Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #6

Kabupaten Bojonegoro Paling Sering Saya Kunjungi

Oleh: Amang Mawardi

Dari seputar empat dasawarsa di mana saya berkecimpung dalam dunia jurnalistik, Kabupaten Bojonegoro paling sering saya kunjungi, baik secara institusional diajak Humas Pemda Tingkat I Jawa Timur –dalam kaitan kunjungan kerja gubernur– maupun yang saya lakukan secara mandiri dalam konteks kerja-kerja jurnalistik.

Mungkin ada 15 kali saya mengunjungi Kabupaten yang terletak di bagian barat laut Provinsi Jawa Timur ini.

Kabupaten/kota lain di Jawa Timur hampir semuanya pernah saya kunjungi dalam aktivitas jurnalistik, namun ya itu tadi — tak sebanyak kunjungan saya ke Bojonegoro.

Dalam kaitan yang “regional” itu, hanya satu kabupaten di Jawa Timur yang belum pernah saya datangi, yaitu Sumenep.

Namun, dalam konteks non-jurnalistik yang paling sering saya kunjungi adalah kabupaten/kota Malang. Sepanjang saya hidup, mungkin lebih dari 30 kali.

Mengapa Bojonegoro banyak saya kunjungi?

Mungkin ini sebabnya: warganya dibikin pusing dengan perkara buang air besar.

Kok bisa?

Ada hal menarik yang ditulis oleh jurnalis Syahrul Bachtiar Hidayat. Kira-kira begini kalau dinarasikan: di Bojonegoro –baik pada musim kemarau maupun pada musim hujan– warganya dibikin sulit untuk BAB, karena kalau musim kemarau sulit mendapatkan air untuk cebok karena dilanda kekeringan. Sementara, kalau musim hujan sulit mendapatkan posisi jongkok karena air banjir bisa setinggi dada orang dewasa.

Laporan (almarhum) Yuleng — demikian saya biasa memanggil Syahrul Bachtiar yang pernah menjadi Kepala LKBN Antara di Denpasar dan redaktur pelaksana Surabaya Post ini– akhirnya memenangi penghargaan jurnalistik untuk kategori reportase yang diselenggarakan PWI Jawa Timur pada sekian puluh tahun lalu.

Pada saat itu –sekitar kurun waktu 25-an tahun lalu– jika musim banjir datang, warga banyak yang mengungsikan dirinya maupun ternak dan barang-barang yang bisa dibawa ke pinggir-pinggir sepanjang jalan raya yang letaknya lebih tinggi katimbang rumah-rumah penduduk. Mereka mendirikan tenda dan gubuk-gubuk seadanya untuk berteduh sementara.

Saya tidak ingat di wilayah kecamatan mana saja banjir itu melanda. Mungkin: Kanor, Kalitidu, Dander, Kecamatan Kota dan lain-lain.

Suatu hari kami wartawan dalam jumlah besar diajak mengikuti kunjungan Wakil Gubernur Trimaryono SH untuk menyerahkan bantuan banjir. Selain wartawan, kunker ini juga diikuti oleh sejumlah pejabat di lingkungan Pemda Tingkat I Jawa Timur.

Setelah tiba dari Surabaya dengan bus dan kendaraan lain, kami berangkat dari titik di Kecamatan Kota dengan sejumlah perahu. Saya kebagian naik perahu karet yang dihendel oleh anggota marinir.

Dalam perjalanan melalui kawasan banjir itu, saya melihat banyak ‘uba rambe’ rumah tangga yang berusaha diselamatkan penduduk. Misal: meja, kursi, lemari dan lain-lain dengan diikat di tiang-tiang rumah di teras, supaya tidak hanyut oleh banjir.

Tetapi klimaks dari “pemandangan” banjir ini: di salah satu teras rumah, kami lihat seorang pemuda 20-an tahun duduk di atap lemari asyik bernyanyi diiringi permainan gitarnya, sementara seorang pemuda lainnya yang usianya lebih muda ‘ancik-ancik’ meja sambil ketawa-ketawa melihat deretan sejumlah perahu yang membawa rombongan pejabat dan wartawan itu.

Seorang pejabat yang seperahu dengan saya nyeletuk pelan: “Wong banjir koyo ngene kok gak ngerti susah. Gitaran… ”

Mendengar gumam itu, saya membatin: Ya susah, Pak. Habis mau gimana lagi…

Namun, bukan soal banjir saja. Kabupaten Bojonegoro pernah membawa saya dalam suasana romantisme.

Pada kunjungan saya kesekian kali ke Bojonegoro, sehabis santap malam di ruang makan –entah kantor bupati atau rumah dinas bupati, saya lupa– rekan-rekan wartawan banyak yang menyempatkan mewawancarai Pak Bupati atau pejabat lain di pemerintahan kabupaten tersebut.

Namun, saya memilih memisahkan diri. Lantas melihat-lihat bagian-bagian dari bangunan kolonial ini. Perpaduan bangunan yang bersih dan taman yang hijau, menjadikan kondisi begitu asri.

Antara ruang makan dengan toilet dan dapur dihubungkan oleh koridor beratap tapi kanan kirinya terbuka. Sepertinya ada juga koridor lain yang menghubungkan ke bagian-bagian bangunan lain lagi.

Lantas saya duduk di kursi panjang jati yang mengesankan antiq di koridor yang menghubungkan ke dapur dan toilet itu.
Mungkin karena suasana asri yang lantas menimbulkan romantisme, ingatan saya melayang pada seorang gadis berusia empat tahun di bawah saya yang pada waktu itu sedang coba saya dekati.

Setelah kembali ke kamar hotel, saya tidak langsung tidur, tapi menulis puisi ini:

KORIDOR

memanjang
membiaskan sepi
seperti hari-hariku yang merindukan tembang asmaradana
adakah gadis berkulit kuning
melintasi tempat ini menyenandungkan tembang itu?
ah, semakin sepi sajakah hari-hariku
ataukah ada gema yang memantulkan rindu?

Bojonegoro, September 1978.

Puisi ini menjadi salah satu dari 60 puisi yang termuat dalam buku kumpulan puisi tunggal saya “Tiang-Tiang” yang terbit pada tahun 2016.@

Komentar
Loading...