Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #27

Wali Allah

Oleh: Jendra Wiswara

Hutan itu meski memiliki panorama indah, juga menyimpan sederet kisah mistis.

Jika malam tiba, keangkerannya bisa membuat bulu kudu berdiri. Apalagi letaknya di bawah kaki gunung Penanggungan.

Masyarakat masa lalu mempercayai gunung Penanggungan sebagai gunung suci. Bahkan ada yang menganggapnya anak gunung Mahameru (Semeru).

Masyarakat Jawa Kuna percaya, gunung Penanggungan merupakan salah satu bagian puncak Mahameru yang dipindahkan oleh penguasa alam dan menjadi satu dari sembilan gunung suci di Jawa.

Sehingga tidak mengherankan banyak ditemukan situs-situs candi dan bangunan yang disucikan di satu lokasi. Ada bangunan purbakala dengan angka tahunnya seputaran abad 15.

Meski kecil, gunung ini sangat unik dan sering dijadikan tempat bertapa, bermeditasi, menyucikan batin dan tempat mencari kesejatian diri manunggaling gusti.

Bagi Nunuk, dia tetap pada tujuan awalnya. Menunggu kedatangan suami kesembilannya.

Ya, sebelum memutuskan bercerai dengan suaminya dan menyepi di hutan, Nunuk sempat dibisiki Iksan bahwa nanti akan ada laki-laki yang bisa membunuh Gendro Swara Pati.

Laki-laki itu akan menjadi suami Nunuk kesembilan sekaligus menjadi calon tumbal ketujuh bagi Gendro Swara Pati. Dia yang nanti berhadap-hadapan dengan Gendro Swara Pati.

Laki-laki itu bukan sembarang orang. Dia seorang berilmu tinggi. Dia dekat dengan banyak ulama. Bahkan para ulama sangat hormat padanya. Dia sejatinya juga seorang ulama. Tapi tidak pernah muncul ke khalayak. Banyak ulama berguru padanya. Tapi dia sulit ditemui. Dia bersedia ditemui atas kehendaknya sendiri.

Sampai saat ini keberadaannya tidak diketahui. Sering berpindah-pindah. Laki-laki itu tidak suka berada di keramaian.

Cerita Iksan, laki-laki itu memiliki pondok pesantren. Dia juga sudah berkeluarga. Tapi jarang berada di rumah. Selalu mengembara. Seperti sedang menjalani laku batin.

“Mas Iksan menyebutnya Wali Allah. Kata kyainya Mas Iksan, saya akan bertemu dengan laki-laki itu dan menjadi istrinya. Saya tidak tahu apakah semua ini hanya kebetulan atau memang kyai Mas Iksan sudah meminta pertolongan pada laki-laki tersebut. Yang jelas, Mas Iksan berpesan bahwa dia yang nantinya membunuh Gendro Swara Pati. Cuma saya harus menunggu.”

Itulah salah satu alasan Nunuk ikhlas melepas suami dan anak-anaknya. Iksan sendiri memang sejak awal sudah bertekad menceraikan Nunuk demi keselamatan ketiga buah hatinya.

Sayangnya, syarat yang diberikan Iksan cukup berat. Nunuk harus menunggu kedatangan laki-laki itu. Dan kini, dia sudah menunggu hampir 5 tahun di tengah hutan. Tidak jelas kapan laki-laki itu akan datang.

“Saya sebenarnya disuruh Mas Iksan menunggu. Sampai kapan saya tidak tahu. Tapi di mana pun saya berada, saya pasti akan dipertemukan dengannya. Karena itu saya memilih menetap di hutan saja. Mas Iksan sendiri tidak menjelaskan ciri-ciri laki-laki tersebut. Katanya penampilannya biasa-biasa. Bahkan jauh dari kesan ulama. Orang tidak akan mengetahui jika dia Wali Allah. Kata Mas Iksan, jika laki-laki itu datang saya pasti akan mengenalinya.”

***

Sementara sambil menunggu kedatangan suami kesembilannya, Nunuk kerap dibuat pusing dengan gangguan dari para makhluk halus. Ada ratusan bahkan ribuan makhluk halus yang mengelilingi gubuk Nunuk. Mereka mengawasi.

Nunuk yakin para makhluk halus itu adalah anak buah Gendro Swara Pati. Dia sendiri bisa merasakan keberadaan Gendro Swara Pati tidak jauh darinya.

Gendro Swara Pati memang tidak akan mencelakakan Nunuk. Sebab, dia masih butuh satu tumbal lagi.

Kendati demikian, Gendro Swara Pati tetap berusaha untuk masuk kembali ke dalam raga Nunuk. Sayangnya, hal itu sulit dilakukan. Pasalnya, dalam diri Nunuk sudah ada tameng kuat. Perempuan bahu laweyan itu tidak pernah putus menjalankan sholat dan tirakat.

Gendro Swara Pati akan kembali menyerang jika Nunuk menikah lagi. Hal ini yang selalu dinanti makhluk tersebut.

Hingga akhirnya datanglah seorang laki-laki di warung Nunuk. Sore menjelang Magrib.

Dia membawa sebuah buntelan kain. Usianya belum terlalu tua, juga tidak muda. Penampilannya biasa saja. Jauh dari kesan mewah. Pakaiannya awut-awutan. Kusut di mana-mana. Wajahnya kotor. Sepertinya debu telah menempel cukup lama di sana. Sekilas dilihat dari penampilannya, laki-laki itu sudah lama tidak mandi.

Meski begitu, dari badannya sama sekali tidak tercium aroma tidak sedap ataupun aroma harum. Yang ada aroma tawar. Di balik penampilan yang biasa itu, terpancar aura seorang wali.

Saat dia datang, hutan yang tadinya ramai suara hewan bersahut-sahutan, mendadak sepi. Pun para makhluk halus yang mengelilingi warung Nunuk, satu persatu mulai pergi menjauh.

Kulon nuwun,” sapanya sopan tanpa uluk salam.

Dari belakang gubuk, Nunuk yang sedang mencuci piring buru-buru menghampiri.

Gih, Pak. Monggo masuk. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau makan, Mbak. Apa di sini ada makanan?” Tanyanya.

“Ada. Cuma sayur lodeh dan tempe.”

“Boleh. Tapi saya tidak punya uang, Mbak. Apa boleh makan tanpa bayar!” Sahutnya.

“Tidak bayar juga tidak apa-apa. Sebentar ya, Pak,” Nunuk pergi ke belakang dan kembali membawakan sepiring makanan.

Laki-laki itu tersenyum.

“Terima kasih, Mbak.”

Saat hendak pergi ke belakang, Nunuk mengurungkan niat. Ada sesuatu yang menganggu pikirannya.

Dia keluar, berdiri di halaman, dan melihat kondisi sekelilingnya. Celingukan ke sana kemari. Terlihat seperti orang kebingungan.

Tumben sepi. Tidak ada suara hewan,” batinnya.

Nunuk mencoba mendengarkan lagi dengan seksama. Kali ini matanya terpejam. Tetap saja tidak terdengar satu pun suara hewan.

“Ke mana perginya hewan-hewan itu,” heran Nunuk.

Perempuan bahu laweyan itu juga tidak merasakan keberadaan makhluk halus di sekitarnya. Gendro Swara Pati dan anak buahnya telah pergi.

Benar-benar sepi dan hening.

Saking sepinya, sampai-sampai yang terdengar hanya suara laki-laki itu sedang menyantap makanannya. Suara piring dan sedok saling bertabrakan terdengar nyaring.

Nunuk membalikkan badan. Mengamati sosok laki-laki yang sedang makan di warungnya.

Ya, hutan angker itu menjadi tidak angker lagi. Suasananya berubah hening. Seolah-olah hanya dihuni dua anak manusia saja. Nunuk dan laki-laki tersebut.

Nunuk terus memandangi laki-laki itu. Sebaliknya, yang dipandangi tidak menggubris dan asyik dengan makanannya.

“Apa dia…” Nunuk mencoba menebak.

Saat sedang mereka-reka, Nunuk dikagetkan suara adzan Magrib. Suara adzan itu terdengar begitu dekat. Padahal jaraknya sangat jauh. Di bawah sana, di kampung. Biasanya suara adzan terdengar sayup-sayup. Kali ini suaranya sangat jelas dan nyaring di telinga.

Begitu suara adzan selesai menggema, suasana kembali sepi. Laki-laki itu keluar dari warung usai menyantap makanannya.

“Terima kasih, Mbak. Makanannya enak,” katanya.

“Sama-sama, Pak!”

“Oh iya, itu surau ya. Saya boleh izin ke sana,” tunjuk laki-laki itu.

“Bapak mau sholat Magrib?” Tanya Nunuk.

“Mau tidur, bolehkan!” Serunya.

Nunuk tidak menjawab, hanya mengangguk keheranan.

Baru beberapa langkah menuju surau, suara-suara hewan kembali bersahutan. Hewan-hewan seluruh hutan seperti sedang keluar dari sarangnya dan mengiringi setiap langkah laki-laki itu. Ataukah, hewan-hewan sedang menyambut kedatangan laki-laki itu.

“Saya tidak habis pikir. Kedatangan laki-laki itu benar-benar membuat keadaan hutan hening. Semua hewan berhenti bersuara. Bahkan biasanya saya merasakan keberadaan makhluk halus, hari itu tidak merasakan sama sekali. Apakah dia seperti yang diceritakan Mas Iksan.”

[bersambung]  

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...