Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Denok Deblong #2

Darah Penari

Oleh: Jendra Wiswara

Seorang lelaki tua duduk di dekat kolam. Ia sedang beristirahat. Ia baru saja bekerja di sawah. Saat ditanya, dia tersenyum ramah.

Lelaki tua itu enak diajak bicara. Ia tidak seperti orang yang selalu curiga. Ia menganggap, pendatang baru harus selalu dihormati. Meski, juga harus diwaspadai.

Saat ditanya di mana Nini Denok tinggal, Pak Tua itu tertawa renyah dengan gigi ompongnya.

“Semua orang di sini sudah kenal dengan Denok. Juga di kampung-kampung lain,’’ katanya.

Lalu ia diam beberapa saat.

“Denok itu cucu saya?’’ Ia ketawa bangga karena namanya sudah dikenal orang, sepintas mirip artis idola lokal.

Saat itu, tiba-tiba saja mendung menghitam. Tak lama hujan mengguyur. Petir saling menyambar. Tak jauh dari situ terdapat sebuah warung kopi. Lumayan untuk berteduh. Warung kopi ini adalah milik Nini Denok.

Ah, rupanya menjadi penari bukan pekerjaan utama. Tidak setiap hari digelar acara hajatan, acara tempat Nini Denok menari.

Warung itu tak pernah sepi pengunjung. Mungkin, karena pemiliknya seorang penari. Orang datang bukan cuma untuk menikmati kopinya. Bisa juga untuk sekadar memandangi pemiliknya.

Ah, penari…selalu saja menebar pesona mistis, yang mesti juga selalu mengarah ke wilayah birahi.

Tak lama, seorang perempuan berusia 35 tahunan, muncul. Parasnya ayu. Kulitnya putih bersih. Ia mengenakan kebaya. Bawahannya jarik batik. Sengaja, dua kancing kebayanya dibuka. Mungkin, ia sengaja ingin memperlihatkan belahan dadanya.

Putih, memang.

Nini Denok, ia memperkenalkan diri kepada tamunya.

Matanya bersinar bagai bintang kejora. Senyumnya mengembang lebar menandakan seorang yang memiliki nilai humoris. Di samping pipinya terdapat dua lubang. Itu lesung pipit, seorang lelaki menimpali.

Inilah perempuan hebat, satu dari sekian banyak penari di lereng Gunung Wilis, dan mungkin banyak juga penari hebat lain di daerah lain pula.

“Mase tahu dari mana? Kok tahu namaku? Katanya Mas sudah kenal aku ya?” Suaranya terdengar mendayu seperti bunyi gamelan.

Ah, penari…bukan saja penampilannya yang menebar aroma mistis, kalimat-kalimatnya juga. Perempuan itu, seperti bertanya, tapi tak juga bertanya.

Ia terasa seperti ingin menjajaki, siapa lelaki yang mendatanginya. Mungkin, memang begitu insting seorang penari.

Ia harus selalu tanggap pada setiap lelaki yang mendekati. Dari jarak yang belum terlalu dekat, baik secara badaniah atau batiniah, seorang penari harus segera mengenali lelaki yang mendekatinya.

Begitu juga Nini Denok.

Agak lama mereka berbicara basa-basi. Bisa jadi pertemuan ini soal urusan hajatan. Atau mungkin kesenian.

Yang pasti pertemuan ini adalah sebuah cerita manis. Cerita yang dari dulu sering didengar, dan terus bersambung hingga sekarang: Cerita tentang penari di antara pagelaran hajatan. Di antara lampu-lampu oncor. Di antara suara kendang dan kenong. Di antara para lelaki yang berjoget sempoyongan karena terlalu banyak minum minuman keras.

Cerita tentang penari sangat fenomenal. Cerita yang terus bersambung, tanpa ada episode terakhirnya.

Sekiranya darah penari seperti episode kehidupan yang saling bertautan. Dari nenek, diteruskan ibu, lalu anak.

Begitu juga Nini Denok. Perempuan ini mengaku memiliki darah penari. Ibu yang melahirkan dirinya, seorang penari. Begitu juga neneknya, seorang penari.

“Nenekku adalah orang pertama di desa ini yang menjadi penari. Kemudian ibuku juga seorang penari. Satu hal yang sangat aku ingat tentang ibu. Bahwa, beliau, adalah idola. Ibuku adalah penari primadona.” [bersambung]

 

 

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...