REKAYOREK.ID Kolonial adalah persaudaraan. Kiranya itulah kesan yang saya bisa formulasikan dari pandangan beberapa orang Belanda sekarang atas peristiwa masa lalu. Masa lalu bangsa Hindia Timur (Indonesia) adalah negara koloni bangsa Belanda. Awalnya adalah melalui tangan persekutuan dagang VOC dan setelah kongsi dagang itu bangkrut di akhir abad 18, kemudian berlanjut lah ke Hindia Belanda 19 pertengahan abad 20. Totalnya durasinya hingga 350 tahun.
Jejak kolonialisasi itu tidak hanya membekas di bekas negeri koloni, yang secara kasat mata berupa peninggalan peninggalan infrastruktur seperti bangunan, jalan, dan jembatan tapi jejak ini juga membekas di negeri Belanda. Di sana terdapat simbol simbol budaya Indonesia mulai dari gambar gambar Garuda, tradisi, pulau pulau dan nama nama pulau yang menjadi nama jalan, termasuk masakan dan tradisi.
Di tahun 2007, ketika sempat tinggal di kota Hilversum dalam rangka mengikuti training Media Televisi di RNTC selama dua bulan, saya sempat berkunjung ke sebuah panti jompo, yang dihuni orang orang Indo (berdarah campuran) di kota itu. Secara fisik ada yang berwajah Jawa dan Belanda tapi kelahiran Jawa (Indonesia), yang berikutnya menetap di Belanda. Nama panti itu adalah Patria. Di dalamnya sangat Indonesiais. Ada ornamen ornamen Indonesia seperti batik, wayang, dan benda benda Indonesia lainnya. Bahkan mereka berbicara bahasa Jawa dan Melayu.
Tahun 2012 ketika berkesempatan kembali untuk menghadiri Internasional Broadcast Convention (IBC) 2012 di kota Amsterdam, ada perwajahan orang Jawa yang memanggil dengan menggunakan bahasa Jawa. Ternyata dia orang Surabaya yang sudah lama tinggal di kota Amsterdam. Namanya Alex dan dia sekarang telah kembali ke Surabaya dan bergabung dengan Perkumpulan Indo Surabaya. Dalam perkumpulan ini, ada kegiatan kegiatan yang dilakukan rasa saling membangun hubungan kekeluargaan (kebudayaan) antara Indonesia dan Belanda.
Belum lagi keberadaan orang orang Suriname yang begitu banyak di sana sejak tahun 1975. Sejarah Suriname tidak lepas dari sejarah bangsa Hindia Timur atau Hindia Belanda ketika nenek moyang mereka dibawa secara berangsur oleh Bangsa Belanda bermigrasi sebagai pekerja di perkebunan tebu di tanah Amerika Selatan mulai 1890 hingga 1930-an.
Sekarang, 2023 ketika mengikuti Urban Heritage Strategies, maka semakin banyak kawan kawan (orang orang Belanda) yang memiliki hubungan dengan Indonesia baik itu hubungan bisnis maupun hubungan darah dari kakek neneknya. Hubungan itu adalah indah untuk dikembangkan sebagai dasar membina hubungan antar kedua bangsa di masa depan.
Melalui jejaring, yang telah terbentuk baik formal maupun tidak, hendaknya bisa lebih mempererat hubungan persaudaraan dan koneksi people to people. Hubungan itu pada hakekatnya telah ada ratusan tahun sebelumnya. Bisa jadi siapa di era apa memiliki kacamata yang berbeda dalam memandang. Namun, kini dan mendatang adalah generasi sekarang yang menentukan bagaimana mereka memandang.
Sejarah adalah cermin dan dari sejarah mereka menentukan langkah ke masa depan. Generasi muda Belanda sekarang semakin mengerti sejarah bangsanya dan semakin kritis untuk menentukan masa depannya, termasuk masa depan hubungan Indonesia – Belanda.
Sekali memandang baik dalam melangkah ke depan, maka akan semakin baik hubungan keduanya ke depan. Tapi sebaliknya, sekali masih memandang jelek saat ini, maka di sana akan bersemayam benih permusuhan antar keduanya.
Upaya generasi muda Belanda untuk menghilangkan benih benih dan bahkan bekas bekas negatif yang pernah ada, semakin nyata dalam kehidupan sehari hari baik dalam pikiran, ucapan maupun kelakuan. Maka, kini saatnya memperkuat jembatan kerjasama, khususnya melalui jejaring budaya dan heritage, yang selama ini sudah ada.
Budaya dan heritage adalah ruh suatu daerah dan bahkan negara. Saling menguatkan suatu daerah dan negara berarti semakin menghargai, menghormati dan mendukung hidupnya ruh itu. Tidak mematikan dan tidak menghilangkan. Dari kunjungan ke negeri ini secara gradual maka semakin kenal lah apa yang mesti diperbuat secara kolaboratif antar bangsa.
Pemikiran global ini tentu harus diawali dengan pemikiran lokal dimana kita berada. Yakni berkolaborasi secara lokal dengan para stakeholders setempat. Peribahasa tua mengatakan “Sedikit sedikit, lama lama menjadi bukit”, Step by step will lead to a bigger hill.@nanang