Memoar Wartawan Biasa-Biasa #10
Tak Pernah Tugas ke Luar Negeri
Oleh: Amang Mawardi
Profesi kewartawanan tak pernah menugaskan saya ke luar negeri. Kalau pun pernah mengunjungi beberapa negara seperti: Australia, Singapura, Malaysia dan Thailand pada tahun 1990/2000-an, itu bukan karena jurnalistik, melainkan karena misi kesenian — di mana dalam misi itu selain sebagai anggota delegasi saya pernah didapuk sebagai pelaksana produksi atau pemimpin produksi. Itupun saya lakukan ketika sudah menginjak “berumur”. (Saya pertama kali ke luar negeri saat usia 42 tahun).
Kenapa saya dan teman-teman sekerja di perwakilan Jatim tidak pernah mendapat tugas ke luar negeri? Mungkin –mungkin ya– lantaran posisi bukan di Jakarta. Sehingga jauh dari jangkauan pemikiran para petinggi Pos Kota. Atau jangan-jangan kans ke luar negeri sudah sempit lantaran diantre para reporter di pusat sana.
Sesekali muncul rasa iri kepada rekan-rekan yang bekerja di koran daerah. Banyak di antara mereka dalam usia relatif muda sudah menikmati luar negeri. Bahkan ada yang lebih dari sekali.
Pernah pada pertengahan 1980-an Pemimpin Redaksi Pos Kota yaitu Pak Sofyan Lubis berkunjung ke kantor perwakilan Pos Kota yang belum genap dua tahun kami tempati, yakni di Jalan Bubutan nomor 7 Surabaya.
Pada kesempatan itu saya sampaikan, “Pak, ‘mbok’ kalau ada penugasan ke luar negeri teman-teman perwakilan diberi kesempatan…”
Apa jawab beliau yang sebelumnya didahului dengan senyum ini, “Gitu ya…”. Lantas, “Oke, siapa yang mau berangkat. Kita bulan ini ada rencana meliput kawasan segi tiga emas. Siapkan paspor. Seminggu lagi berangkat…” (Pak Sofyan Lubis ini sosoknya kalem, kebapakan…).
Setelah Pak Sofyan mengucapkan itu, saya membatin: ‘Mbanyol apa ngelawak Pak Sofyan ini. Kalau beri penugasan kepada pemula ‘mbok’ yang sifatnya turistik, ke Singapura atau Kuala Lumpur misalnya. Bukan ke kawasan opium yang konon para petani bunga memabukkan di perbatasan Thailand-Burma-Kamboja itu banyak melengkapi dirinya dengan senjata api. Eladalah!’
Pada kurun waktu 1994-1998 saya pernah ‘jobless’ yang akhirnya menjadikan saya wartawan ‘freelance’, sesekali menulis di majalah Liberty yang waktu itu redpel-nya Mbak Ida Tomasoa, Surabaya Post, Jawa Pos, dan Surya. Yang paling sering memuat tulisan saya yaitu Liberty.
Selain wartawan ‘free lance’, saya juga berkecimpung di manajemen Festival Seni Surabaya (FSS) dan di Bengkel Muda Surabaya (saat BMS membawa misi kesenian ke Singapura, Malaysia, Thailand).
Namun yang sering saya gabungi: FSS (Australia, Singapura, Malaysia, Thailand).
Kalau dinarasikan manakala dikaitkan dengan dunia jurnalistik, kira-kira begini: input-nya kesenian, output-nya jurnalistik. Kok bisa?
Penjabarannya: keluar negeri membawa misi kesenian, pulang kembali ke Tanah Air menghasilkan tidak saja pengalaman dan tulisan tentang aktivitas kesenian, tapi juga hal-hal yang saya anggap menarik tentang negara yang saya kunjungi itu untuk dituliskan di beberapa media cetak.
Dalam misi kesenian tersebut, selain mendapat sangu dari team yang dananya kami cari bersama, juga dari beaya produksi panitia pengundang di luar negeri. Tapi khusus bagi saya, masih dapat honor tulisan dari koran-koran yang memuat laporan dan artikel saya sehabis pulang dari manca itu.
Makanya Cak Kadar Ketua Yayasan Seni Surabaya yang membawahi Festival Seni Surabaya pernah bilang: “Enak Amang, sangune arek-arek (anggota delegasi lainnya) wis entek, duike de’e gak entek-entek… “.
Maksudnya: uang sangu anggota team lainnya sudah habis, saya masih menangguk dari honor tulisan meski sudah kembali ke kampung halaman.
Akhirnya tulisan-tulisan saya ini saya bukukan dalam judul “Dalam Lintasan Seni” (Penerbit Henk Publica, 2015) yang diberi pengantar Dahlan Iskan.
Buku ini tebalnya 256 halaman, berisi 57 judul. Sebetulnya 58 judul, tapi ada yang saya gugurkan sehingga menjadi 57 judul.
Yang saya gugurkan itu intinya seperti ini:
Tahun 1996 merupakan kunjungan saya yang kedua kali ke Perth, Australia Barat.
Kami Yayasan Seni Surabaya diundang untuk pentas di Artrage Perth Festival (APF). Iven ini adalah tandingan dari Perth Festival yang dianggap sudah mapan dan borjuis. Sedang APF lebih ke seni kontemporer yang ‘venue’-nya di gudang tak terpakai, bekas sekolahan dan di tempat lain yang “nyeleneh”. Meski ‘venue’-nya terkesan “seadanya”, tapi digarap sangat profesional yang menyangkut tata cahaya, tata suara dan lain-lain. Konon, banyak aktivis APF ini yang anggota Partai Buruh, Australia.
Misi kami membawa teater tari yang disutradarai A. Fauzi dengan judul “Upacara” (Heri Lentho, Meimura, Diaztiarni, Roosyana Ernawati), dan pameran lukisan “Spirit dari Tetangga” (Amang Rahman, Dwijo Sukatmo, Hening Purnamawati; tapi Pak Amang Rahman tidak ikut berangkat).
Sekira pukul 10 malam, kami sehabis nonton pertunjukan di Pusat Kebudayaan Australia Barat, di pusat kota Perth, dengan dua taksi menuju rumah kami yang disewakan panitia di distrik Melrose Ville yang jaraknya sekitar 15 kilometer. Saya se-taksi dengan Cak Kadar, Fauzi dan Dwijo Sukatmo (ketiganya sudah almarhum, Al Fatihah).
Sopir taksi berwajah ganteng seusia saya (waktu itu) berkebangsaan Mexico, mengingatkan saya pada aktor Hollywood asal Mesir Omar Syarif.
Setelah membayar ongkos taksi, kami siap-siap keluar dari kendaraan, lantas ditanya sopir tadi: Anda dari mana?
Dijawab Cak Kadar: Indonesia.
Lantas sopir taksi tadi mengatakan sesuatu yang saya tidak begitu mendengar.
Baru dua langkah menuju pintu rumah, tiba-tiba langkah Cak Kadar berhenti, kemudian disusul misuh: J**cuuuk!
“Opo’o, Cak?” tanya saya.
“Kurang ajar sopir taksi iku, jarene Suharto rich – people poor… ”
Beberapa detik kemudian, saya baru ‘ngeh’. Ini boleh jadi lantaran English saya yang tidak bagus, sehingga saat sopir tadi mengatakan tersebut yang lantas di-“foreward” Cak Kadar itu, saya tidak bisa mengartikannya.
Selanjutnya saya tak berani ngomong, tidak ikut rasan-rasan.
Cak Kadar dan Dwijo masih membicarakan perihal omongan sopir kurang ajar tadi, duduk-duduk di dekat perapian.
Saya dan teman-teman anggota delegasi se-team lainnya memilih masuk kamar. Saya pun : menggeletakkan diri; mendobelkan celana, memberukutkan badan dengan baju dan jaket, dan menyelimuti seluruh tubuh; menahan hawa dingin 7 derajat celcius.@