Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #32

Wong Elek

Oleh: Noviyanto Aji

Sebuah SMS dari nomer tak kukenal tiba-tiba masuk. SMS itu membangkitkan kenangan lama yang sudah kukubur dalam-dalam.

“Hai, Mas. Gimana kabarnya. Lupa ya sama aku. Aku Kiftiya.”

Aku masih ingat, dan takkan lupa. Sebab kami dulu pernah punya kedekatan khusus. Kubalas SMSnya.

Kiftiya adalah temanku sesama pengajian. Di antara cewek-cewek pengajian, kukira dialah gambaran yang menyilaukan mata. Ia menjadi target buruanku. Sayang usahaku menggaetnya gagal. Setiap kudekati ia selalu acuh tak acuh. Dan sebelum mengutarakan isi hati, Kiftiya mendadak hilang seperti ditelan bumi.

Ia kembali ke Tulungagung dan menikah dengan mantan kekasihnya. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua orang anak. Sepeninggal Kiftiya sempat mencuat rasa cemburu memilin-milih hati. Namun setahun berselang akhirnya aku dapat juga melupakannya. Kini tak ada angin, tak ada hujan, Kiftiya tiba-tiba muncul membawa kabar mengejutkan. Ia bermaksud ingin bertemu.

Keinginan bertemu memang tak terbendung. Apalagi aku pernah menaruh hati padanya. Kebetulan saat itu posisiku di alun-alun Kediri. Kiftiya semenjak menikah, diboyong suaminya ke Kediri. Satu arah dengan perjalananku. Keputusanku mengambil rute Kediri adalah tepat atau malah keliru, aku sendiri tidak tahu. Atau mungkin Tuhan sengaja mengarahkanku ke sana; menemui Kiftiya. Entahlah. Yang jelas aku sedang dihadapkan pada sebuah pilihan yang pelik. Di satu sisi ia pernah mengisi hatiku, di sisi lain Kiftiya sudah berkeluarga. Akhirnya kuputuskan mampir.

Namun sebelumnya aku SMS Kiftiya apakah di rumah ia bersama suami atau sendiri. Sebab jika sendiri aku tidak sudi menemuinya, takutnya nanti memunculkan anggapan negatif dari orang-orang.

Kiftiya membalas, “Aku sama suamiku.”

Syukurlah. Dengan begitu aku tak perlu susah-susah untuk sembunyi.

Kupacu motorku sekencang-kencangnya. Selang satu jam akhirnya aku tiba di sebuah desa. Rumah Kiftiya berada di belakang pondok pesantren. Kususuri jalan setapak pondok pesantren, dan kulihat sebuah rumah persis dengan ciri-ciri yang diberikan Kiftiya.

Rumah tersebut tidak terlalu besar, namun memiliki halaman yang luas seperti umumnya rumah-rumah di desa. Pekarangannya ditanami puluhan tanaman hias dari melati hingga andenium, semua dijejer dengan rapi. Sebagian tanaman ada yang berbunga. Pot-pot bunga berbaris di antara halaman membentuk seperti iring-iringan prajurit perang. Perawatannya pasti membutuhkan kesabaran dan keuletan. Pemiliknya pasti seorang berjiwa seni sekaligus pecinta keindahan.

Tampak dari depan suasana rumah begitu asri dan damai. Pun sekitarnya ditumbuhi pepohonan besar yang menjulang melebihi atap rumah. Setiap waktu-waktu tertentu pohon-pohon tersebut berbuah. Pelatarannya juga nampak bersih meski semua dikelilingi tanah. Nyaris kutak melihat satu pun sampah berserakan. Kuduga setiap sore pelataran rumah disapu pemiliknya. Bekas-bekas goresan sapu di tanah dapat kulihat dengan jelas.

Memasuki halaman rumah, motor segera kuparkir menghadap utara. Seorang lelaki berusia sepantaran denganku keluar rumah. Tubuhnya gempal. Tingginya tak sampai 2 meter. Ia berewok. Alisnya tebal. Matanya cekung. Di sekitar mata nampak menghitam. Pipinya tembem. Pakaiannya tiada bersetrika itu longgar pada badannya. Rambutnya tidak bersisir dengan rapi. Dia menyambutku dengan sopan, awalnya.

“Assalamualaikum,” sambutnya terlebih dahulu.

‘Waalaikumsalam,” balasku.

“Mas, sedang mencari siapa?” Tanyanya.

“Kifnya ada, Mas!” Seketika kata-kataku disambut raut muka masam.

Lelaki yang kemudian kuketahui suaminya itu mengiringkan aku masuk ke dalam.

“Di tunggu ya, Mas. Dia lagi di kamar.”

Setelah mempersilahkanku duduk, ia lalu memunggungi dan melangkah gontai memasuki kamar. Seolah ada perasaan tidak enak yang membelenggunya. Kudengar ia menggeram seperti seekor kucing saat berbicara dengan wanita di dalam kamar yang kuduga adalah Kiftiya.

Tanpa mengubah arah pandangnya padaku, setelah keluar kamar ia berjalan menyeret kakinya meninggalkanku tanpa pamit. Di luar rumah motornya distarter dengan menderu-derukan gasnya. Suaranya kencang sekali. Dapat kurasakan keadaan emosi yang meluap-luap. Kegeraman lelaki itu mengartikan cemburu buta dimana semua panca indera telah dimatikannya.

Seketika seluruh kegagahannya punah dari tubuhnya yang gempal. Kumis, jenggot, dan cambang-bauknya tidak meninggalkan kesan jagoan. Jagonya hanya melawan wanita lemah, pikirku. Menjijikan.

Ia seperti lelaki tanpa prinsip, tanpa keperwiraan, tanpa sikap, tanpa cita-cita. Kesenangan digaetnya demi kepuasaan pribadi. Tak ada guna. Tak ada harga sesen pun. Aku sendiri masih termangu sepeninggal suami Kiftiya.

Kududuk di ruang tamu, menanti Kiftiya yang tak kunjung keluar. Apa yang sedang dilakukannya. Mungkinkah ia sedang berdandan karena hendak bertemu teman lamanya. Dulu, Kiftiya selalu mengenakan jilbab. Entah bagaimana sekarang. Masihkah kerudung menutupi kulit kepalanya?

Dalam penantian sesaat itu, jantungku berdetak kencang berlomba dengan detak jarum jam dinding di atasku. Rasanya ada gendang perang bermain dalam jantungku. Aku mulai gelisah. Dan jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi berdenyut begitu mendengar langkah kaki berat mendekatiku. Suasana baru menggantikan. Di depanku berdiri seorang wanita muda mengenakan kerudung. Pakaiannya berwarna putih seputih kapas dengan terusan panjang menyentuh lantai, kakinya nyaris tak terlihat. Wajahnya bulat. Kulitnya sawo matang. Hidungnya mancung. Jari-jarinya lentik. Pun kuku-kukunya terawat dengan baik. Tingginya tak lebih 2 meter, tapi lebih tinggi dari lelaki yang kutemui tadi.

Badannya tidak gemuk, tidak kurus. Alias sedang. Dan mata itu, mata berkilauan itu seperti kunang-kunang di malam hari. Sepintas ia mirip pesinetron Tiyas Mirasih. Saat bibirnya tersenyum imanku serasa runtuh. Kutatap wajahnya. Namun kuurungkan karena takut berlama-lama menatapnya. Bahkan hampir-hampir aku tak berani menentang matanya.

“Kamu masih sama seperti dulu, Mas?” Senyumannya manis, dan aku hanya bisa menjawab dengan senyuman.

“Beginilah aku, Kif!” Balasku.

Celakalah aku kalau ia diam saja. Dan memang ia diam saja, untuk sesaat kami saling pandang-pandangan. Wajahnya seperti batu pualam pahatan, seakan syaraf mukanya telah terputus dari otak. Tak ada gerak, tak ada ekspresi apa-apa, dan tetap tak bicara. Ia tak seceria sewaktu kami bertemu di pengajian dulu.
Lalu, ia menjabat tanganku, menunggu aku mengatakan sesuatu. Mungkin tentang kabarku, atau apakah aku sudah punya kekasih, dan kapan menikah?

“Bagaimana kabarmu?” Aku bertanya saat menjabat tangannya. Kurasakan sentuhan kulit telapak tangannya yang halus.

“Baik saja. Sudah lama ini aku menunggu kedatanganmu, Mas!” Giginya yang gemerlapan nampak lebih indah dari semua mutiara yang tak pernah kulihat.

“Kenapa menungguku!” Aku hanya tersenyum memandanginya.

Dalam keadaan begini aku masih sempat mengagumi dan memuja kecantikannya yang mulai luntur setelah memiliki dua orang anak. Selanjutnya aku beralih pada bibirnya yang menjadi garis tipis lurus. Haruskah aku mengembalikan asmaraku pada wanita yang dulu pernah mengisi hatiku ini, wanita yang sekarang sudah berkeluarga ini. Tidak mungkin.

“Iya, aku menunggumu. Karena aku butuh kamu.”

Aku tidak paham maksudnya.

Sesekali kami saling bercerita mengenai kabar teman-teman di Surabaya. Sesekali juga Kiftiya tertawa, dan suara tawanya yang keluar dari bibir tipisnya itu begitu mengesani, tak mungkin dapat kulupakan seumur hidup. Namun masalah asmara kembali mendera. Kiftiya meminta pertimbanganku mengenai perasaannya yang tak kunjung padam terhadap Wong Elek.

Yang dimaksudnya Wong Elek itu aku. Dan terus terang aku terheran-heran dipanggil Wong Elek. Tak pernah terjadi sebelumnya.

“Apa kamu gusar kupanggil demikian?”

“Panggilan yang baik: Wong Elek,” kataku menimpali.

Ia mengangguk senang dengan tawanya yang sengit tanpa menutup mulut dan menunduk, aku tertawa terkulum. Dan itulah untuk pertama kalinya aku tertawa di depan Kiftiya.

Setidaknya dengan panggilan ini Kiftiya berani menyampaikan perasaannya dengan sebenar-benarnya padaku. Istilah Wong Elek dimaksudkan untuk menggantikan kedudukan orang pertama menjadi orang kedua yang tengah kami bicarakan. Kata Wong Elek, bagi Kiftiya adalah kebalikan dari perasaan carut marut yang sekian tahun dipendamnya, dan kini setelah bertemu denganku ia berteriak mati-matian seakan menagih penantian panjangnya.

Saat itu betapa terbukanya Kiftiya menyampaikan perasaannya. Tanpa tedeng aling. Tuturnya begitu halus, nyata tanpa prasangka, dan blak-blakan. Berapa lama sudah ia simpan perasaannya. Sekarang akulah tempat tumpahan curahan.

Namun keterbukaannya itu justru mencurigakan. Apa tujuannya menyuruhku datang ke rumahnya? Rasanya tidak mungkin kalau hanya untuk membuat suaminya cemburu. Barangkali ia hendak memunculkan peperangan dunia ketiga? Juga tidak mungkin. Aku berusaha untuk tidak tahu dan pura-pura blo’on.

“Sejujurnya, selama ini pikiranku tak pernah bisa lepas dari Wong Elek. Entah kenapa setelah menikah aku selalu memikirkannya. Suamiku jadi cemburu. Dia juga tahu bahwa ketika menikahiku, hatiku masih mencintai Wong Elek. Maukah kamu membantuku menghilangkan perasaan itu.”

Aku mengangguk. Ia menatap aku seakan hendak membaca keherananku.

“Sampai kapan pun kenangan indah tak bisa hilang, Kif. Sebuah kenangan baik maupun buruk akan selalu bersemayam dalam diri kita. Bukankah kamu yang dulu meninggalkan Wong Elek. Kenapa setelah enam tahun berkeluarga kamu masih memikirkannya?” Tanyaku penasaran.

“Entahlah, Mas!” Kurasakan betapa sunyi hati wanita ini di tengah-tengah keluarganya yang berkecukupan. Sepintas ia kelihatan agak normal walau sedikit pucat, dan matanya mati.

Dari sini terbongkarlah sebuah penghidupan masa lalu yang sempat terputus. Dengan seijin suami, ia menceritakan betapa besar cintanya terhadap Wong Elek. Semua itu berawal ketika Kiftiya minggat dari sebuah pondok pesantren. Hanya gara-gara menolak dijodohkan dengan anaknya kyai pondok, Kiftiya berontak lantas merantau ke Surabaya.

Di Surabaya Kiftiya cuma berbekal pakaian yang menempel di badan. Beruntung di kota Pahlawan ini ia masih memiliki kerabat yang membantunya termasuk mencarikan pekerjaan. Sambil bekerja di sebuah perusahaan, Kiftiya juga mengikuti pengajian rutin. Sebelumnya rutinitas yang dijalani adem ayem. Tak ada kejadian apa-apa, hingga suatu hari Wong Elek memasuki perkumpulan pengajian.

Bagai dihantam palu, begitu pertama kali melihat Wong Elek perasaannya luluh lantak. Setiap hari yang dipikirkan cuma Wong Elek. Awalnya dia mencari ilmu demi Tuhan, namun bayangan Wong Elek selalu muncul. Dan semakin ia menghalau, bayangan tersebut kerap hadir dalam benak bahkan dalam mimpinya.

Langkah selanjutnya, Kiftiya berusaha mencari tahu identitas Wong Elek. Ia tidak bertanya pada teman-temannya, hanya melihat dari urutan absensia yang tertera pada lembaran kertas di tempat pengajian. Langkahnya sungguh taktis, cepat dan cekatan. Dalam waktu singkat, ia sudah mendapati nama Wong Elek. Dan tak seorang pun yang tahu bagaimana hebatnya perjuangan Kiftiya mendapatkan nama Wong Elek.

Kini urusan terberat adalah mengetahui tempat tinggal dan kebiasaan Wong Elek. Dengan berbagai alasan, Kiftiya bersama temannya mengunjungi rumah Wong Elek dimana terdapat teman-teman sesama pengajian yang indekos di sana.

Memasuki rumah Wong Elek, cerita Kiftiya, matanya terbelalak melihat kamar Wong Elek. Hatinya seketika kacau balau. Meski diam membisu yang ia bisa, namun batinnya bercerita banyak hal. Bahwa Wong Elek tidur di atas kasur tipis tanpa ambin. Di depannya ada televisi. Dinding-dinding kamarnya dipasangi pigora dan jam dinding yang dibawahnya tertulis kata-kata bismillah. Lalu ada meja belajar dengan tumpukan buku berserakan dimana-mana.

Yang tak habis pikir, Kiftiya juga mengetahui kebiasaan berpakaian Wong Elek, yakni hitam-hitam.

Sebenarnya antara Kiftiya dan Wong Elek tak pernah saling berkenalan. Awal perkenalan tak ada. Mereka cuma berpapasan dan bertatap muka sepintas lalu. Bahkan bersentuhan tangan pun tidak pernah dilakukan. Berjabatan tangan hanya dilakukan sewaktu Hari Raya Idul Fitri. Namun begitu, perasaan getir yang hadir diantara mereka sangat kuat sampai-sampai kehebatan gunung berapi yang memuntahkan laharnya dianggap belum mewakili dahsyatnya perasaan mereka berdua.

Hari-hari Kiftiya berikutnya dilalui dengan gundah gulana. NMenunggu penantian yang tak kunjung datang. Sesekali ia menyesali diri, berdiam diri, berpuasa, serta mengeluh pada Tuhannya begini mengapa perasaan ini diturunkan padanya. Mengapa Wong Elek selalu hadir dalam hatinya. Apakah ini yang namanya cinta.

Di kamar kos-kosannya ia menggoreskan tulisan nama Wong Elek dalam bahasa arab. Seorang teman mengetahuinya, sebut saja Tina. Teman ini berkali-kali menasehati Kiftiya, bahwa semua itu tak sebanding dengan kebesaran Tuhan yang dipelajarinya selama ini di pengajian.

Cinta yang sejati hanyalah cintanya manusia terhadap Allah. Tidak menduakan Allah itulah cinta agung yang kekal sepanjang masa. Kata Tina saat itu, Kif, cintamu kepada manusia hanya akan mendatangkan kesedihan karena suatu hari mereka akan tua, sakit-sakitan, dan mati. Bersamaan itu cintamu juga akan mati. Namun nasehat Tina tak digubrisnya. Justru semakin hari ingatannya terhadap Wong Elek kian kuat. Mata hatinya seolah tertutup oleh perasaannya sendiri.

Untuk meredam perasaannya, Kiftiya berusaha menerima cinta orang lain, juga sesama teman pengajian, tak terkecuali ustadznya sendiri yang saat itu masih berstatus bujang. Tidak sedikit laki-laki yang mendekat dan mengharap cintanya. Waktu itu ada Suwito yang datang menghampiri, bahkan tanpa babibu menyampaikan perasaannya di hadapan Kiftiya. Namun cinta Suwito bertepuk sebelah tangan.

Ada juga Andri, si anak Lamongan ini sempat mengutarakan perasaannya tapi kemudian ditampik. Perjuangannya mendapatkan Kiftiya berakhir dengan menikahi Wanda, teman satu kos-kosan dengan Kiftiya.

Lalu Arno, lelaki yang satu ini sangat kreatif mengejar cinta Kiftiya. Dia mengirimkan sebuah surat yang berkenaan dengan perasaannya. Kandas juga. Sepertinya hati Kiftiya masih sulit terbuka.

Tak lama muncul Mario, lalu Gatot dan terakhir mantan kekasihnya Didi (kini suaminya). Dari semua jejaka-jejaka tersebut hati Kiftiya cuma tertuju pada Wong Elek.

Hingga suatu hari terjadi sesuatu yang membuat harga diri Kiftiya tercabik-cabik. Dalam sebuah renungan pengajian yang dihadiri semua orang, Kiftiya menggoreskan tulisan tangan berbahasa Arab pada sebuah kertas. Dalam coretan tersebut Kiftiya menuliskan kata-kata cinta yang ditujukan pada Wong Elek. Dua jam usai pengajian, kertas tersebut dibuangnya di tempat sampah.

Seorang lelaki memungutnya dan membaca. Tak tahu isinya, kemudian dia berikan surat kaleng itu pada Sang Ustadz. Saat dibaca tersebutlah di dalamnya nama Wong Elek. Seketika Kiftiya dipanggil dan diwejang. Ia ditanyai seputar perasaan dan seberapa besar cintanya terhadap Wong Elek. Kiftiya menjawab: sangat besar.

Ketika ditanya apa yang membuat dirinya sampai jatuh hati pada Wong Elek. Sekali lagi Kiftiya menjawab: hati manusia tiada sanggup ditebak, digambarkan, atau dirupakan.

“Tapi cinta kamu bertepuk sebelah tangan?” Sang Ustad menimpali.

“Itulah yang membuat saya tidak habis pikir, Mas. Selama ini saya tidak bisa konsentrasi di pengajian ini.” Kiftiya menjawab dengan malu menundukkan kepalanya.

“Terus apa yang akan kamu lakukan. Kenapa kamu tidak mencari yang lain saja. Di tempat ini banyak jejaka-jejak yang mengantri kamu.”

“Sebaiknya saya pulang kampung saja, Mas!” Serunya.

“Apa keputusanmu sudah bulat. Apa sebaiknya dipikir-pikir dahulu.” Nasehat Sang Ustad.

“Insya Allah, keputusan saya sudah bulat.” Terang Kiftiya memelas.

Esoknya, Kiftiya pulang ke kampung halaman tanpa meninggalkan kabar apa-apa. Beberapa teman sempat kebingungan mencari Kiftiya yang menghilang tanpa jejak. Sementara semua pakaiannya masih tertinggal di kos-kosan. Lima bulan berselang, Kiftiya tiba-tiba balik ke Surabaya dengan perut buncit tiga bulan dengan ditemani laki-laki yang baru dinikahinya.

Kepada teman-temannya Kiftiya meminta maaf karena telah membuat mereka khawatir. Dan tak lupa ia menitip pesan agar disampaikan kepada Wong Elek sekaligus permintaan maafnya.
Benarkah saat itu cinta Kiftiya bertepuk sebelah tangan? Bukan itu yang terjadi. Mungkin Kiftiya menganggap cintanya bertepuk sebelah tangan, tapi sebenarnya Wong Elek juga menyayanginya, jauh melebihi sangkaan orang.

Selama itu Wong Elek berusaha mati-matian mengejarnya, dan seperti hal Kiftiya, perasaan tersebut pada akhirnya terhenti dalam suatu keadaan tiada kepastian. Kemudian sampailah pada suatu kesimpulan yang menuai penyesalan. Inilah hasil daripada malu bertanya sesat di jalan?
Seandainya dulu Wong Elek mengetahui alasan Kiftiya melarikan diri, mungkin dia akan mengejarnya. Tapi Tuhan seorang bocah kecil yang punya peternakan semut. Dia tidak pernah merencanakan sesuatu. Dia hanya punya kehendak dan kuasa. Baik Kiftiya maupun Wong Elek menyadari akan hal itu. Apa yang sudah menjadi kehendak Dia tak bisa dirubah maupun digeser walau sedetikpun.

Wong Elek bersyukur seandainya dulu tidak tersesat di jalan, mungkin dia takkan tahu besar rahasia perasaan yang terkubur selama enam tahun itu, dan betapa bahagianya dia mengetahui itu. Senada dengan Wong Elek, meski pertemuan itu hanya berlangsung sesaat, setidaknya Kiftiya telah menuai kebahagiaan dari hasil kejujuran yang disampaikannya. Ia menganggap dirinya seolah-olah sedang berada di ambang pintu surga.

Plong, lega, bebas.

Bahkan ia sempat berfikir kebahagiaan itu muncul sebagai wujud anugerah Ilahi. Dimana hari yang telah dinantinya selama bertahun-tahun pada akhirnya terwujud.

Dan seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya, tiada kebahagiaan, kejayaan, maupun kesuksesan, yang bertahan lama. Kiftiya menyadari hal itu. Kadang kebenaran terasa pahit, tapi justru kebenaran itulah yang nantinya menolong kita. Sekarang kita berada di atas surga, namun sesekali manusia akan terjatuh juga. Jika jatuh mungkin jatuhku takkan sakit. Yang kupikirkan adalah manakala kamu ikut terjatuh.

Kukatakan pada Kiftiya: aku tak bisa membayangkan berapa banyak kerugian yang bakal kamu terima. Bukankah kamu sendiri yang mengajariku soal adat bahwa tak selama kita menggunakan pendalaman, karena sewaktu-waktu kita harus menggunakan tangga berjalan untuk menghadapi orang-orang di sekelilingnya.

Setidaknya kamu kini tak lagi sendirian dalam mencinta. Hanya mungkin kadar pengharapannya harus kita hilangkan agar tidak menjadi beban dikemudian hari.

Setelah mendengar curhatan Kiftiya, satu hal yang kupahami dari pertemuan itu adalah cinta tak harus memiliki. Aku mengerti dan sangat mengerti. Bahwa kebahagiaan dan keindahan dalam mimpiku bukan tentang aku saja melainkan juga melibatkan orang lain, yakni orang-orang terdekatku.

Tentang perasaan yang terkadang membatasi logika dan nalarku sebagai manusia kukira sepatutnya dijalani dengan apa adanya; kurangkum, kupatri dan kuarsipkan hanya dalam ingatanku. Apakah itu tentang cinta, tentang pekerjaan, tentang masa depan maupun akherat. Baik dan buruk semuanya karena aku yang memilih. Sementara aku bukan apa-apamu lagi.

Kau, aku, kita adalah masa lalu.

Tahulah kau selama ini hidupku selalu tertuju untuk cintaku, kekasihku, perempuanku. Dulu hidupku selalu tertuju untukmu hingga terkadang aku lupa siapa aku. Dan hebatnya aku tak bisa membiarkan wajah itu hilang meski sekejap saja.

Apa yang telah kau lakukan pada hatiku hingga bahagiaku selalu tentang kamu? Apa yang telah kau ambil dari jiwaku hingga rohku selalu bersenandung namamu? Apa kebahagiaan yang akan kau beri hingga aku dulunya berani bertaruh dengan waktuku menunggumu? Kenapa kau memilih hatiku sedangkan aku selalu cuek padamu? Apa yang telah kau lakukan pada hidupku? Kenapa kau dulu begitu berarti untukku? Apa yang surga telah rencanakan? Apakah kau dulu bidadariku, dan bagaimana dengan sekarang? Kenapa cintamu masih membekas meski sudah lama hilang?

Apa yang aku inginkan telah aku mengerti, telah aku pahami tapi tidak tentang kamu lagi. Kini kebahagiaanku tak hanya karena ada kamu di sampingku. Masih ada cinta lain yang menyayangiku. Dia adalah Kayla. Darinya aku merasa bahagia seutuhnya. Pun dirimu, Kiftiya, dengan keluargamulah kau dapat berteduh, bercengkraman dan mencurahkan perasaan. Jangan biarkan logika dan rasiomu terhenti. Bukankah manusia terlahir untuk memilih? Kenapa aku, kau, dan kita sulit memilih pilihan itu? Bukankah manusia punya pilihan dan harus memilih. Pada akhirnya nanti semua berawal dan berakhir dari sebuah pilihan pula.

Kiftiya, kuberitahu kau satu hal mengenai pilihanku, selama ini aku berusaha menyebrangi lautan, naik turun gunung dan mengelilingi daratan tanpa tujuan pasti. Berminggu-minggu hanya melihat cakrawala, sempurna, tapi sebenarnya kosong. Kau hidup dalam ketakutan. Takut akan badai. Takut mabuk laut. Takut ban meletus di tengah hutan. Takut akan keluasan. Takut gagal. Jadi kau harus mengendalikan rasa takut itu dalam-dalam dengan mempelajari peta. Memperhatikan arah angin. Berharap telanjang, rentang, lagi-lagi berharap.

Dan aku tahu betul, itulah yang akan dan sudah terjadi, entah kapan, entah cepat, entah lambat. Awalnya hanya kabut di cakrawala. Jadi kau memperhatikan. Lalu ada keremangan bayangan nun jauh di sana. Untuk sehari. Lalu sehari kemudian. Noda itu pelan menyebar sepanjang cakrawala menjadi sebuah bentuk hingga di hari ketiga, kau mulai percaya. Kau berani membisikkan kata itu. Daratan. Kehidupan. Kebangkitan. Muncul dari tempat yang tak dikenal dari keluasan menuju kehidupan baru. Untuk saat ini itulah pilihanku. Jalan kodrati. [bersambung]

Komentar
Loading...