Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #21

Puasa 40 Hari, Tidak Menjamah Istri

Oleh: Jendra Wiswara

Sebelum Subuh, Iksan sudah bangun. Dia melihat istrinya masih terlelap di sampingnya. Dikecup kening istrinya, lalu pergi menuju mushala.

Hari pertama pernikahan mereka tidak terjadi apa-apa. Iksan tetap menjalankan rutinitas seperti biasa. Di hari pertama pernikahan, Iksan memutuskan untuk berpuasa.

Pulang dari mushala, Iksan disambut Nunuk.

“Mas, dari mana?” Sapa Nunuk tersenyum.

“Dari mushala, Dik. Kamu sudah bangun,” sahut Iksan.

“Sudah Mas. Kamu tidak mau tidur lagi, Mas. Kamu sama sekali belum menjamahku,” rayu Nunuk.

“Hari ini aku lagi puasa, Dik.”

Iksan lalu menggelar sajadah di samping ranjang istrinya. Dia meraih Alquran dan membacanya.

Tampak ada kekecewaan di raut wajah Nunuk. Malam pertama yang seharusnya menjadi malam indah bagi semua pengantin baru, tidak dirasakan oleh Nunuk.

“Malam pertama, Mas Iksan sama sekali tidak menjamahku. Dia hanya mengecup keningku setiap kali hendak pergi ke mushala. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran Mas Iksan. Saben hari dia selalu sholat, dzikir, baca Alquran, dan puasa.”

Ya, satu hari telah lewat, tiga hari juga lewat, hingga tujuh hari dilewati. Laki-laki itu belum sekalipun menjamah istrinya.

Pagi dan siang setiap diajak berhubungan intim oleh istrinya, jawaban Iksan selalu sama: sedang berpuasa.

Malamnya diajak berhubungan intim, jawaban Iksan selalu sama, sedang sholat, sedang mengaji.

Hal ini membuat Nunuk uring-uringan. Peringainya berubah-ubah. Apalagi ketika Iksan mengajaknya sholat, Nunuk selalu menolak dengan cara kasar.

“Buat apa sholat, Mas Iksan saja belum menjalankan kewajiban sebagai suami,” kata Nunuk.

“Sholat tiang agama, Dik. Kita tidak bisa meninggalkan sholat,” jawab Iksan kalem.

“Tapi aku juga punya hak sebagai istri, Mas,” gerutu Nunuk.

Iksan hanya tersenyum memandangi istrinya. Dia tidak marah pada istrinya. Tidak juga memaksa sang istri untuk sholat.

“Aku ke mushala dulu ya, Dik!” Serunya dengan senyum ramah. Hal ini membuat Nunuk geretan tapi juga tidak bisa melarang suaminya.

Sebelum pergi, seperti biasa Iksan mengecup kening istrinya.

“Assalamualaikum,” jawab Iksan.

Nunuk tidak membalas. Tampaknya dia masih kecewa dengan suaminya. Bahkan wajahnya dipalingkan dengan menunjukkan muka masam.

Iksan hanya tersenyum melihat kelakuan istrinya.

Ada ruang kekecewaan dialami Nunuk selama menjadi istri ustad muda tersebut. Ruang-ruang kekecewaan itu menjadi penghalang bagi Nunuk untuk menolak ajakan suaminya beribadah. Ruang kekecewaan itu timbul akibat pengaruh makhluk halus yang bersemayam di tubuh Nunuk.

Pengaruh jin dalam tubuh Nunuk telah mencengkram sangat kuat. Melihat keseharian suaminya beribadah, di situlah Nunuk berontak.

“Selama tujuh hari, Mas Iksan belum sekalipun menjamah tubuhku. Setiap malam kami selalu bertengkar. Saya marah kepada Mas Iksan. Saya merasa tidak diperlakukan layaknya seorang istri. Sekalipun saya marah, Mas Iksan tidak pernah balik memarahi. Saat saya mengolok-olok cara ibadahnya, dia tidak pernah marah. Malah menjawabnya dengan kata-kata halus dan menenangkan hati.”

Tujuh hari telah lewat, Iksan tampaknya belum mengakhiri ‘rutinitasnya’. Hal ini membuat peringai Nunuk makin kasar terhadap suaminya. Kata-kata makian meluncur begitu saja dari mulutnya.

Setiap malam yang didengar Nunuk hanya lantunan ayat-ayat suci Alquran. Bersamaan itu, kejadian-kejadian aneh kerap hadir.

Sekujur tubuh Nunuk seperti mendidih kepanasan. Tampaknya makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya berusaha untuk berontak.

Namun lain waktu, Nunuk berubah menjadi perempuan biasa. Perempuan manja, kalem, dan pemalu. Perempuan yang butuh dibelai. Dia berusaha merebut hati suaminya. Mulai dari merayu hingga bertelanjang di hadapan suaminya.

“Apa Mas tidak mau mendekap tubuhku. Malam ini aku ingin dibelai Mas Iksan,” rayu Nunuk.

Melihat Iksan diam dan tidak terpengaruh rayuan istrinya, Nunuk lantas bergelayut di pundak suaminya. Dia berusaha mencium suaminya. Iksan buru-buru bangkit dan hendak pergi meninggalkan istrinya.

“Aku ke mushala dulu ya,” sahutnya.

Langkah Iksan langsung dicegat Nunuk. Di pintu kamar, Nunuk berusaha menghalang-halangi.

“Ada apa di mushala. Mas Iksan bisa sholat di sini. Aku bisa menemanimu, Mas!” Seru Nunuk.

Iksan tidak menjawab pertanyaan Nunuk.

“Di mushala banyak setannya. Di sini aku akan melayani suamiku sepuasnya,” kata Nunuk

lantas membuang seluruh pakaian yang dikenakan. Dia kini telanjang di hadapan sang ustad.

Melihat pemandangan itu, Iksan diam terpaku. Sementara Nunuk dengan sikap manjanya, berusaha memeluk suaminya.

“Apa Mas tidak mau membelaiku. Aku sekarang milikmu seutuhnya,” belai Nunuk hendak mencium suaminya.

Rayuan itu buru-buru ditangkis Iksan dengan cara halus. Sejenak Iksan memandangi wajah istrinya. Mengamati lekuk-lekuk tubuh mempesona tanpa sehelai kain.

Lalu, Iksan membalikkan badan dan mengambil kain jarik di lemari. Membentangkannya dan dililitkan di tubuh istrinya.

“Kamu indah sebagai makhluk Allah. Tapi ini bukan kamu,” jawab Iksan tersenyum.

Iksan kemudian mencium kening istrinya. Minta ijin pergi ke mushola. Nunuk bersungut-sungut melihat kepergian suaminya. Dia merasa dilecehkan. Tanpa sadar, perempuan bahu laweyan itu mengeluarkan kata-kata makian.

“Dasar laki-laki bajingan. Setan. Iblis,” maki Nunuk sembari melempar benda-benda di kamar dan berteriak seperti orang kesurupan.

Teriakan Nunuk terdengar hingga ke telinga bapaknya yang sedang duduk di ruang tamu.

“Nak Iksan, ada apa?” Tanya bapaknya Nunuk buru-buru menghampiri.

“Tidak apa-apa, Pak. Hanya pertengkaran suami istri saja.”

“Tidak biasanya Nunuk seperti itu!” Seru sang bapak.

Iksan tersenyum.

“Apa bapak mau ke mushala?” Ajak Iksan.

Bapak Nunuk mengangguk. Keduanya berangkat ke mushala.

***

Sepulang dari mushala, bapak Nunuk mencegah Iksan masuk kamar. Sepertinya ada sesuatu yang hendak dibicarakan. Mereka duduk di ruang tamu.

“Nak Iksan, sebetulnya ada apa dengan Nunuk. Selama ini bapak dengar kalian sering bertengkar. Saya juga sering mendengar Nunuk berteriak di kamar?” Tanya sang bapak.

Iksan melepas kopyah di kepalanya. Menarik nafas dalam-dalam.

“Kiranya hanya Allah yang tahu,” jawab Iksan sembari berucap lirih menyebut nama Allah.

“Saya tidak pernah melihat Nunuk seperti itu!” Seru bapaknya Nunuk.

Yah, sepertinya makluk halus di tubuh Nunuk telah mempengaruhinya. Makhluk itu berusaha untuk keluar,” sahut Iksan.

“Apakah itu berbahaya, Nak Iksan!”

“Kita serahkan semua pada Allah Swt. Hanya Dia yang dapat menolong makhlukNya. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan memohon ampunanNya.”

Sejak pertama kali menjadi suami Nunuk, Iksan sendiri sudah memutuskan untuk tdak menjamah istrinya selama 40 hari. Dan selama itu pula, Iksan menjalankan puasa sunnah 40 hari mengikuti tradisi Nabi Musa saat menerima wahyu dari Allah di Bukit Sinai.

Langkah ini dilakukan Iksan sebagai upaya untuk mengusir makhluk halus yang bersemayam di tubuhnya.

“Nak Iksan,” bapaknya Nunuk membuyarkan lamunan Iksan.

“Iya, Pak!”

“Apakah Nunuk bisa sembuh?” Tanyanya.

“Sulit mengatakannya, Pak. Insya Allah, jin yang bersemayam di tubuh Nunuk bisa dihilangkan. Tapi tidak bisa hilang begitu saja. Dia sewaktu-waktu bisa kembali di saat kita lengah.”

“Berarti jin tidak bisa dibunuh ya, Nak?”

“Nabi Saw pernah berdoa: Aku berlindung dengan kemuliaan-Mu yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Dzat yang tidak akan mati. Sementara jin dan manusia akan mati. Hanya iblis dan golongan setan yang dijamin hidup sampai hari kiamat oleh Allah, sementara golongan jin dan manusia tidak. Tapi semua tergantung Allah Swt. Hanya Dia yang menentukan hidup dan mati kita.”

Dari dapur Nunuk keluar membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Menyuguhkan pada bapaknya dan suaminya.

Duduk bersebelahan dengan suaminya. Lalu tersenyum.

Wajah perempuan itu terlihat pucat. Seperti orang kelelahan. Matanya sayu dan cekung. Hari-hari ini Nunuk tengah dihadapkan pada pertarungan gaib antara suaminya dan Gendro Swara Pati.

“Kalian sedang membicarakan apa?” Tanya Nunuk pada kedua pria yang dicintainya.

“Hanya membicarakan masalah sawah saja. Sebentar lagi mau panen, Nduk,” elak bapaknya.

“Kalau begitu aku masuk kamar dulu. Sudah ngantuk,” balas Nunuk.

Sepeninggal Nunuk, Iksan berkata, “Itu adalah Nunuk, Pak. Sekarang ini dia menjadi dirinya sendiri. Jika bapak mendengar Nunuk berteriak dan ngamuk, itu bukan Nunuk.”

“Saya kasihan melihat Nunuk. Dia sepertinya tertekan.”

“Insya Allah, tidak akan terjadi apa-apa dengan Nunuk,” ujar Iksan menenangkan mertuanya.

[bersambung] 

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...