Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Keramaian dan Kemacetan Jadi Promosi Jalan Tunjungan

REKAYOREK.ID Sore itu sekitar pk 16.15 di Jalan Tunjungan, terlihat mobil derek Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surabaya berusaha menjejali slot lahan parkir yang masih kosong.

Orang-orang berpikir petugas Dishub ini akan menikmati indahnya sore di jalan Tunjungan, yang ketika itu pengunjung sudah mulai berdatangan, termasuk pengunjung yang menikmati suasana sambil duduk di trotoar dengan secangkir kopi.

Tak lama setelah mobil Dishub itu terparkir, beberapa mobil yang semula berjajar parkir di tepi barat dan timur jalan satu per satu meninggalkan lahan parkir. Sepertinya mereka sudah selesai menikmati suasana di Jalan Tunjungan. Tapi ternyata tidak. Mereka harus pergi meninggalkan Jalan Tunjungan dan ada pula yang berpindah parkir.

Pemilik cafe di Jalan Tunjungan mengatakan jika petugas Dinas Perhubungan yang datang bersama mobil dishub tadi bertugas mengatur ketertiban lalu lintas dan menegakkan aturan larangan parkir di sepanjang Jalan Tunjungan.

Persis di depan itu memang terpasang sebuah rambu rambu lalu lintas yang melarang adanya parkir kendaraan mulai pk 16.00 – 19.00.

Rambu larangan parkir pada jam tertentu di Jalan Tunjungan. Foto: Nanang Purwono

 

Fahad, pengelola cafe di Jalan Tunjungan, mengatakan bahwa larangan parkir itu berlaku setiap hari termasuk Sabtu dan Minggu.

“Kalau tidak boleh parkir pada jam jam itu, cafe cafe ini bisa kehilangan pelanggan. Apalagi pada saat ini, kami ini berusaha bertahan di tengah pandemi covid 19”, kata Fahad di depan stan cafenya.

Pemerintah Kota Surabaya memang tengah menata jalan Tunjungan untuk kembali dijadikan kawasan jalan jalan seperti ketika jalan Tunjungan masih berjaya pada era 70 hingga 80-an. Termasuk seperti pada masa penjajahan di tahun 30 dan 40-an dimana Jalan Tunjungan seperti miniatur Jalan Damrak di kota Amsterdam.

Terbukti, apa yang pernah ada di Jalan Tunjungan pada masa itu mirip seperti di Jalan Damrak di kota Amsterdam. Ada tram listrik, pusat perbelanjaan, cafe, restoran, gedung bioskop, hotel, toko es krim, toko musik, toko buku, dealer mobil termasuk mobil mobil yang berjajar parkir.

Namun, ketika memasuki tahun 1990-an, Jalan Tunjungan seolah mulai kehilangan pamornya. Keramaian yang menjadi daya tarik mata sudah memudar.

Kebanyakan telah hilang karena kalah bersaing dengan perkembangan jaman. Sementara di jalan Damrak Belanda, yang menjadi cermin jalan Tunjungan, semuanya masih bertahan meski kota Amsterdam juga terus berkembang dan semakin maju.

Sekedar diketahui, Jalan Damrak memang menjadi jalan utama di kota Amsterdam yang menghubungkan stasiun kereta api Amsterdam Centraal dan alun alun Dam Square. Jalan ini masih begitu ramai dengan pejalan kaki, toko toko, lalu lintas tram listrik, sepeda angin dan parkiran sepeda yang di tata di tepian jalan.

Mobil jarang melintas, termasuk sepeda motor. Keramaian itu menjadikan jalan Damrak hidup. Ada geliat aktivitas di sana.

Keramaian di Jalan Damrak kota Amaterdam. Foto: Nanang Purwono

 

Kalau kita bandingkan dengan Surabaya, ketika pemerintah kota mulai menata dan berupaya menjadikan kembali jalan Tunjungan seperti masa kejayaannya dulu, maka kiranya jangan ada kebijakan yang kontra produktif di saat awal-awal semua pihak tengah bersama sama bergotong royong meramaikan jalan Tunjungan.

Menurut para tenant yang membuka cafe-cafe di jalan Tunjungan, kebijakan yang dianggap kontra produktif itu adalah larangan parkir mulai pukul 16.00-19.00.

Atas larangan parkir mulai pukul 16.00 sampai pukul 19.00, pemerintah kota sebenarnya sudah menyediakan lahan parkir di Jalan Tanjung Anom (utara) dan Jalan Kenari (selatan). Tapi lahan parkir yang disediakan itu dirasa kejauhan dari lokasi cafe-cafe yang selama ini sudah buka. Yaitu di Jalan Tunjungan sisi selatan.

Sedangkan lahan parkir di bagian selatan sendiri, ternyata berada di Jalan Kenari, yang lokasinya masih ke selatan dari lokasi cafe cafe yang sudah buka. Apalagi jam jam larangan parkir itu adalah jam jam produktif kedatangan pengunjung.

Akibatnya, larangan parkir itu justru membuat menurunnya jumlah pengunjung, khususnya yang menjadi pelanggan cafe cafe. Penurunan jumlah pelanggan adalah kerugian bagi para pengusaha cafe. Omset nya bisa anjlok hingga 50 persen. Apalagi di saat pandemi, ketika perekonomian belum pulih.

Jalan Tunjungan Harus Macet untuk Menarik Perhatian

Ketika Jalan Tunjungan berusaha untuk bangkit, maka perlu ada sesuatu yang bisa menjadi perhatian publik. Salah satunya adalah menciptakan keramaian di jalan itu cecara alamiah.

Kemacetan lalu lintas adalah wujud keramaian publik yang natural. Kemacetan bila perlu menjadi alat untuk mempublikasikan jalan Tunjungan.

Siapa saja yang pada akhirnya terjebak dalam kemacetan itu, pasti berfikir apa yang terjadi disana. Ada apa disana.

Karena kemacetan sifatnya adalah sebuah setting untuk mempercepat bangkitnya kembali Jalan Tunjungan, maka di sana harus ada sesuatu yang terjadi agar menjadi jawaban atas kemacetan itu. Misalnya sudah adanya cafe cafe yang buka, adanya parkir kendaraan baik mobil dan motor, adanya atraksi di trotoar jalan Tunjungan dan potensi atraksi lainnya sehingga semuanya secara natural membuat jalan Tunjungan ramai.

Jalan Tunjungan mulai bergeliat. Foto: Nanang Purwono

 

Jika kondisi sudah ramai dan macet, maka siapa pun yang melintas di Jalan Tunjungan akan semakin tertarik dengan jalan legendaris itu, sejauh di Koridor jalan ini ada atraksi sebagaimana tersebut di atas.

Jika yang melintas itu adalah orang yang berduit, maka dia berpotensi untuk turut andil dalam berinvestasi di sana. Apa lagi di Jalan Tunjungan masih ada gedung dan bangunan yang masih belum dimanfaatkan. Akhirnya, dia ikut meramaikan pertumbuhan perekonomian di kawasan ini.

Sementara bagi warga biasa yang terjebak dalam kemacetan dan mengetahui disana ada potensi hiburan dan wisata, maka mereka pada suatu hari akan datang untuk mencoba jalan jalan di Jalan Tunjungan. Sehingga nantinya, bertambahnya publik yang datang kesana diimbangi dengan bertambahnya atraksi di jalan Tunjungan. Misalnya semakin bertambahnya cafe cafe di sana.

Jika di sepanjang Koridor ini sudah penuh dengan atraksi: cafe cafe dan hiburan lain, maka siapapun pejalan kaki jika harus berjalan mulai dari ujung utara jalan Tunjungan hingga ke ujung selatan, mereka tidak akan merasa capek dan bosan karena mereka bisa mencuci mata pada setiap langkah kaki melangkah.

Kondisi ini yang terjadi di Jalan Tunjungan pada era tahun 1930-an dan pada pasca kemerdekaan hingga tahun 1980-an. Termasuk kondisi seperti inilah yang masih terjadi di jalan Damrak kota Amsterdam.

Dengan melihat potensi bertambah ramainya Jalan Tunjungan baik dari segi bertambahnya cafe dan restoran serta atraksi yang ada, maka parkir bisa diarahkan di tempat tempat yang telah dipikirkan sekarang. Misalnya di area jalan Tanjung Anom, di area Jalan Kenari, atau bahkan masuk ke dalam area parkir gedung yang ada, seperti ke hotel Majapahit.

Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya, Baktiono, mengatakan bahwa parkir kendaraan bisa diarahkan ke tempat tempat parkir yang telah disediakan ketika Jalan Tunjungan sudah benar benar ramai dimana ketersediaan hiburan sudah merata mulai utara hingga selatan. Sekarang biarlah parkir di jalan Tunjungan berjalan seperti biasanya.

Nah, jika sekarang, ketika masih awal awalnya menjadikan Jalan Tunjungan menjadi area ‘mlaku mlaku nang Tunjungan’ bagai pengalaman masa lalu, maka penciptaan keramaian dan bahkan kemacetan lalu lintas harus dipikirkan sebagai unsur promosi jalan Tunjungan.[Nanang]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...