Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Titik Nadhir #43

Kota Bawah dan Kota Atas

Oleh: Jendra Wiswara

Setelah perut terisi pecel Semanggi, perjalanan kulanjutkan. Cuaca di atas awan belum menunjukkan tanda-tanda hujan akan berhenti. Bahkan semakin lama kian menghitam. Kumpulan awan-awan hitam siap menyapu daratan yang kulalui. Kukenakan jas hujan yang robek dan segera meninggalkan Ambarawa menuju Ungaran hingga Semarang. Dari Ungaran aku tidak berhenti, namun aku masih bisa menyaksikan pemandangan perbukitan dan pegunungan berada di samping kiri. Sayang sewaktu hujan, kabut sekali lagi telah menghambat pandanganku.

Memasuki Semarang, entah kenapa tiba-tiba mataku tertuju pada lalu lalang motor. Kebanyakan pengendara motor memiliki rasa disiplin sangat tinggi. Rata-rata motor dilengkapi dua buah spion yang terpasang di antara stir, dan juga helm standard tidak ketinggalan. Hal ini pula yang kemudian memicu ketakutanku akan sosok polisi. Memang sejak dari Klaten, orang-rang telah mewanti-wanti aku agar membeli spion sekedar pelengkap motorku yang hanya memiliki sebuah. Katanya, polisi di Semarang sangat sigap dan awas. Mereka sewaktu-waktu dapat menghentikanku kapan saja. Pun polisi di setiap pertigaan atau perempatan lampu merah terkenal garang dan tanpa belas kasihan dalam menindak para pelanggar. Bila melihat motor berspion satu mereka tanpa babibu langsung memberikan surat tilang.

Sejak dikeluarkannya aturan kelengkapan berkendara, hampir-hampir masyarakat Semarang menaatinya dengan sungguh-sungguh. Para pengendara maupun aparat sangat tegas menerapkan perda tersebut. Saat itu Surabaya dan daerah-daerah lain belum menerapkan aturan dua spion.

Pesan orang-orang Klaten kuabaikan, justru ini kemudian menjadi bumerang bagiku. Aku pun menjadi mata-mata untuk diri sendiri. Di sepanjang perjalanan fokusku hanya tertuju pada spion-spion pengendara motor. Semakin aku berusaha menghilangkan perhatian, ketakutan luar biasa terus menghantui. Soal helm aku tidak memusingkan, helmku teropong jadi tidak masalah. Hanya saja masalah spion ini lambat laun menjadi permasalahan yang tiada habis-habisnya.

Setiap kali melewati pertigaan atau perempatan lampu merah, mataku selalu terpaku pada petugas yang berdiri di ujung jalan. Sesekali kali melemparkan senyum kepada mereka. Tapi ketika mereka menyambar senyumnya, aku malah berpaling seolah-olah cuek. Memang konyol jika sampai ditilang di Semarang hanya karena sebuah spion yang tidak genap.

Dari sini akhirnya muncul beberapa penawaran terhadap diri, sebuah pemikiran kolot yang lebih dekat pada keputusasaan. Begini: seandainya ada petugas yang menghentikanku lantaran spion, akan kukatakan kepada mereka bahwa aku berasal dari Surabaya–bisa dilihat dari plat nomer–dan karena ketidaktahuanku maka tidak sepantasnya aku ditilang. Cara kedua tak kalah hebatnya, seandainya petugas tetap ngotot menilang, aku berjanji pada diri sendiri tidak akan membayar surat tilang. Biarlah aku ditilang dan SIM diambil polisi. Surat tilang tersebut akan kupakai meneruskan perjalanan. Sedang di Surabaya nanti sewaktu pengurusan SIM, akan kukatakan kepada petugas Samsat bahwa SIM-ku hilang di tengah jalan.

Namun yang terjadi selanjutnya justru di luar perhitungan. Ketika berhenti di lampu merah, seorang petugas sempat mendatangiku, tapi kemudian balik arah setelah melihat motorku berplat L. Menginjak lampu merah berikutnya, seorang petugas lagi-lagi mendatangiku. Bahkan sebelum lampu hijau dia telah meminggirkan motorku ke posnya. Di sini terjadi perdebatan sengit. Ujung-ujungnya akulah pemenangnya. Akan tetapi dengan cerdik dan sikap lemah gemulai kukatakan ketidaktahuanku mengenai peraturan Semarang yang menerapkan sistem berbeda dari Surabaya. Tak lupa kulayangkan sebuah pujian kepada warga Semarang yang sangat disiplin dalam menerapkan peraturan. Dia bangga, aku dilepasnya. Sebelum memasuki Tugu Muda, seorang berseragam polisi kembali mencegatku. Aku dipinggirkannya. Ia bertanya mengapa motorku hanya berspion satu.

“Anda harus ditilang,” ancamnya sambil melihat-lihat suratku.

Aku termenung memikirkan sebuah rencana brilian untuk dapat mengelabuinya. Kuterawang polisi tersebut dengan penuh kehati-hatian. Usianya masih belia, sekitar 20-an. Seperti dia baru menyelesaikan pendidikan dan diterjunkan langsung menghadapi masyarakat bengal seperti aku. Cara dia berkomunikasi denganku masih nampak kaku. Terbesit dari raut wajahnya keragu-raguan. Setiap mengeluarkan kata-kata lidahnya seperti tertekuk. Polisi muda lebih agak kaku, sementara polisi tua harus diajak bersopan santun, bahkan kalau perlu memujinya.

Terhadap polisi yang berpengalaman ini, aku sudah berhasil beramah tamah dengan mereka. Kini giliran polisi muda. Kepada dia kuceritakan sebuah peristiwa-peristiwa penting yang kutemui selama dalam perjalanan. Bukan sekedar cerita biasa melainkan sebuah cerita yang mengundang adrenalin kemudaannya tercerabut dari akar pendalaman. Aku mengerti seorang berusia muda, apalagi polisi yang baru lulus pendidikan, mereka tidak begitu tertarik pada cerita-cerita politik berikut tetek bengeknya. Cerita semacam itu tidak mengandung janji menguntungkan dan tidak mengundang adrenalin terpingkal-pingkal. Harus dituangkan api di dalam persoalan ini.

“Bagaimana sih, Pak, cewek di kota Semarang. Katanya cuantik-cuantik ya.” Kupancing obrolan ke arah sana, dan karena aku berdiri tidak jauh dari Tugu Muda, maka kuarahkan pertanyaan seputar anak-anak muda yang sering nongrong di tempat tersebut.

“Yah, biasa-biasa saja sih. Kalau malam minggu di tempat ini banyak dipadati anak-anak muda. Bahkan di Lawang Sewu sana sering dibuat anak-anak muda nongkrong,” dia menunjuk ke arah bangunan tua, “banyak juga dari mereka yang berpacaran di tempat itu.”

Dia menanggapiku dengan ekspresi cuek, tapi setidaknya aku berhasil membuka obrolan dengannya.

“Kemarin saya baru dari Bali, di sana ceweknya cakep-cakep. Saya juga berkenalan dengan bule cantik. Kebetulan perjalanan saya sekarang berkeliling dari satu kota ke kota lain. Tujuannya untuk mengenal budaya setiap daerah. Mumpung masih muda, Pak!” Jawabku ringkas.

“Mas dari Bali berkendara motor ini,” dia kaget, tapi aku lebih kaget ketika dia menunjuk motor butut kesayanganku dengan ekspresi tidak bersemangat.

“Iya,” tawaku terkekeh-kekeh memendang perasaan carut-marut.

“Setelah ini saya mau ke Lawang Sewu, saya juga penasaran dengan bangunan tua itu. Kata orang seram dan angker, makanya saya ingin membuktikannya sendiri untuk kuajukan ke pimpinan Surabaya.”

“Untuk apa?” Dia penasaran, sepertinya kata-kataku mengena.

“Sekarang ini banyak tayangan televisi yang mempertontonkan uji nyali. Makanya saya dan kru ingin mengadakan uji nyali di sana.”

“Anda dari televisi?”

“Saya dari media. Saya ingin menulis cerita Lawang Sewu, Pak. Nah, mumpung ada bapak, Jadi saya tak perlu repot-repot bertanya kepada orang lain.”

“Anda dari media apa?” Kusebutkan nama media RAR.

“Wah, bagus tuh. Sekarang media sudah jarang meliput Lawang Sewu lagi. Mungkin mereka sudah bosan. Pasti enak ya kerja di media, bisa bertemu banyak pejabat tinggi.”

“Alhamdulillah, Pak!”

“Ya sudah karena Mas dari Surabaya, saya tidak jadi menilang karena ketidaktahuan Mas. Tapi ini peringatan. Nanti setelah sampai Surabaya, harus dilengkapi spionnya.”

“Beres, Pak!” Dan sebelum pergi polisi muda itu menanyakan kapan tulisan Lawang Sewu akan dimuat. Kukatakan saja dalam waktu dekat.

Satu polisi lagi berhasil kuajak beramah tamah. Dan aku, dengan perasaan bangga melenggang meninggalkannya seorang diri di tepi jalan. Agar tidak terkesan berbohong, kuarahkan motor menuju Lawang Sewu. Dari balik spion kuperhatikan polisi tersebut masih mengawasi dari kejauhan. Itu tidak penting lagi, yang penting aku telah terbebas dari urusan tilang menilang.

Lawang Sewu, sudah banyak diceritakan orang-orang. Aku lebih suka bercerita soal Kota Semarang. Kota ini terkenal dengan datarannya yang turun naik sehingga di beberapa titik dapat terlihat pemandangan kota yang sangat indah, apalagi bila dilihat pada malam hari.

Pemandangan Semarang dari atas ke bawah atau bawah ke atas sangat menakjubkan, seperti melihat istana kerajaan dihiasi gemerlap lampu-lampu perkotaan.

Jujur, aku sendiri belum pernah ke Semarang. Dulu pernah sewaktu masih kecil. Kala itu ayahku mengaja singgah di rumah Pakde yang bernama Soekarno. Ketika itu profesinya adalah wartawan koran Suara Merdeka. Sekarang ia sudah menetap di Jakarta bersama isteri dan anak-anaknya. Bahkan kalau boleh jujur, sewaktu aku baru lahir, cerita ibu, fotoku semasa bayi sudah disebarluaskan ke seluruh masyarakat Semarang yang dimuat di koran Suara Merdeka. Aku tidak tahu tulisannya, yang jelas aku memprediksi isi tulisannya tidak jauh dari ucapan selamat, seperti: Telah lahir dengan selamat anak dari Bapak Sungkowo, keponakan dari wartawan Suara Merdeka: Soekarno.

Waktu itu ayahku juga menjabat wartawan di Surabaya. Beberapa kali ayahku pernah dikirim meliput Pekan Olahraga Nasional (PON) yang diselenggarakan di Jakarta. Bangga sih bangga fotoku ditayangkan di sebuah harian, hanya kesalahan mereka (ayah dan pakde) adalah tidak meminta ijin kepadaku terlebih dahulu. Ini namanya pelanggaran hak asasi manusia, begitu candaku kepada ayah sewaktu beliau masih hidup.

Makanya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Semarang, aku sama sekali tidak kaget. Meski sudah lupa bagaimana seluk beluknya, setidaknya aku dapat menceritakan bagaimana kondisi kota Semarang saat ini.

Secara geografis masyarakat Semarang sering membagi kota atau kawasannya menjadi dua bagian, yang pertama yaitu Kota Bawah dan Kota Atas. Kota Semarang mempunyai 16 kecamatan dan 4 kecamatan di antaranya terletak di Kota Atas.

Kota Bawah Semarang terletak di dataran rendah Kota Semarang. Di kawasan ini seringkali dijumpai masalah banjir yang disebabkan oleh luapan air laut terutama di daerah Kota Lama dan sekitarnya. Rob–istilah banjir–muncul hampir setiap hari tanpa harus menunggu musim hujan datang. Airnya datang dari laut. Di kota bawah hampir seluruh aktivitas ekonomi Kota Semarang berlangsung, seperti kawasan Simpang Lima yang terkenal dengan aktivitas belanja dan kulinernya, atau kawasan Pandanaran dan Pemuda dengan gedung-gedung perkantorannya.

Untuk daerah industri ditempatkan di pinggir batas Kota Semarang seperti daerah Tugu yang dengan Kota Kendal ataupun daerah Kaligawe yang berbatasan dengan Demak.

Sementara Kota Atas terletak di sebelah selatan yang merupakan dataran lebih tinggi. Di beberapa titik di Kota Atas dapat dilihat pemandangan Kota Semarang seperti kawasan Gombel yang sudah sangat terkenal.

Karena kelebihannya, di Gombel pada malam hari sangat aktif dengan kegiatan kuliner, karena beberapa restoran dan kafe kecil memanfaatkan pemandangan Kota Semarang di malam hari untuk disajikan pada tamu-tamunya.

Selain sajian kuliner, Universitas Diponegoro juga mempunyai beberapa fakultas yang ditempatkan di Kota Atas, tepatnya di kawasan Tembalang. Stadion Jatidiri yang menjadi kebanggaan masyarakat pencinta sepakbola juga dibangun di sana. Rata-rata sistem transportasi di Kota Semarang masih mengandalkan angkota dan bis sebagai angkutan umumnya. Untuk Kota Bawah biasanya kawasan Simpang Lima menjadi obyek tujuan utama. Simpang Lima sangat mudah untuk dicapai dengan angkutan apapun karena angkutan umum dari berbagai kawasan di Kota Semarang pasti menyediakan salah satu jalurnya ke kawasan ini.

Nah, sewaktu memasuki Lawang Sewu yang pertama kulihat adalah bangunan tua peninggalan kolonial yang banyak menghembuskan cerita-cerita horor, seram, mistik, keramat ketimbang nilai sejarahnya sendiri.

Namun semua keangkeran dan kekeramatan Lawang Sewu tergantung dari orang yang meyakininya. Jika tidak percaya, silahkan saja, jika percaya ya monggo saja. Yang jelas kedatanganku ke Lawang Sewu karena ingin menghindari tilangan polisi. Dan sewaktu aku sedang nongkrong di depan bangunan tersebut, nampak olehku lelaki berparas gendut dengan usia masih sangat belia, sekitar 25 tahun. Pipinya tembem. Kulitnya sawo matang. Ketika duduk ia seakan kesulitan menampuk timbunan lemak di perutnya.

Lelaki itu mengenakan jaket biru dengan dilingkari tali tas mungil di dadanya. Sepintas dilihat dari penampilannya, lelaki tersebut lebih tua dari usia sebenarnya. Secara tidak sengaja aku berkenalan dengannya. Namanya Edi. Tinggal di Wisma Sari. Saat berkenalan baru kuketahui kalau Edi sudah memiliki seorang anak. Dari sini kemudian aku diajak mampir di rumahnya. Kebetulan pikirku, sebab hari sudah menjelang magrib, sementara aku belum mendapatkan tempat singgah selain masjid dan tentu saja terminal atau stasiun.

Aku mengikuti Edi hingga tiba di rumahnya di Jalan Gudo, Kalian, Semarang, letaknya dekat dengan kampus IAIN Wali Songo. Aku heran sewaktu diajak Edi memasuki warung soto bertuliskan Pak Man. Kata orang warung soto ‘Pak Man’ sangat terkenal kekhasannya. Jangankan memikirkan untuk makan, aku sendiri masih bingung memikirkan bagaimana membayarnya. Meski uangku masih cukup, setidaknya aku harus mengiritnya agar tidak kehabisan bekal di perjalanan.

Sewaktu di warung, alamak, ternyata Edi adalah anak dari pemiliknya. Di situ aku dijamu bak raja. Sempat kutolak tawarannya, kemudian dia bilang, “Silahkan dinikmati sepuasnya, Mas,” katanya.

Makanan soto yang dihidangkan sangat beragam. Sotonya sendiri termasuk paling khas. Aroma masakan yang kuhirup meninggalkan rasa sedap melunjak-lunjak usus perut. Yang unik, soto tersebut diletakkan dalam sebuah mangkuk berukuran mini, sendoknya pun juga unik, pokoknya tatanannya sangat berbeda dengan Soto Surabaya. Sedang lauknya diletakkan di sampingku, ada telur puyuh disunduk, jeroan disunduk pula, usus ayam lagi-lagi disunduk, dan banyak lagi. Kalau saja aku tidak memiliki malu, mungkin semua panganan di hadapanku sudah ‘kubumihanguskan’ ke dalam perutku. Hanya soto yang kuhabiskan. Lumayan akhirnya aku dapat makan gratis.

Waktu magrib telah tiba. Aku diajak Edi ke lantai atas. Di sini berbagai panganan lagi-lagi disajikan di hadapanku, seakan mereka tak henti-hentinya mengejek perutku agar mau kusantap semua. Sayangnya aku bukan seorang kemaruk (rakus). Sehingga untuk menghabiskan semuanya aku tak sanggup. Beberapa panganan memang kusantap, hanya saja kutinggalkan sedikit untuk para penghuninya.

Di warung tersebut, Edi setidaknya telah mempekerjakan lima orang, dan beberapa lagi bekerja sebagai pengurus rumah. Sebelum malam, Edi mengajak istirahat ke rumahnya di Wisma Sari. Tak kusangka ternyata warung sebesar itu, dimana bagian dalam dilengkapi banyak kamar dan bertingkat tiga, bukan merupakan rumah pribadi melainkan sekedar rumah bisnis.

Saat itu aku mengikuti Edi, sebelum akhirnya pamitan kepada ibu Edi–aku memanggilnya Bulik Pon. Nama lengkapnya Ponirah. Kukira rumah Edi yang kedua ini jauh, ternyata dari warung hanya berjarak satu kilometer. Hanya jalannya sedikit menanjak.

Setiba di rumah pukul 7 malam. Kami duduk di depan televisi. Kepadaku Edi bertanya banyak hal seputar perjalanan berkeliling:

“Selama ini, Mas, sudah sampai mana saja?”

“Dari sini terus ke sana…” semua kuceritai dengan runtut. Edi mendengarkan cerita dengan seksama.

Malamnya kami menghabiskan waktu menonton film. Dalam kesempatan itu, lagi-lagi aku dihidangkan beragam panganan. Padahal baru dua jam lalu kami makan, dan sekarang makan lagi. Pantas Edi tubuhnya gendut, lha wong setiap malam selalu ngemil.

Menginjak tengah malam, tontonan berubah menjadi tayangan sepak bola Liga Italia. Rupanya Edi gemar menonton bola. Hal ini tidak membuatku kaget, sebab di jaketnya juga terdapat tulisan PSIS.

Ah, pastilah dia supporter berat klub berasal dari Semarang tersebut, sampai-sampai di jaket dan motornya terdapat tempelan nama klubnya. PSIS adalah musuh bebuyutan Persebaya–klub kotaku. Namun meski beda daerah dan klub, kami tetap menjadi sahabat yang baik. Kami bukan musuh dalam pertarungan yang sebenarnya.

Malam itu aku meminta diri untuk tidur. Baru kali ini sepanjang perjalanan berkeliling dari Bali, Lombok, dan Jawa, aku dapat tidur di atas kasur yang empuk. Belum lagi makanan yang menumpuk di perutku, membuat kesadaran ini ingin segera menggapai angan-angan di atas awan mimpi.

Semua serasa begitu menyenangkan, mengenakkan, dan seperti berada di surganya Allah. Di atas kasur empuk itu aku merebahkan punggung. Dari belakang kurasai punggung hingga leherku seakan dipijat-pijat: empuk dan enak. Aku lalu tertidur pulas, bergelut bersama bantal serta guling. Saking nyenyaknya tidurku, sampai-sampai kesiangan untuk sholat subuh.[bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...