Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Bahu Laweyan #55

Seperti Orang Linglung   

Oleh: Jendra Wiswara
 

Tak pernah termimpikan dan terpikirkan oleh Nunuk, dia bakal mengalami sebuah peristiwa dahsyat seperti itu. Lebih-lebih peristiwa itu dialaminya sendiri. Duduk sendiri di depan sebuah rumah tak jauh dari makam Sunan Gunungjati, merenung Nunuk. Dia menelungkupkan mukanya pada kedua pahanya yang ditekuk. Mencoba meresapi semua kejadian yang tak mungkin dilupakan seumur hidup.

Rasa ketakjubannya mulai merosot. Kemudian lenyap sama sekali. Entah ke mana perginya. Mendadak Nunuk menjadi pemberani. Berani melawan segala rintangan dalam pengembaraannya. Dunia seperti hendak digulungnya. Dunia jadi lebih terang dan gemilang. Jadilah dunia terdengar bergaung-gaung.

Nunuk mengangkat kepalanya. Menyaksikan puluhan orang hilir mudik di depannya tanpa tahu apa yang barusan terjadi pada perempuan bahu laweyan tersebut. Namun matanya terbeliak ketika seorang wanita dari kejauhan terus mengawasinya. Wanita seusia Nunuk itu berdiri di sudut jalan.

Nunuk menyapanya dengan senyuman. Dan dibalas dengan senyuman pula. Seperti ada sesuatu yang dilihat wanita itu dari Nunuk. Benar saja. Wanita itu kemudian mendatangi Nunuk.

“Assalamualaikum,” dia uluk salam pada Nunuk.

“Waalaikumsalam,” Nunuk membalas.

“Perkenalkan nama saya Dewi Sartika.”

“Saya Nunuk,” Nunuk menyebut namanya.

“Senang berkenalan dengan Mbak Nunuk,” sahut Dewi.

Nunuk lebih banyak memandangi wajah Dewi Sartika. Dia menafsirkan usia wanita itu sekitar limapuluhan. Wajahnya tampak segar kemerahan, dan lebih muda dari usianya. Belum ada garis-garis usia mengotori wajahnya. Setiap ucapannya menarik dan berisi.

Rupanya perkenalan singkat dan tanpa basa basi itu memiliki tujuan. Dewi penasaran dengan gelagat Nunuk saat berdiri di kompleks makam Sunan Gunungjati.

“Boleh saya bertanya?” Dewi membuka percakapan. Suaranya begitu lembut, langsung masuk ke dalam hati.

“Silahkan.”

“Saya perhatikan Mbak Nunuk dari tadi seperti orang kebingungan saat masuk ke sini. Seperti orang linglung. Apakah ada masalah?” Tanyanya.

Nunuk menggeleng. Dia sendiri sukar menjelaskan peristiwa yang baru dialaminya. Bukan berarti Nunuk menutup diri. Di hadapan Dewi, entah mengapa dia seperti lunak. Seperti segumpal lempung yang bisa dibentuk sesuka hatinya. Dewi Sartika seakan tahu dan dapat menguasai pendalaman Nunuk, dan melihat apa yang sedang terjadi pada diri Nunuk.

“Apa yang Mbak Dewi lihat?” Nunuk balik bertanya. Dia ingin memastikan dari sudut pandang orang lain saat dirinya tiba di makam Sunan Gunungjati dengan perjalanan kilatnya bersama Kyai Sepuh.

Jawaban Dewi Sartika mengejutkan. Di antara puluhan orang, dia tanpa sengaja melihat Nunuk berjalan seorang sendirian dan berhenti di tengah padatnya manusia. Lalu dia melihat tampang Nunuk seperti orang linglung.

“Saya melihat Mbak Nunuk dari kejauhan sedang berjalan sendiri. Tapi ada yang aneh. Mbak Nunuk seperti sedang berbicara dengan seseorang. Padahal saya melihat tidak ada orang. Yang membuat saya heran, Mbak Nunuk berjalan berputar-putar.”

“Berputar-putar bagaimana, Mbak?”

“Iya, kadang bicara sendiri. Terus membalikkan badan. Kemudian berjalan lagi. Lalu balik badan lagi. Setelah itu berhenti di tengah-tengah orang. Lalu celingukan ke sana kemari.”

Dewi Sartika sepertinya seorang yang pandai bercerita, dan setiap ceritanya mengandung rasa penasaran. Peristiwa yang dialami Nunuk bisa diceritakan Dewi Sartika dengan detil. Dari sekian banyak orang, hanya dirinya yang memperhatikan Nunuk. Selain pandai bercerita, dia juga senang mendengarkan pendapat orang lain.

“Entahlah Mbak. Sepertinya semua kejadian sulit dijelaskan. Saya datang dari jauh. Dan tahu-tahu sudah tiba di sini.”

“Bagaimana ceritanya?” Dewi Sartika penasaran.

“Apa yang Mbak Dewi lihat bukan sebenarnya. Saya sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Untuk sampai di Sunan Gunungjati ini, sebenarnya saya butuh waktu berhari-hari. Tapi…”

Agak ragu Nunuk meneruskan ceritanya.

“Tapi apa?”

“Saya melakukannya dalam waktu satu jam.”

“Subhanallah!” Seru Dewi Sartika.

Kali ini cerita Nunuk mengandung makna, sekalipun yang diajak bicara orang baru dikenalnya. Pasalnya, hanya dia yang dapat melihat peristiwa dahsyat tersebut. Mulai-mula menyimak dengan serius semua cerita Nunuk. Lama-lama, dia mulai tertarik mendengarkan cerita utuhnya.

“Bagaimana bisa Mbak Nunuk melakukan itu?” Setiap pertanyaan meluncur dari mulut Dewi Sartika karena rasa penasarannya yang tinggi.

“Saya juga tidak bisa menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi. Saya tadi sebenarnya sedang berjalan bersama seorang Kyai Sepuh. Dia mengantarkan saya. Dia tiba-tiba menghilang. Sebelumnya dia bilang kalau kita sudah sampai di Sunan Gunungjati.”

“Terus?”

“Saya kaget. Padahal perjalanan yang kita tempuh belum satu jam. Terus dia bilang mau balik. Saat saya menengok ke belakang, dia sudah tidak ada. Saat itu saya berada di hamparan sawah yang luas. Tiba-tiba saya mendapati diri ini berada di sebuah keramaian.”

“Allahu Akbar!”

“Itu semua karena kuasa Allah,” ucap Dewi mencoba menyelami pendalaman Nunuk.

“Benar, Mbak!” Timpal Nunuk.

“Kalau boleh tahu Mbak Nunuk mau berziarah?” Tanya Dewi.

Perempuan bahu laweyan itu mengangguk.

“Sendirian!”

Nunuk mengangguk lagi.

“Berziarah sekedar mampir atau bagaimana. Mbak Nunuk naik apa?”

“Saya diperintahkan berziarah ke Walisanga dengan berjalan kaki.”

“Masya Allah,” Dewi kaget mendengar hal itu. Sementara Nunuk menanggapi kekagetan Dewi Sartika biasa-biasa saja.

Kini Dewi seperti dikuasai oleh perasaan dan pikirannya sendiri, tidak menentu. Banyak pertanyaan melayang-layang di benaknya. Dewi merasa hari itu telah bertemu dengan wanita hebat. Giliran Dewi yang tak henti-hentinya memandangi Nunuk untuk kemudian dihafal wajahnya.

Nunuk kelihatannya risih dan salah tingkah.

“Mbak kenapa memandangi saya seperti itu?” Tanya Nunuk.

Eh, maaf. Tidak apa-apa. Saya cuma tidak menyangka ada wanita yang berjalan kaki ke makam para Walisanga.”

Nunuk tidak menjawab. Hanya merasa kikuk sendiri. Dia lalu membiarkan perasaannya berbaur dengan riuh orang-orang di sekelilingnya.

“Kalau Mbak Nunuk mau berziarah. Mari saya temani masuk.”

“Apa Mbak Dewi asli sini?”

“Bukan. Saya juga peziarah. Saya dari Tuban.”

Keduanya lantas berjalan bersama memasuki makam Sunan Gunungjati.

***

Jangan Lewatkan, Kawan Mbois REK!

Hari itu pintu makam Sunan Gunungjati seperti biasanya, selalu tertutup. Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam makam. Peziarah hanya bisa duduk di depan pintu makam.

Nunuk dan Dewi Sartika mendekati makam. Keduanya berjongkok dan duduk di lantai. Tubuh mereka tidak bergerak. Sejenak Nunuk menggoyangkan kepala. Seperti pepohonan tertiup angin. Kemudian dia memegangi dadanya. Memastikan semua baik-baik saja. Sambil berseru menyebut nama Allah. Berkali-kali.

Demikian halnya Dewi Sartika. Dia melakukan hal yang sama. Berdzikir dan memanjatkan doa.

Sekian menit keduanya menyudahi ritual ziarah. Namun keduanya tidak kunjung beranjak dari tempat duduk. Kedua malah terlibat obrolan.

“Mbak Dewi ke sini naik apa?”

“Naik bus.”

“Apa juga berziarah ke makam-makam Walisanga?”

“Iya, Mbak. Sunan Gunungjati ini yang terakhir. Setelah ini saya langsung pulang.”

“Kenapa sendirian?” Tanya Nunuk.

“Sepertinya enak sendirian.”

“Bukannya lebih enak bersama rombongan!” Nunuk berseru.

“Ada kalanya manusia butuh berkomunikasi dengan sesamanya. Ada kalanya manusia harus sendirian. Mungkin saya harus membiasakan diri untuk sendirian.”

“Maksudnya membiasakan?”

“Yang namanya hidup kita tak bisa diprediksi. Rejeki, jodoh dan mati, tak satupun manusia yang mengetahuinya. Itu sudah menjadi kekuasaan dan takdir Allah. Dalam menjalani takdir kita sejatinya berjalan sendirian. Bahkan yang paling nyata adalah ketika ajal menjemput. Di situ kita akan benar-benar sendirian. Semua sudah tertulis di Lau al-Mahfuzh (lembaran yang terpelihara). Lauh al-Mahfudz ini berada di antara kedua mata Malaikat Israfil. Lauh al-Mahfudz dianggap wilayah paling rahasia sejagat raya ini. Siapapun tidak diizinkan melihat kecuali hamba-hamba pilihanNya. Hanya para malaikat utama atau hamba Tuhan lainnya yang dianggap layak.”

Nunuk mendengarkan seksama uraian Dewi Sartika. Wanita di hadapan Nunuk sepertinya bukan sembarang orang. Dia paham ilmu agama. Nunuk menduga Dewi Sartika adalah seorang ulama wanita. Hari itu urusan ziarah Walisanga diakhiri dengan sesi tanya jawab yang bikin keduanya berlarut-larut tidak beranjak dari lokasi makam Sunan Gunungjati.

“Apa yang Mbak Dewi ketahui soal Lauh al-Mahfudz?”

“Seperti yang disampaikan ulama sepuh di Tuban, Lauh al-Mahfudz merupakan gudang rahasia terbesar alam semesta. Menyimpan seluruh data peristiwa-peristiwa dari awal kehidupan hingga kiamat. Lauh al Mahfudz dibuat dari lembaran mutiara putih. Panjangnya sama dengan jarak antara bumi dan langit. Lebarnya sama dengan jarak antara masyriq dan magrib. Di setiap kalam itu tertulis di ‘Arasy dan pokok-nya berada di pangkuan seorang malaikat. Karena itu banyak golongan jin dan setan berusaha mencuri informasi itu untuk berbagai kepentingan memainkan akidah manusia.”

Sebagaimana sabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Lauhul Mahfudz dari mutiara yang putih, lembaran-lembarannya dari yaqut merah, dan qalamnya dari nur (cahaya) dan tintanya dari nur pula. Setiap hari Allah memerintahkan kepada Lauh Mahfuz sebanyak 360 perintah untuk menciptakan, memberi rezeki, mematikan, menghidupkan, memuliakan, menghinakan, dan Dia berbuat menurut apa yang dikehendaki-Nya.”

“Apa yang sebenarnya tertulis di tengah Lauh?” Tanya Nunuk.

“Para ulama menjabarkan, bahwa di tengah Lauh terdapat tulisan ‘Tidak ada Tuhan selain Allah, agama-Nya ialah Islam, dan Muhammad adalah Rasul-Nya.”

“La Ilaha Illallah. Mbak Dewi sepertinya paham agama?”

Ah, tidak juga, Mbak. Mungkin Mbak Nunuk yang lebih paham soal itu. Kalau saya hanya mendengar dari dakwah ulama.”

“Saya yakin Mbak Dewi juga seorang ulama,” tebak Nunuk.

Dewi Sartika tidak membalas hanya tersenyum saja.

“Kalau boleh tahu, Mbak Nunuk berjalan keliling sembilan wali diperintahkan siapa?” Giliran Dewi bertanya.

“Suami, Mbak!”

“Sekarang suaminya di mana?”

Nunuk menggeleng. Kepalanya menunduk. Kemudian melemparkan pandangan jauh dengan mata keheran-heranan. Tak sepatah kata keluar dari bibirnya. Entah mengapa setiap kali membicarakan Sahid, hatinya selalu sensitif. Perasaannya tergerus oleh suasana kebatinan yang sangat dalam.

“Tidak tahu, Mbak,” Nunuk membalas dengan terbata-bata.

“Kenapa tidak tahu.”

“Beliau sering berkeliling. Saya hanya bertemu sekali dengannya. Kami bertemu dan langsung menikah. Setelah itu kami berpisah untuk waktu yang sangat lama.”

“Apakah suami Mbak Nunuk seorang pedagang?”

“Beliau Wali Allah.”

“Subhanallah,” Dewi merasakan hatinya bergolak hebat mendengar jawaban Nunuk. Terjawablah sudah rasa penasaran yang meliputi dirinya. Di mata Dewi, Nunuk bukanlah sembarang wanita. Seorang Wali Allah pasti tidak sembarang memerintah wanita untuk melakukan perjalanan jauh seorang diri, apalagi sampai berjalan kaki. Pasti ada sesuatu yang hebat bakal terjadi pada diri Nunuk. Buktinya Dewi mendapati Nunuk dalam kondisi linglung usai melakukan perjalanan kilat meskipun saat itu melalui perantara seorang kyai.

“Mbak Nunuk, kalau boleh tahu siapa nama suaminya?”

“Mas Sahid.”

“Allahu Akbar, La Ilaha Illallah Muhammadur Rasulullah,” Dewi berdzikir sekaligus membaca syahadat berulang-ulang karena keterkejutannya.

“Kenapa Mbak, sepertinya terkejut mendengar nama itu?” Nunuk bertanya.

“Lauh al-Mahfuz yang kuceritakan tadi padamu, saya mendengar cerita itu dari seorang ulama pengembara bernama Sahid.” [bersambung]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...