Bahu Laweyan #23
Bismillah…
Oleh: Noviyanto Aji
Nunuk pingsan. Kasihan perempuan itu. Dia sebenarnya tidak kuat menahan rasa sakit. Tapi, dia juga ingin segera terbebas dari cengkraman Gendro Swara Pati.
Selama 40 hari, tubuh Nunuk dipakai Gendro Swara Pati untuk bertarung melawan Iksan.
Dan kini, tubuh tidak berdaya itu terbujur di lantai dalam kondisi pingsan.
Raut wajah terlihat sangat ayu. Kali ini ada aura positif yang terpancar. Beda saat masih ada Gendro Swara Pati. Aura yang dipancarkan selalu negatif.
Dengan penuh kasih, Iksan membelai Nunuk. Mencium keningnya. Bekas-bekas kotoran yang menempel di tubuh sehabis bertarung dibersihkan.
Iksan kemudian menggendongnya ke tempat pembaringan. Cepat-cepat meraih selimut dan menyelimuti tubuh istrinya.
Sementara orang-orang di luar berbisik-bisik satu sama lain. Mereka masih belum percaya dengan kejadian yang baru dilihatnya.
Setelah selesai dengan urusan istrinya, Iksan mendatangi mereka. Tampaknya ada raut-raut wajah yang penasaran ingin mengetahui kejadian tadi.
Iksan duduk. Terdiam. Mengambil sebatang rokok. Dinyalakan. Disedot cukup dalam. Lalu dikeluarkan asapnya. Kepalanya mendongak ke atas melihat asap rokok. Asap itu beda dengan asap yang keluar dari dalam organ intim Nunuk.
Iksan manggut-manggut mengenangkan kejadian tadi. Tampak rona-rona kebahagian menyelimuti dirinya.
“Alhamdulillah,” ucapnya lirih.
Orang-orang masih memandangi Iksan. Tidak sabar menunggu jawaban dari ustad muda tersebut.
“Alhamdulillah, saya berterima kasih pada bapak-bapak yang mau membantu saya mengusir makhluk halus dalam diri istri saya,” kata Iksan.
“Makhluk ini bernama Gendro Swara Pati. Dia dari bangsa jin,” ucapnya.
Bapaknya Nunuk penasaran dan menanyakan status dari makhluk tersebut.
“Nak Iksan, apakah makhluk itu sudah mati?”
“Belum, Pak. Dia hanya keluar saja. Untuk saat ini dia tidak akan menganggu lagi,” jawab Iksan.
“Jadi belum mati, hmmm…” gumam bapaknya Nunuk.
“Sejatinya dalam tubuh kita ini ada qarin. Mereka mengikuti kita semenjak lahir hingga menjemput ajalnya.”
“Apakah qarin itu?” Tanya bapaknya Nunuk.
“Mereka sebangsa malaikat dan jin. Nabi Muhammad bersabda: Setiap kamu ada qarin daripada bangsa jin, dan juga qarin daripada bangsa malaikat,” jawab Iksan.
“Umumnya jin qarin ini bertugas mendorong dampingannya yakni manusia untuk berbuat kejahatan. Mereka membisikkan was-was, melalaikan shalat, tidak mau puasa, tidak pernah membaca Alquran dan sebagainya. Jin qarin bekerja sekuat tenaga untuk menghalang dampingannya membuat ibadah dan kebaikan. Bisikan jin itulah yang kian mengcengkram kuat Nunuk.”
“Berarti dia bisa kembali lagi?”
“Mungkin untuk waktu yang lama. Dia sekarang pasti akan mengumpulkan kekuatannya lagi. Mungkin juga akan meminta bantuan ke sesama jin. Wallahua’lam.”
“Bagaimana supaya kita semua terhindar dari bisikan jin-jin itu?” Beberapa orang bertanya.
“Untuk mengimbangi adanya pendamping jahat, Allah mengutus malaikat qarin yang selalu membisikkan hal-hal kebenaran. Malaikat qarin mengajak manusia berbuat kebaikan. Semoga kita semua dihindarkan dari perbuatan-perbuatan tercela dan selalu ingat pada Yang Maha Kuasa,” jawabnya.
“Amin,” dibalas serentak.
***
Malam semakin larut. Urusan mengusir jin selesai. Tinggal urusan Iksan menunaikan hajatnya sebagai seorang suami.
Warga sudah bubar. Bapaknya Nunuk segera masuk kamar. Iksan pun menutup pintu rumah dan berlalu menuju ke kamar.
Rupanya Nunuk sudah terbangun dari pingsannya. Dia duduk di depan cermin. Memandangi dirinya. Menyisir rambutnya yang acak-acakan.
Melihat kedatangan suaminya, Nunuk langsung berbalik badan. Memandangi suaminya dengan senyum sumringah.
“Mas, terima kasih sudah menolongku. Kamu rela mengorbankan waktumu demi aku. 40 hari bukan waktu singkat,” kata Nunuk.
“Ah, lupakan, dik. Kita semua sesama manusia harus saling membantu. Saat menikahimu aku sudah berjanji akan menyelesaikan masalahmu. Semoga saat ini dan seterusnya kita selalu mendapatkan ridho dariNya.”
“Amin,” balas Nunuk.
Iksan duduk di ranjang. Memandangi istrinya yang tengah bercermin. Cantik sekali, batinnya. Ribuan bidadari di surga, tidak akan bisa menggantikan kecantikan istrinya.
Bidadari-bidadari surga itu adalah janji Allah, untuk waktu yang cukup lama. Namun bidadari di hadapannya adalah janji Allah yang senyata-nyatanya.
“Allah menjadikan kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?.” (QS. An-Nahl ayat 72).
Perempuan di hadapannya, yang sedang bercermin manja, yang sedang mencuri-curi pandang pada Iksan melalui pantulan cermin, adalah salah satu nikmat Allah yang tidak terhingga.
Namun bagaimana cara Iksan bisa mereguk nikmat Allah itu. Bukankan kenikmatan itu sudah ada di depan matanya. Tinggal mereguk saja. Beres.
Sayangnya, keinginan Iksan mengungkapkan perasaan dikalahkan dengan rasa malu. Meski ilmu agamanya tinggi, tapi untuk urusan perasaan dia belum terbiasa.
Iksan sudah pernah mempelajari kitab-kitab bab rumah tangga. Secara teori dia paham adab-adab berhubungan intim dengan istri. Setiap pasangan suami istri ketika hendak berhubungan intim harus berakhlaq sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Ada adab-adabnya dan etikanya.
Menurut Imam Al-Ghazali, etika berhubungan badan dengan istri, pertama mengenakan wangi-wangian, kedua menggunakan kata-kata yang lembut, ketiga mengekspresikan kasih-mesra, keempat memberikan kecupan menggelora, kelima menunjukkan sayang senantiasa, keenam baca bismillah, ketujuh tidak melihat kemaluan istri karena konon menurunkan daya penglihatan, kedelapan mengenakan selimut atau kain (saat bercinta), dan kesembilan tidak menghadap kiblat.
Iksan tahu itu. Tapi praktiknya, sulit dilakukan. Pikirannya bimbang. Tidak tentu arah. Pahanya digoyangkan menunjukkan kegelisahan tingkat tinggi.
Melihat kegundahan sang suami, Nunuk pun buru-buru menyelesaikan bersoleknya. Dia lalu menghadap ke suaminya yang sedang kebingungan.
Tubuh Nunuk mengeluarkan aroma harum. Seiisi kamar menjadi harum. Tampaknya dia tahu malam itu adalah malam istimewa dalam hidupnya. Dan dia sudah menyiapkan malam istimewa itu untuk suaminya.
“Mas, sudah waktunya,” kata-katanya singkat tapi bagaikan angin surga bagi Iksan.
“Malam ini, aku terserah imamku. Aku akan menjadi makmummu seumur hidupku,” kata mesra yang membuat hati Iksan bermekaran.
Lalu, Nunuk pun melayangkan sebuah kecupan. Ini adalah kecupan penuh kasih, penuh cinta, penuh kelembutan. Ya, kecupan pertama kali sejak 40 hari dinikahi Iksan.
Nunuk menunjukkan kasih sayang seorang istri dengan kelembutan hatinya. Kasih sayang antar pria dan wanita, yang belum pernah dirasakan Iksan seumur hidupnya.
Tanpa sadar, Nunuk telah menyelesaikan lima bab etika pasangan suami istri sesuai arahan Imam Al-Ghazali. Selanjutnya giliran Iksan meneruskan.
“Bismillah…” ucap Iksan.
Bab-bab berikutnya dijalani Iksan dengan mulus. Dia tidak lagi canggung. Semua berjalan sesuai ajaran Nabi. Tidak ada yang dilanggar.
Tidak ada lagi setan tertawa terbahak-bahak. Kali ini, justru malaikat-malaikat yang tersenyum. Ada malaikat bumi dan malaikat langit. Mereka menjaga makhluk Allah. Mengiringi setiap gerak gerik mereka.
Kedua sejoli itu masuk dalam golongan yang gentar, dan untuk mereka, Allah telah menyediakan dua surga.
Ya, Allah yang telah meninggikan langit dan memberi keseimbangan hidup supaya tidak dilanggar oleh makhlukNya. Allah juga telah menghamparkan bumi untuk golongan makhluk, di mana terdapat buah-buah serta pepohonan kurma yang mempunyai kelopak mayang, serta biji-biji yang berkulit, serta bunga-bunga yang harum semerbak. Reguklah kenikmatan itu. Maka manakah karunia Allah yang kalian berdua bantah?
Malam itu, Iksan sukses melaksanakan tugasnya sebagai seorang suami.
[bersambung]