Menguak Fakta Surabaya Abad 15-17
Peradaban masa lalu Surabaya yang sudah ditandai dengan bukti bukti yang ada, perlu disikapi. Kelak jika bukti bukti itu hilang, maka tidak ada alat dan petunjuk untuk memasuki ruang waktu masa lalu Surabaya.
REKAYOREK.ID Euforia perihal cagar budaya telah membahana. Isu dan beritanya dimana mana. Tak terkecuali di Surabaya. Surabaya memang kaya akan nilai cagar budaya baik yang terkandung dalam benda, bangunan maupun kawasannya.
Undang Undang RI no 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya telah mengamanahkan bahwa potensi cagar budaya agar dilestarikan dengan cara melindungi, mengembangkan dan memanfaatkannya. Sementara pemanfaatan yang dimaksud adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
Sementara itu, Undang Undang RI no 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan juga memberikan arah yang serupa. Yakni bahwa Undang Undang ini bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat, melestarikan warisan budaya bangsa, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia, sehingga Kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.
Ada kata kunci yang sama dari kedua Undang undang RI yang berbeda di atas. Yaitu melestarikan dan memanfaatkan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Karenanya, berangkat dari kedua undang undang tersebut di atas, maka semangat melestarikan nilai nilai budaya dan cagar budaya harus dilakukan terus menerus agar tindakan melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan potensi budaya dan cagar budaya terarah sesuai tujuan.
Euforia Cagar Budaya
Berbicara tentang cagar budaya di Surabaya umumnya berorientasi kepada bangunan yang merupakan peninggalan dari era kolonial. Dari sekitar 200 bangunan cagar budaya di Surabaya, semuanya adalah bangunan dari era kolonial. Karena itulah, kebijakan dalam hal pelestarian yang di dalamnya terdapat tindakan perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya terfokus kepada banyak peninggalan yang berbau dari era kolonial.
Jika dilihat dari koridor waktu, maka era kolonial itu adalah terhitung dari abad 17 hingga pertengahan abad 20. Namun yang paling banyak dijadikan obyek pelestarian adalah peninggalan dari abad 19 akhir hingga abad 20. Sementara peninggalan dari abad 17 sudah tidak ada. Sedangkan peninggalan dari abad 18 di Surabaya sangat amat terbatas. Tapi keberadaannya tidak pernah diperhatikan yang pada akhirnya rawan dibongkar.
Apalagi peninggalan dari abad sebelum era kolonial. Misalnya abad 15 hingga 17 M. Pertanyaannya adalah apakah Surabaya punya fakta peninggalan dari abad abad sebelum era kolonial.
Jawabannya adalah ada.
Buktinya adalah kekunoan di komplek Sunan Ampel, di komplek Pesarean Sentono Agung Boto Putih, Sumur Jobong di kampung Pandean dan komplek pesarean Bungkul.
Tempat tempat itu, khususnya di komplek Sunan Ampel, seolah sudah terlupakan tapi justru menjadi tempat yang paling populer. Jutaan orang sudah berkunjung dan masih berpotensi dikunjungi oleh jutaan orang lainnya.
Karena terlalu populernya sehingga tindakan pengembangan yang dilakukan mengikis kekunoan yang ada. Kekunoan adalah kecagar budayaan.
Seorang penulis dan pegiat heritage Indonesia asal Belanda, Emile Leushuis, kaget ketika berkunjung ke komplek Sunan Ampel baru baru ini (18/12/21) lagi setelah sebelumnya, sekitar 10 tahun lalu, berkunjung ke Ampel.
Menurutnya lingkungan di komplek Sunan Ampel banyak yang berubah, termasuk hilangnya beberapa makam di komplek ini. Bahkan renovasi atas makam Sunan Ampel juga sudah merubah keaslian makam yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Apalagi komplek pesarean kuno yang jarang tersentuh oleh pelestarian (perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan), seperti komplek pesarean Sentono Agung Boto Putih. Di tempat ini tidak hanya menjadi klaster pemakaman para Bupati Surabaya, tapi juga terdapat pemakaman yang jauh lebih tua. Sayang, makam yang jauh lebih tua dari makam para Bupati Surabaya ini belum ada upaya untuk membedah kekunoan itu.
Waktu terus berjalan. Perubahan alam pun terjadi. Termasuk pengaruh alam yang berdampak pada makam makam tua itu. Dari kekunoan yang masih eksisting seperti kuburan beserta inskripsi beraksara Jawa kitanya perlu diteliti sebelum terlambat.
Selain makam kuno, di komplek ini juga terdapat dua buah lingga. Sebagaimana dilansir dalam situs Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lingga adalah pilar cahaya, simbol benih dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Dewa Siwa kerap digambarkan sebagai sosok lingga yang mengandung energi penciptaan dan simbol organ maskulin.
Secara fisik keberadaan lingga yang umumnya satu paket dengan yoni merupakan simbol kesuburan alami, maskulin dan feminin. Keberadaannya selalu pada tempat suci seperti candi. Jika ternyata di pesarean Sentono Agung Boto Putih terdapat dua buah lingga, diduga di tempat ini terdapat yoni. Jika di tempat ini terdapat pasangan lingga dan yoni, maka ada dugaan bahwa di tempat ini dulunya merupakan tempat suci yang bersifat Hindu.
Dari temuan temuan lapangan, sifat sifat Hindu memang ada di tempat ini. Contohnya ada sebuah makam yang sangat bercorak dan berdesign Hindu. Gapura gapura dengan gaya paduraksa juga merupakan arsitektur Jawa Hindu.
Lantas pertanyaan kita adalah makam siapakah yang terlihat kuno dan ber inskripsi aksara Jawa itu. Ini semua perlu kajian untuk menjawab. Sudahkah tempat ini dikaji demi menguak peradaban masa lalu Surabaya?
Peradaban masa lalu Surabaya yang sudah ditandai dengan bukti bukti yang ada, meski sedikit, perlu disikapi. Kelak jika bukti bukti itu hilang, maka tidak ada alat dan petunjuk untuk memasuki ruang waktu masa lalu Surabaya.
Kiranya ini adalah saat yang tepat karena pemerintah Republik Indonesia melalui Undang Undang no 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan tengah giat menguatkan jati diri bangsa di tengah percaturan dunia.
Maka identitas bangsa melalui identitas lokal (kearifsn lokal) perlu digali, dipublikasikan untuk menggugah kesadaran publik sehingga tumbuh upaya bersama dalam pelestarian untuk bersama sama digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.
Masa antara abad 15 dan 17 M adalah Magical Time. Menurut pegiat heritage Indonesia asal Belanda Emile Leushuis, periode antara abad 15-17 ini adalah masa keaslian nenek moyang, para leluhur karena belum terpengaruh oleh budaya asing.
“Melalui karya dan manifestasi manusia Indonesia di antara abad 15-17 kita bisa tau keaslian lokal, baik yang menyangkut cara pikir dan hasil karya manusia kala itu.” ujar Emile Leushuis di sela sela memperhatikan kekunoan di dalam komolek makam.
Apa yang bisa kita gali dari masa abad 15-17 di Surabaya? [nanang]