Mengenal Sosok Sunan Giri
Raden Paku atau Sunan Giri saat masih bayi dihanyutkan oleh ibunya ke laut karena hendak dibunuh oleh kakeknya sendiri, yakni Prabu Menak Sembulu. Raden Paku yang dimasukan ke dalam sebuah peti dan dihanyutkan ke laut lepas hingga berada di Selat Bali. Kemudian ditemukan oleh Syekh Sobar dan Syekh Shobir saat kapal dagang yang ditumpanginya melintas di perairan tersebut.
REKAYOREK.ID Sunan Giri salah seorang Ulama atau Waliyullah, yang telah dikenal oleh masyarakat seantero Indonesia sebagai salah satu dari Sembilan Wali (Wali Songo). Beliau merupakan sosok yang sangat tidak asing lagi di tengah masyarakat. Keberadaannya telah tercatat secara gamblang dalam catatan buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun buku cerita.
Karena kemasyhurannya, meski sosoknya telah tiada (meninggal), setiap harinya Makam Sunan Giri yang terletak di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, tidak pernah sepi dari pengunjung (peziarah) yang datang dari berbagai daerah di Indonesia hingga dari mancanegara. Terutama saat hari libur dan weekend (akhir pekan).
Menurut Juru Kunci (penjaga) Makam Sunan Giri, Gus Gilang Adiwidya bahwa nama asli Sunan Giri adalah Raden Paku, lahir di Blambangan, Banyuwangi pada tahun Saka Candra Sengkala (Jalmo orek werdaning ratu 1365 Saka) atau tahun 847 Hijriah / 1443 Masehi.
“Sunan Giri atau yang memiliki nama asli Raden Paku merupakan anak dari pasangan Syeh Maulana Ishak seorang ulama besar dan Dewi Sekardadu, yang dikenal masyarakat Banyuwangi dengan nama Buyut Atikah merupakan seorang putri Prabu Menak Sembulu, Raja dari Kerajaan Blambangan di Banyuwangi,” ujarnya bercerita kepada Rekayorek, Sabtu (4/6/2022).
Lanjut Gus Gilang, Raden Paku atau Sunan Giri saat masih bayi dihanyutkan oleh ibunya ke laut karena hendak dibunuh oleh kakeknya sendiri, yakni Prabu Menak Sembulu. Raden Paku yang dimasukan ke dalam sebuah peti dan dihanyutkan ke laut lepas hingga berada di Selat Bali. Kemudian ditemukan oleh Syekh Sobar dan Syekh Shobir saat kapal dagang yang ditumpanginya melintas di perairan tersebut.
“Bayi Raden Paku yang ditemukan dalam peti di tengah laut itu, kemudian diserahkan kepada Nyai Gede Pinatih selaku pemilik kapal dagang yang dibawa Syekh Sobar dan Syekh Shobir agar dirawat dan dijadikan anak susuan (angkat). Dengan senang hati Nyai Gede Pinatih, merawat hingga tumbuh menjadi anak yang lucu, tampan, soleh (taat beribadah) dan memberinya nama Joko Samudro,” kata Gus Gilang.
Ketika usainya menginjak 2 tahun tepatnya pada tahun 1445 Masehi, Joko Samudro lalu dikirim oleh ibu angkatnya Nyai Gede Pinatih untuk belajar agama Islam di pesantren yang dipimpin oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Surabaya. Karena, kecerdasannya dan ketekunannya saat belajar menuntut ilmu agama membuat Sunan Ampel terkesimah.
Bahkan Joko Samudro sering memunculkan keanehan-keanehan atau keistimewahan layaknya Waliyullah saat menjadi santri (murid) Sunan Ampel. Sehingga, Sunan Ampel memiliki firasat kelak santri atau muridnya yang bernama Joko Samudro ini akan menjadi orang hebat yang alim dan bijaksana berdasarkan tanda-tanda yang sering ketahuinya. Karena ketakjubannya kepada Raden Paku, Sunan Ampel lalu memberinya nama Muhammad Ainul Yakin.
Usai belajar ke Sunan Ampel, Raden Paku atau Muhammad Ainul Yakin, kemudian belajar pendidikan dibidang Tasawuf dan pemerintahan dengan dibimbingan langsung oleh ayah kandungnya Syeh Maulana Ishak di daerah Samudra Pasai.
Selesai menempuh pendidikan dari ayah kandungnya Muhammad Ainul Yakin, disuruh ayahnya untuk melakukan syiar agama Islam ke daerah Pulau Jawa dengan dibekali segenggam tanah. Oleh ayahnya ia diminta untuk mencari tempat yang sesuai dengan mutu baku tanah yang dibawahnya, sebagai lokasi tempat untuk menyebar luaskan syiar agama Islam.
Berangkatlah Muhammad Ainul Yakin dengan kawalan Syekh Kujo dan Syekh Grigis, dua orang kepercayaan Syeh Maulana Ishak. Namun, sebelum mencari tempat yang sama dengan tanah yang dibawanya dari Samudera Pasai. Muhammad Ainul Yakin terlebih dulu sowan (menemui) gurunya Sunan Ampel untuk menceritakan pesan dari orangtuanya tersebut.
Mengetahui hal itu, Sunan Ampel lalu memberikan petunjuk daerah yang akan dicari oleh Muhammad Ainul Yakin. Setelah mendapat petunjuk dari gurunya, Muhammad Ainul Yakin mulai melakukan pencarian dengan terlebih dahulu melakukan sholat untuk memohon petunjuk hingga melakukan tirakat penelusuran ke berbagai bukit atau pegunungan di wilayah Gresik.
Saat tirakat di Gunung Wurung, Muhammad Ainul Yakin mendapat kabar duka ibu angkatnya Nyai Gede Pinatih yang bergelar Grand Lady of Gresik meninggal dunia pada tahun 1478 Masehi yang makamnya berada didaerah Kelurah Kebungson, Gresik, Jawa Timur.
Usai berkabung, tirakat lalu dilanjutkan kembali oleh Muhammad Ainul Yakin, dengan berpindah dari gunung satu ke gunung yang lainnya. Hingga suatu malam bertepatan pada malam ke 40 hari tirakatnya disaat Muhammad Ainul Yakin sedang berdoa memohon petunjuk kepada Allah SWT.
Ia lantas melihat seberkas cahaya di tengah kegelapan malam dan cahaya itu jatuh di puncak gunung di daerah Desa Sumber, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik.
Keesokan harinya Muhammad Ainul Yakin turun dari gunung tempatnya bertirakat, menuju kelokasi jatuhnya cahaya. Namun, sebelum menuju lokasi Muhammad Ainul Yakin membersihkan mensucikan dirinya disebuah sumur yang kemudian dikenal sebagai Sumur Gemuling oleh masyarakat setempat (hingga kini sumur gemuling masih ada).
Sesampainya di titik keberadaan cahaya, Muhammad Ainul Yakin langsung mencocokan segenggam tanah yang dibawah dari ayahnya ternyata sama persis. Akhirnya, gunung tempat jatuhnya cahaya dididirikan sebuah pesantren sebagai tempat syiar (penyebaran) agama Islam oleh Raden Paku atau Joko Samudro atau Muhammad Ainul Yakin sehingga dikenal dengan sebutan Sunan Giri. Sebab, dalam bahasa Sansekerta, Giri artinya gunung dan Sunan memiliki arti orang yang alim (taat beragama).
Gus Gilang menambahkan bahwa, Sunan Giri pada tahun 1462 Masehi. Pernah menikahi dengan dua orang perempuan sekaligus, yakni dengan Dewi Murtosiyah (Putri Sunan Ampel) dan dengan Dewi Wardah (Putri Sunan Bungkul).
Dari pernikahannya dengan Dewi Murtosiyah, Sunan Giri mempunyai 8 anak. Yaitu, Nyai Gede Kukusan, Sunan Dalem, Sunan Tegal Wangi, Nyai Gede Selo luhur, Sunan kilen, Sunan Kidul, Nyai Gede Sawon dan Sunan Wruju.
Sedangkan dari pernikahannya dengan Dewi Wardah, Sunan Giri dikaruniai seorang putra bernama Pangeran Pasir Batang atau yang terkenal dengan nama Raden Supeno yang makamnya berada di kawasan Situs Giri Kedaton (Kerajaan atau Kasultanan Giri).
Selain menyebarkan agama Islam, Sunan Giri juga dinobatkan sebagai Raja pertama Giri Kedaton (Kedaton memiliki arti Kerajaan/Kasultanan). Bahkan, Giri Kedaton sesuai cerita yang tertulis dalam Babad Ing Gresik, disebutkan pertama didirikan Sunan Giri dengan nama “Kedaton Tondo Pitu“. Yaitu, bangunan istana bertingkat tujuh diatas sebuah bukit yang kemudian dikenal dengan sebutan atau nama “Giri Kedaton”.
Pembangunan Giri Kedaton dilakukan Sunan Giri pada tahun 1408 Saka atau 1486 Masehi. Hal itu berdasarkan catatan sejarah Candra Sangkala yang berbunyi “Sumedya Resik Ker Wulu”. Dan dicatatan itu juga disebutkan, bahwa Raden Paku bergelar Sunan Giri atau Rajah Bukit.
Setahun berikutnya Sunan Giri diangkat menjadi Nata (Kepala Pemerintahan, red) dengan gelar Prabu Satmata. Serta didaulat sebagai Pandita (Pemimpin Umat Islam) dengan gelar Tetanggul Khalifatul Mukminin.
Hal tersebut tertulis dalam buku Candra Sangkala yang berbunyi Trusing Luhur Dadi Hajiyang menunjukkan angka tahun 1409 Saka, 1487 Masehi atau yang bertepatan dengan Hari/Tanggal, Jum’at Pon, 9 Maret 1487 M atau12 Rabbi’ul Awal 894 Hijriah jika dikalenderkan saat ini,” ungkap Gus Gilang bercerita, Rabu (9/3).
Sesuai serat atau catatan sejarah Kasultanan Giri Kedaton, Sunan Giri menjadi Raja selama 19 tahun. Yakni antara tahun 1487 – 1506 Masehi. Setelah itu, kepemimpan Kasultanan Giri Kedaton beralih ke anak turunannya tanpa ada pertumpahan darah sekalipun,” pungkas Gus Gilang. @Joss