Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #36

Ikhlas

Oleh: Jendra Wiswara

Aku menggeragap terbangun mendengar desing suara kereta. Nyaris saja terjatuh dari kursi. Buru-buru tanganku menggerayang badan kursi mencari entah apa. Kesadaranku belum pulih seratus prosen. Demikian pula suara masinis dengan microphonenya telah meyakinkanku bahwa hari sudah pagi, namun tubuhku masih tergeletak di tempatnya. Seakan tiada keinginan untuk bangun. Pengepel lantai menegurku: sudah subuh, Mas.

Aku tahu sebelum kau tegur kereta itu telah membangunkanku. Aku bangun. Duduk di kursi kupandangi orang-orang di sekeliling, masih sepi. Kuputar badan ke kiri dan ke kanan, keluar bunyi: kreek! kreek!

Leher juga tak ketinggalan, kupelintir serta merta mengeluarkan bunyi kreek seperti patah. Kualihkan pandangan ke ransel, masih aman. Kukira sewaktu tidur ransel sudah diambil orang. Ternyata dia belum bergeser sedikit pun dari tempatnya. Barangkali malingnya sungkan mengambil karena di dalamnya tiada berisi barang berharga.

Tiba-tiba suasana menjadi agak tenang. Orang-orang terdiam dan hiruk pikuk kereta mereda. Kudengar bunyi adzan. Ah, rupanya Tuhan telah menegur semuanya. Telinga mereka terpasang, memperhatikan sayup-sayup suara tabuhan beduk, lalu diiringi gema muadzin yang lantang dalam sebuah microphone.

Suasana bertambah hening. Orang-orang membuka mata lebar-lebar, seolah-olah mereka bisa melihat lebih banyak lagi. Setelah suara adzan diakhir kata Laa ilaaha illallaah, muncullah laki-laki bertampang sangar membawa barang bawaan meletakkannya dalam gerbong kereta.

Kulihat orang-orang mulai saling berbicara, tertawa, sebagian hanya diam menunggu. Ada pula yang membelikan jajanan untuk anak-anak mereka dari penjual stan di stasiun.

Di stasiun Solo Balapan ini tiada ada pekerjaan yang bisa disebut pekerjaan. Semua orang mulai menyibukkan diri. Kondisi semakin membuat gerah manakala orang berduyun-duyun memadati stasiun. Tentu saja ini mengancam keberadaanku.

Sebelum suasana menjadi ramai, aku segera bangkit. Berjalan landai menuju sebuah mushola. Tiada sarung kutemui. Terus bagaimana aku sholat. Kutunggu beberapa menit seorang lelaki tua datang mendekat. Tanpa mengucap sepatah kata, hanya senyum mengembang, dia memasuki mushola dan berganti dengan sarung yang dibawanya.

Kebetulan pikirku, setelah menunggunya beberapa menit, lantas kudekati. Kukatakan maksudku hendak meminjam sarungnya, dia tidak berkeberatan.

Pagi itu urusanku dengan Allah sudah selesai, perjalanan berikutnya telah menunggu. Kukembalikan sarung pinjaman dengan ucapan terima kasih. Namun sebelum beranjak, tiba-tiba suatu sensasi menyerang pendalamanku. Sensasi itu menjalari perutku dengan melilit-lilit meninggalkan kesakitan luar biasa. Mungkin disebabkan panganan ular semalam.

Aku berlari mencari toilet. Kupegangi perut yang seakan-akan hendak meledak dari dalam. Kutanya pengepel lantai: di mana toiletnya, Pak!

Kupercepat langkah dengan terseok-seok, kedua kakiku menyeret antara sandal dan lantai. Kutinggalkan segala macam pikiran dan beban dengan membelakanginya. Saat itu berhasil mencapai toilet adalah harapan terbesarku.

Sekian detik berlalu, akhirnya aku berhasil menduduki wastafel. Seperti halnya para penguasa yang duduk di kursi panas, di sini aku segera meluapkan emosi yang tertahan. Aku bebas melakukan apa saja selama auratku tertutupi dan tidak diketahui orang lain.

Rasa lega seketika menyeruak di sekujur tubuh. Tak kukira begini hebatnya rejeki yang diberikan Allah padaku. Usai menunaikan hajat, aku segera keluar. Seorang lelaki tiba-tiba menyetop, “Tunggu dulu, Mas, jangan lupa ini,” dia menunjuk pada kotak amal yang kulewati.

Aku diam.

“Berapa, Mas?”

“Seribu.”

Aku kembali diam.

“Sontoloyo.” Batinku berkata.

Dunia sekarang serba dipenuhi keruwetan. Sekedar buang hajat saja harus bayar. Aku pergi meninggalkan toilet sambil ngomel-ngomel. Duduk di kursi tunggu penumpang, kulayangkan pandangan ke orang-orang dengan muka masam.

Seorang pria tua yang duduk di sebelahku mengetahui kekesalanku.

“Kenapa, Nak. Kok kelihatannya muram?” Tanyanya.

Rupanya pria itu yang tadi meminjami aku sarung.

“Eh, Bapak. Biasalah pak. Namanya juga lagi kesal. Bapak mau tujuan ke mana?”

“Mau ke Surabaya. Menengok cucu,” jawabnya.

“Oh rumah saya Surabaya, Pak!” Seruku.

“Oh iya.”

Nampaknya pria tua itu tidak tertarik bertanya lanjut soal kotaku. Dia lebih tertarik menanyakan tujuanku. Karuan kubilang kalau aku sedang perjalanan ke Yogja. Namun aku tidak menunggu kereta. Hanya karena kemalaman, akhirnya aku tidur di stasiun.

Dengan pria tua itu, aku ngobrol banyak hal sembari menunggu kereta datang. Pria tua itu bertanya alasan aku kesal. Kuceritakan padanya bahwa aku kesal karena usai buang hajat diminta bayar. Rupanya, ia juga menyiyakan kekesalanku.

“Padahal buang hajat itu juga ibadah. Kok diminta bayar,” katanya.

“Mengapa bisa dikatakan ibadah, Pak?” Tanyaku.

“Bagaimana perasaanmu sewaktu buang hajat tadi?” Ia bertanya balik.

“Lega, plong, dan enak. Merasa tidak ada sesuatu yang merusuhi atau mengganggu.”

“Apakah kamu ikhlas?”

“Sangat ikhlas.”

“Bagaimana kalau kamu diganggu sewaktu buang hajat?”

“Ya, marah. Sebab mereka telah mengganggu privasiku.”

“Privasimu yang mana?”

Aku sedikit kesulitan menghadapi pertanyaannya.

“Kemaluanku. Aibku.”

“Kenapa kamu bilang aib?”

“Iya, karena itu auratku,” aku menggeragap menjawab pertanyaannya, dan sebelum menemui kesalahan kuputuskan balik bertanya, “memangnya semua pertanyaan ini apa hubungannya?”

“Lega, nikmat, ikhlas, privasi, marah, aib, dan aurat,” dia berhenti lalu meneruskan, “itulah salah satu ibadah yang sangat mulia. Sama dengan zakat yang sebenarnya adalah mengeluarkan kotoran dalam diri kita, sehingga tidak menimbulkan sakit pada tubuh ini. Sayang, sampai sekarang orang-orang tidak pernah menyadari akan hal itu.”

“Bagaimana bisa?” Aku masih belum mengerti.

“Lega dan nikmat, apapun ibadah manusia haruslah dilandasi perasaan bahagia, bukan karena embel-embel pahala dan akherat. Semua murni demi Tuhan. Kalau sudah begitu tiada pikiran aneh-aneh dalam benak mereka, selain lega, plong, enak, nikmat dan ikhlas.”

“Bagaimana dengan privasi?”

“Privasi sifatnya rahasia. Ada hadist menyebutkan bahwa ketika tangan kanan memberi, jangan sampai tangan kiri kelihatan. Saat ini banyak kita temui orang-orang menyedekahkan hartanya karena ingin dilihat, dipuji, dan mendapat penghargaan sebagai seorang berhati mulia. Kenapa mereka tidak meniru layaknya seorang buang hajat yang privasinya sangat dijaga betul. Padahal yang dilakukannya juga merupakan ibadah. Mereka yang buang hajat sanggup menutupinya tanpa diketahui orang lain. Dan ketika rahasia tersebut diketahui orang, maka marahlah dia.”

“Ibadah kan bukan termasuk aib?”

“Kenapa kamu tidak merasakan demikian. Bukankah lebih baik jika ibadahmu kau anggap sebagai aib, agar dapat menjauhkan diri dari sifat riya’. Kenapa saya bilang aib, apapun rutinitasmu kalau tidak karena Allah tidak akan bisa. Kau bisa zakat, tapi kau lupa darimana rejeki yang diberikan padamu. Aib merupakan perendahan diri dan ketidakberdayaan manusia di hadapan Sang Pencipta. Karena itu aib atau ketidakberdayaanmu tidak perlu ditunjukkan pada sesamanya. Cukup kamu dan Dia saja yang tahu.”

Kata-kata pria tua itu membuatku shock. Aku tidak menduga bahwa masalah sepele seperti buang hajat memiliki pemahaman begitu besar. Makanya, ketika kulihat seorang menarik upeti lantaran dia menunaikan hajatnya, yang muncul pertama dalam pemikiranku adalah di mana-mana Tuhan kok dijual. Betapa mahalnya harga sebuah ibadah.

Aku tidak bisa bicara banyak hal dengan pria tua tersebut, sebab sudah keburu pergi mengejar keretanya menuju Surabaya. Sampai sekarang pun aku tidak pernah tahu nama pria itu, dan tidak tidak tahu ia tinggal di Solo mana.

Ada baiknya aku menyebutnya dengan Kyai Sopo Nyono, seperti halnya guru Kyai Hasan Besari yang tiada diketahui identitasnya.

Aku sangat paham biasanya orang-orang semacam itu tak ingin dikenal. Mereka sangat menjaga kerahasiannya, rahasia serahasianya dengan pemikiran yang jauh ke depan. Mungkin juga ia seorang wali yang macak (dandan) layaknya orang-orang biasa. Barangkali dugaanku tidak jauh dari kebenaran.

Yang jelas sosoknya sudah demikian yakin akan kekuatan dirinya, ciri pribadi yang sedang melangkah ke arah kebesaran. Bukan kepada manusia, tetapi kepada Tuhannya. Ia sudah yakin pada gambaran tentang dirinya sendiri, jati dirinya dan aku wajib mengikutinya.

Kalau saat ini orang mulai memaafkan, saling melupakan, menutup mata terhadap kekurangan-kekurangannya. Justru ia melangkah dalam kebalikannya. Manusia dengan banyak kelebihan ini, aku secara pribadi benar-benar menghormatinya dengan tulus. Aku menghormatinya dengan diam-diam. [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...