Kepala HRD
Oleh: Anggie D. Widowati
Pandemi menjadi hal yang tak menyenangkan bagi Risa. Meskipun hanya tinggal sisa-sisa, dan sudah bebas kemana-mana tanpa aturan yang ketat, tetapi pandemi sudah mengubah segalanya. Terutama kehidupannya sebagai ibu rumah tangga yang sehari-hari tinggal di rumah.
Dulu dia punya banyak teman dari kalangan tetangga. Kehidupan begitu guyup rukun dengan keselarasan yang alami. Karena komplek itu adalah komplek perumahan sederhana yang disediakan untuk karyawan perusahaam tempat suaminya bekerja.
Setiap karyawan yang minimal sudah kerja selama lima tahun di perusahaan itu berhak mendapatkan rumah, cicilan ringan dengan cara potong gaji.
Huda suaminya memiliki jabatan yang lumayan. Dia adalah seorang kepala HRD di kantor itu. Sebagai lulusan Fakultas Psikologi Huda adalah seorang kebanggaan bagi almamaternya. Kebetulan dulu dia mengambil jurusan Psikologi Managemen, makan dia pun mengamalkan ilmunya diperusahaan itu.
Perumahan karyawan ini memang dirancng sangat apik. Ala-ala apartemen. Keren dan terkesan modern. Ada hampir 50 rumah di lahan yang berada di pinggiran kota.
Meskipun luas tanah hanya 60 meter, setiap bangunan dirancang untuk keluarga baru, dengan dua kamar di atas, sementara lantai satu hanya untuk ruang tamu, ruang tengah dan dapur. Ada garasi satu mobil untuk mobil avansa bekasan yang dibeli dengan tabungan mereka.
Tetangga sebelah kanan adalah kepala gudang. Laki-laki kurus dengan wajah muram dan berwatak keras. Pak Hadi memiki seorang istri yang pandai bergaul dan ramah. Kebalikan dengan dirinya yang terkesan pendiam. Mereka memiliki seorang anak dan suka memelihara kucing.
Tetangga sebelah kiri kosong, pemiliknya adalah kepala bagian keamanan, karena sudah memiliki rumah, rumah itu dibiarkan kosong. Sesekali pasangan itu menengok rumah dan bermalam di situ pada akhir pekan. Seperti Bu Mira istri pak Hadi, Bu Iin, istri kepala satpam ini juga ramah. Mereka bertiga menjadi tetangga yang kompak.
Ditambah bu Inggrid, tetangga depan rumah, jadilah empat sekawan, yang selalu kompak dalam banyak hal. Mereka memiliki hobi jajan dan ngemall, Inggrid dan Iin suka nonton bioskop, Risa dan Mira pun ketularan. Iin meskipun tinggal di tempat lain selalu bergabung bila ada acara jalan-jalan.
Tetapi kemesraan itu berubah setelah terjadinya pandemi. Pemerintah membatasi pergerakan masyarakah sehingga perusahaan waralaba itu pun harus membuat kebijakan baru dalam hal karyawan. Karena supermarket tidak dibuka lagi, terpaksa merumahkan banyak karyawan di bagian toko.
Huda pun dipanggil oleh para direktur dan diajak berapat. Pada rapat itu hadir satu direktur utama dan tiga direktur bagian. Salah satunya wanita. Dia adalah direktur bagian SDM. Dari rapat itu, diputuskan setelah merumahkan karyawan toko, kantor juga akan mengurangi jumlah karyawan non toko.
“Gudang akan ditangani langsung oleh pusat, jadi tak perlu kepala gudang lagi,” kata direktur.
Huda diam. Itu artinya mereka akan merumahkan Pak Hadi. Tiba-tiba kepalanya pening. Tetapi sepanjang pagi itu tidak ada yang mempersoalkan keberadaannya.
“Yang jelas setiap divisi akan melakukan perampingan,” kata direktur yang lain.
“Keamanan juga mungkin bisa dikurangi pak, kan toko sudah tutup, mungkin dua, tiga satpam sudah cukup,” usul direktur bagian pengembangan usaha.
“Itu pasti, nanti biar Huda mengajukan nama-nama yang akan di PHK,” kata Direktur utama.
“Ini bisa menjadi moment untuk menggusur orang-orang lama,” kata seorang direktur perempuan.
Semudah itukah mereka melakukan pengurangan karyawan. Di saat pandemi begini, terpaksa harus memecat orang. Huda terbayang para karyawan yang tinggal satu kompleks dengannya. Dalam hitungan hari ada yang akan kehilangan pekerjaan, kehilangan mata pencarian mereka.
“Jadi siang ini saya tunggu daftar nama yang akan dirumahkan ya Pak Huda,” kata direktur wanita.
Huda mengangguk, dia benar-benar diiris oleh belati yang bernama dilema. Sebagian dari nama-nama yang dia ajukan memang sudah mendapatkan warning dari para direktur. Termasuk dua tetangganya yang selama ini sudah menjadi saudara, Pak Hadi dan Pak kepala satpam.
Sore itu Huda pulang dengan perasaan tak karuan. Dia telah menyerahkan daftar karyawan yang akan di rumahkan esok hari. Karyawan tua seperti Pak Hadi dan kepala Satpam itu termasuk mereka yang akan kena PHK. Malam itu Huda tak bisa tidur, dia juga tak sanggup menceritakan kejadian dan apa yang dia lakukan pada istrinya.
Esoknya dia berangkat ke kantor. Di mejanya ada beberapa lembar kertas surat PHK untuk karyawan. Surat itu ditandatangani oleh direktur SDM. Tugas Huda adalah membagikan surat-surat itu kepada yang bersangkutan.
Sebagai kepala HRD, Huda memanggil mereka satu persatu untuk menerima surat itu. Dengan perasaan berat dia mengucapkan maaf dan terima kasih. Dia bilang situasi tidak memungkinkan dan perusahaan tidak mampu membayar karyawan lebih banyak lagi. Terpaksa harus PHK karena tidak ada masukan sama sekali pada masa pandemi ini.
“Kau tega padaku, dek Huda,” kata Pak Hadi si pendiam dengan wajah penuh amarah.
“Saya hanya menjalankan tugas pak,” kata Huda tak berani melihat tetangganya itu.
Kepala satpam itu hampir memukulnya karena marah.
“Kau ini sudah saya anggap adik sendiri, tetapi malah kau pecat aku, itu namanya apa, bangsat.”
Mereka memang karyawan senior yang masa jabatannya sudah hampir 15 tahun. Rumah mereka juga sudah lunas cicilannya. Berbeda dengan dirinya yang baru sekitar 6 tahun bekerja di perusahaan itu.
Seminggu kemudian istrinya mulai mengeluh. Para tetangga mulai bersikap kurang enak kepadanya.
“Aku sudah mau nyapa mbak Mira eh malah melengos,” kata istrinya.
“Pandemi membuat Pak Hadi tidak dibutuhkan lagi oleh perusahaan, kepala gudang dipimpin langsung oleh orang pusat.”
“Kenapa Papa memecat Pak kepala satpam, istrinya sekarang mendiamkan aku.”
“Direktur SDM memberikan gambaran siapa-siapa yang harus dirumahkan. Kepala satpam dan beberapa satpam yng sudah tua dirumahkan, nanti akan diganti dengan satpam baru yang lebih muda. Tapi sementara belum, karena toko belum buka.”
“Apa kita jual saja rumah ini Pa, aku nggak tahan dengan sikap tetangga, terutama yang kau PHK.”
“Aku tak memPHK mereka, hanya mengajukan nama-nama, direktur SDM yang melakukan itu.”
“Tapi papa kan yang memberikan surat PHK itu.”
Huda tak menjawab lagi.
“Gara-gara Papa mereka membenciku.”
“Aku juga tak bisa apa-apa, membela pun tak bisa, mereka sudah tua-tua.”
“Aku tak mau tinggal di sini lagi.”
Beberapa bulan kemudian, karena tidak tahan dengan ulah tetangga, Huda dan istrinya memutuskan untuk pindah rumah. Mereka tinggal di rumah susun sewaan, dan berencana menjual rumah mereka yang berada di komplek perumahan karyawan perusahaan itu.@
sumber: anggiedwidowati.blogspot.com