya biasa-biasa saja, mereka tidak menaruh curiga. Bahkan orang itu kemudian bertanya apa mereka punya thithikan, karena ia akan menyulut rokok.

Namun setelah benda itu dipegangnya, ia mengatakan bahwa batu itu terlalu halus sehingga sulit dipakai untuk membuat api. “Masih perlu dibikin kasar sedikit,” kata orang itu sambil memasukkan batu tersebut ke mulutnya lalu menggigitnya sehingga pecah menjadi dua.

Terbelalak mata enam orang calon santri itu menyaksikan kekuatan mulut laki-laki itu. Mereka gemetar ketakutan. “Serahkan barang-barang kalian,” hardik orang itu.

Amin, yang paling berani di antara mereka, menjawab, “Kalau barang-ba¬rang kami diambil, kami tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Bangkalan.”

Mendengar kata “Bangkalan”, orang itu tampak waswas.

“Mengapa kalian ke sana?” dia balik bertanya.

“Kami mau berguru kepada Mbah Kholil,” jawab Amin.

Tersentak laki-laki itu, seperti pemburu tergigit ular berbisa. Wajahnya pucat pasi, bibirnya menggigil.

“Jadi kalian mau nyantri sama Kiai Kholil?”

“Betul,” sahut enam calon santri itu bersamaan.

Mereka gembira karena merasa tidak akan dirampok. Tapi dugaan itu meleset. “Kalau begitu, serahkan semua barangmu kepadaku,” kata lelaki itu.

“Kalian tidur saja di sini, dan aku akan menjaga kalian semalaman.”

Makin ketakutan saja para remaja itu. Mereka kemudian memang membaringkan badan tapi mata tidak bisa diajak tidur sema¬laman. Maut seakan sudah dekat saja. Keesokan harinya, selepas mereka shalat Subuh, lelaki itu mengajak mereka pergi.

“Ayo kita berangkat,” ujarnya.

“Ke mana ?” tanya para calon santri.

“Akan kuantar kalian ke luar dari hutan ini agar tidak diganggu oleh perampok lain,” jawabnya tampak ramah.

Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa maunya orang ini. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, orang itu berkata. “Sebenarnya kalian akan aku rampok, dan menjual kalian kepada onder¬neming untuk dijadikan kuli kontrak di luar Jawa. Tapi ilmu saya akan berbalik mencelakakan diri saya kalau berani mengganggu para calon santri Kiai Kholil. Sebab guru saya pernah dikalah¬kan Kiai Kholil dengan ilmu putihnya.”

Maka enam remaja dari Kempek itu kian mantap untuk nyantri ke Bangkalan. Terlebih lagi baru di perjalanan saja untuk menuju pesantren Kiai Kholil mereka telah memperoleh karamah dari pemimpin pesantren tersebut.

Karomah lainnya Kiai Kholil adalah saat musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah.

Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas.

“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.

Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga.

Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya.

Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat, “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.

“Kiai Kholil?” Pikirnya.

“Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

“Segeralah ke Kiai Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.

Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”

Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil.

Tiba-tiba kiai itu berkata, “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”

Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil, lalu bertanya, ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”

“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” katanya dengan nada putus asa.

“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.

Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”

“Terima kasih kiai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.

“Tapi ada syaratnya,” ucap Kiai Kholil.

“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.

Lalu Kiai Kholil berpesan, “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.

“Sanggup kiai,“ Jawabnya spontan.

“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” kata Kiai Kholil.

Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan.

Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.

“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.

Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.[diolah dari berbagai sumber]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...