Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Beras Kuning dan Bathok Menyan

Oleh: Musiyem

AKU menatap jenazah ibu. Aku masih berharap ibu bangun dan hidup lagi.

Beberapa orang telah berdatangan, kulihat adikku menangis di kaki ibu. Kakak hanya diam entah apa yang dipikirkan. Kematian ibu yang mendadak tanpa sakit membuat aku seakan tak percaya. Masih teringat ucapan terakhir ibu.

“Ibu tidur dulu, ibu sudah lelah.“

Aku tak menjawab karena masih sibuk dengan tugas sekolah. Namun tak lama terdengar suara ibu memanggil-manggil bapak. Suara ibu sangat histeris.

“Pak! toloong! Jangan Pak!!“

Aku dan kakak berlari ke kamar ibu, kulihat ibu muntah darah dan sangat banyak. Kakiku terasa lemas mataku jadi gelap, tapi aku berusaha menghampiri ibu.

“Tolong Ibu, panggil Bude kemari,“ perintah ibu.

Aku langsung berlari, melewati kebun jati yang gelap, menyeberangi sungai kecil dengan suara-suara aneh tak kuhiraukan, ada sosok bayangan berkelebat, bau wangi melati tak menyulut rasa takutku.

Aku harus ke rumah Bude Hardi secepatnya. Terbayang wajah ibu yang pucat, darah yang membanjiri lantai membuatku makin cepat memacu langkah.

Tiba di rumah Bude, aku langsung menggedor pintu sambil berteriak memanggil Bude.

“Budeee! Tolong ibu, Budeee!“ teriakku.

Kudengar Bude menyahut dari dalam. Tak lama bude membuka pintu sambil menggelung rambutnya.

“Ono opo? ibumu nyapo tho?“ tanya bude dengan wajah panik.

‘Bude, ibu muntah darah banyak, cepet bude tolong ibu!“

“Ya Allah Gusti, opo iki karena beras kuning dan bathok isi menyan yang saya temukan di belakang rumah ibumu!“ Bude langsung bergegas ke rumahku.

Langkahnya tidak secepat aku, kadang tertinggal jauh. Ditambah melewati kebun jati yang tanpa penerangan sedikitpun, kami berjalan hanya berdasarkan naluri.

Tiba di rumah, Bude langsung pingsan, melihat ibu sudah terbujur kaku. Sudah banyak orang berdatangan, dan memindahkan ibu ke ruang depan. Aku tak tahu harus apa. Ibu sudah meninggal itu yang kudengar.

Beberapa orang pergi ke kantor pos, untuk memberi kabar pada bapak yang bekerja di Jakarta melalui telegram. Aku tetap terdiam, beberapa orang menyuruhku, bila ingin menangis, menangislah jangan dipendam.

Aku hanya diam. Aku masih berharap ibuku bangkit dan hidup kembali, tapi sampai adzan subuh berkumandang ibu tetap diam kaku.

Menjelang siang jenazah ibu telah siap dimakamkan. Aku masih tak percaya ibu telah meninggal. Kuamati semua pelayat juga tampak tak percaya. Ada yang bilang padahal baru saja dari rumah, ada pula yang bilang baru saja mulangin benang dan komentar-komentar yang menyatakan tidak percaya.

Adzan maghrib berkumandang, rumahku masih dipenuhi oleh para tetangga. Di sudut kulihat Bude sedang berbicara dengan Pak Karim, orang yang dituakan di kampungku.

Aku ingin tahu apa yang mereka bahas. Wajah bude tampak sedih dan terpukul. Aku jadi teringat bude bicara tentang beras kuning dan bathok isi kemenyan. Sebelumnya aku juga pernah menemukan beras kuning di pojok rumah. Saat itu ibu menyuruhku untuk membakarnya. Aku tak paham apa maksud ibu, tapi ibu juga tidak mau menjelaskan.

“Sampun Bu,” kataku.

“Jangan dibahas atau memberi tahu siapapun, takutnya jadi fitnah, karena santet dan sejenisnya itu hal yang tidak dapat dibuktikan, malah nanti timbul dendam yang berkepanjangan,“ pesan Pak Karim pada ibu saat itu.

“Njih leres Pak, nanti juga ada balasannya,“ ucap ibu yang ditirukan bude sambil menghapus air matanya.

Aku terdiam, tapi bisa menyimpulkan ada sesuatu. Ah … sudahlah. Aku bergegas keluar, kudengar bapak datang. Kali ini tak ada rasa senang atau apa melihat bapak pulang.

Bapak memelukku tapi aku diam. Dia bapakku, bila di rumah hanya marah-marah untuk hal sepele. Aku sering kena pukul dan disabetin dengan ranting untuk hal kecil, hanya karena teko kosong belum diisi misalnya. Aku tiba-tiba sangat benci. Setelah acara tujuh hari, bapak pamit pergi ke Jakarta lagi, karena kerjaannya belum selesai katanya. Aku hanya diam, hanya kakak dan adikku yang menjawab.

Empat puluh hari kematian ibu, bapakku datang dari Jakarta, dan yang membuatku hampir pingsan, bapak membawa wanita yang tengah hamil dua bulan.

Bapak memperkenalkan bahwa itu istrnya pengganti ibu. Ingin rasanya kupukul wajah bapak dengan sapu kalau tidak ingat dosa. Aku hanya memandang bapak dan wanita disebelahnya dengan penuh kebencian.

Orang kampung pun ramai bergunjing, lalu menghubungkan kematian ibu dengan istri bapak yang baru empat puluh hari ibu meninggal tapi sudah hamil dua bulan.

Ah … aku tak peduli, karena aku lebih memilih meninggalkan kampung halamanku dan melanjutkan sekolah sambil bekerja.

Hingga kini tak pernah lagi kudengar bapak dan keluarga barunya. Aku hanya tahu adik dan kakakku ikut saudara di Surabaya.

Dan aku tetap menyimpan sebuah misteri. Cukup kusimpan.[]

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...