Di Sebuah Stasiun
Penulis: Atap
AKU ingin tidur dengannya, dengan riak-riak imajinasi yang menyibak telaga kebahagiaan. Aku ingin bersama dengannya, semalam, dua malam menikmati kesalahan yang mungkin membawa rasa sedih tak berkesudahan.
Aku ingin memeluk, menyesap seperti binatang kehausan. Aku ingin menemui wajahnya dalam kekalutan dan menjadi bagian yang bisa menghapus kesedihan dan air matanya. Aku ingin mendekat pada tubuhnya itu.
Pernahkah diantara kita berpikir demikian pada orang lain yang bukan pasangan kita. Kita tidak pernah tahu mengapa seringkali tergoda dengan orang lain, sekedar membayangkan bibirnya atau berpelukan dengannya.
Kurasa sebagian dari kita pernah.
Kita memang lebih sering tidak menyadari alasan ketertarikan pada seseorang. Kreativitas imajinasi kita mendorong kita berpikir demikian.
Dan sejak aku bertemu kali pertama dengannya, aku memikirkan soal ini; aku ingin tidur dengannya.
***
Pertemuan tidak sengaja itu terjadi di sebuah stasiun kereta api. Tempat perjumpaan dan perpisahan saling berganti,untuk melihat banyak ekspresi orang yang datang dan pergi. Tempat untuk memeluk dan melepaskan, serta untuk menunggu dan mengantarkan beragam keceriaan dan kesedihan, kegembiraan dan kekhawatiran.
Melihat bagaimana mereka sibuk dengan perbekalan perjalanan, tempat beragam rupa kecemasan. Pada salah satu sudut di tempat itulah aku bertemu dengannya. Di sebuah restoran di stasiun.
Perempuan, yang kuperkiran 20 tahun lebih muda dariku itu terus kuperhatikan. Cara berpakaiannya yang modern dengan celana jeans panjang berwarna biru serta kemeja putih tipis sedikit menerawang. Dua kancing baju bagian atas yang terbuka, menunjukkan bayangan kulit tubuhnya secara samar.
Dia mengenakan kalung perak dengan liontin berbentuk bunga kecil, yang kian mempertegas urat-urat tipis dilehernya. Aku memperhatikannya dengan kekaguman, seperti seorang fans garis keras ketika bertemu sang idola.
Perempuan itu duduk dengan sebuah kecemasan di sampingku. Wajahnya memiliki pahatan cerita yang membentuk sebuah puisi kesedihan. Matanya berkaca-kaca di sela-sela tatapan kegelisahan. Pada mata yang gelisah itu, seperti ada sebuah dialog yang baru dimulai dengan banyak esmosi.
Aku membayangkan jika saja tatapan mata itu memintaku untuk menyibak mendung di raut wajahnya, maka aku akan melakukannya segera.
Telepon genggamnya berdering, dia berbicara dengan seseorang; ‘Halo…’ dan setelahnya dia kembali diam dengan muram.
Tak lama kemudian aku mendengar perempuan itu terisak. Isak tangis yang tertahan dari perempuan itu membuatku semakin menguras emosi sebab kesedihannya itu terlihat menggemaskan buatku. Cara dia menahan air mata dengan bersungguh sungguh.
Perempuan ini seperti magnet yang menarikku untuk penasaran tentang dirinya. Kapanpun tubuhnya bergerak ujung mataku mengikutinya. Gerakan matanya yang tak terarah terus kuikuti.
Aku melihat matanya berkaca-kaca, seperti sepasang mata yang terus berdiaog dengan kesedihan. Ketika bibirnya berbicara dengan gemetar, aku tahu dia sedang membendung sebuah rasa sakit hati. Teleponku bergetar. Pesan singkat dari istri, aku mengabaikannya.
Pintu ayun terbuka. Seseorang masuk ke restoran dan mencari duduk yang masih kosong. Kedatangan pengunjung yang membawa banyak barang bawaan itu memecah perhatianku, juga perempuan itu. Kesedihannya terhenti. Dia melihatku yang sedang melihatnya. Lantas aku tersenyum padanya, kemudian dia mengangguk membalas senyumanku.
“Pernah berpisah dengan keluarga?” Tanyanya tiba tiba ke arahku.
Aku menggeleng seketika meski aku tak menyadari melakukan itu secara spontan karena terkejut.
“Suatu hari nanti, saya harus kehilangan keluarga saya.” Katanya melanjutkan. Meski aku tak tahu apa maksud bicaranya, aku mendengarnya sungguh-sungguh.
“Ogh maaf, saya ikut prihatin,”
“Tidak masalah, suara saya mungkin terlalu menarik perhatian sebab menangis terlalu keras tadi.”
Lalu dia menghela nafas panjang sambil mencoba membetulkan letak duduknya. Kemeja putihnya yang tipis menerawang menujukkan bentuk pundaknya yang ramping.
Seorang pelayan mengantarkan segelas kopi panas dan meletakkannya di permukaan mejaku. Wanita itu berpindah duduk di hadapanku.
“Boleh saya duduk di sini?” Aku mengangguk girang.
“Kamu baik-baik saja?” Aku bertanya sebagai sebuah sopan santun. Dia mengangguk.
“Kereta Keberangakatan jam berapa?” dia menunjukkan tiketnya padaku. Tujuan kota dan jam keberangkatan yang sama denganku.
“Nama saya Lentera, nama bapak siapa?”
“Nama saya Roun.”
Kami diam sesaat. Aku melihat matanya yang sembab setelah tadi menangis saat bertelepon.
“Hari yang sangat bagus untuk sebuah perjalanan,” kata Lentera dengan muram.
Aku mengangguk mengiyakan tak berniat memberikan pendapat. Memperhatikan wajahnya yang melankolis dan vulgar sudah membuatku kelelahan. Energiku mungkin akan habis jika kugunakan juga untuk banyak berbicara.
Ogh sungguh, jika aku tak sedang berada di tempat umum, mungkin dia sudah aku lipat dan kumasukkan dalam saku celana. Akan kuletakkan di kantong depan dan menjaganya seaman mungkin, agar terlepas dari pengawasan masinis pemeriksa karcis. Atau jika ada kesempatan lebih lama, akan kubungkus dia dengan bentuk yang bagus. Meletakkannya dengan hati-hati agar tak rusak sampai nanti. Aku akan bergegas masuk ke dalam kereta yang akan berangkat, entah ke kota mana. Menculik wajah gemas yang membuatku terhempas bagai kapas yang tertiup angin lepas.
“Bapak pernah bersedih? Pada malam hari misalnya?” Lentera berkata-kata lagi.
“Loh? Kamu kok bertanya begitu. Kamu baik – baik saja?” Lentera seperti hampir kehilangan kewarasannya dengan membuka percakapan seperti itu padaku.
Pembicaraan itu seberti sebuah perangkap untukku semakin memasuki celah celah kegelisahannya.
“Saat kota mati di malam hari, dan tak ada seorangpun yang melintas di sana, kita terus merasa sendiri, sepi. Pernahkah dalam sepi dan saat sendiri itu kita berpikir mati? Bapak pernah seperti itu?” Aku menggeleng.
“Kamu depresi?” Tanyaku hati-hati. Dia menggeleng tidak tahu, lantas tersenyum dan itu sangat manis.
Dengan gayanya yang masih seperti gadis belasan tahun, dia bercerita dengan suara yang tipis tentang rencana perjalanannya. Dia terlhat rendah hati namun terbuka. Dia mengatakan sedang berusaha menarik diri untuk bersembunyi. Aku kemudian tertawa secara spontan, dia sedikit terkejut melihatku namun justru ikutan tertawa bersama.
“Bapak pikir ini seperti kisah dalam film layar lebar ya?” Dia bertanya dan aku mengangguk masih dengan sisa tawa yang tadi. Perempuan yang ganjil itu lantas meredakan suara tawanya.
Di kejauhan tak terdengar suara apapun selain cara makan yang berisik dari pengunjung di sebelah kami. Kami berdua melihatnya bersamaan, dan terhenti di objek pandangan yang sama. Mata kami saling memandang dan kami menyadari bahwa itu hal yang sedikit memalukan, lalu kami tertawa bersama. Betapa suasana terasa hangat dan mencair.
“Bagaimana bapak menghibur diri jika kesepian?”
“Berdoa,” jawabku.
“Saya mencintai banyak nama,” mendengarnya berkata itu aku merasakan sebuah perasaan yang asing.
Lentera semakin terlihat aneh dengan ceritanya. Tapi aku yakin dia waras, sebab dia tahu caranya menangis. Perasaan ingin tahu lebih banyak sekaligus bingung memenuhi hatiku. Keanehan dan kelugasannya membuatku tak tahu bagaimana harus bersikap.
“Mengapa kamu menangis?” Tanyaku akhirnya.
“Saya sedang berduka. Saya bersedih dan ketakutan. Dia memaksa saya untuk meninggalkan orang-orang yang saya cintai.”
Aku melihatnya tanpa sebuah senyuman, wajahnya pucat seperti orang yang sedang kelaparan. Kutawarkan sebuah menu makan siang untuk mengisi perutnya, perempuan itu mengangguk lantas memilih menu yang bergizi;
“Satu porsi kasih sayang dan semangkuk rasa rindu.”
Sang pelayan yang akan mencatat pesanan itu berdiri kebingunan. Sementara aku yang sudah lebih dulu terbiasa dengan keanehan dirinya, mencoba bersikap sebiasa mungkin dengan menambahkan suara tawa kecil agar terlihat normal, lalu aku katakan pada sang pelayan, ia memesan sup.
“Sup ayam panas, mas.” Pelayan itu mencatat lalu berlalu pergi ke dapur.
Reaksi sang pelayan tak membuat Lentera merasa berbuat sesuatu yang aneh. Nampaknya harus kujelaskan padanya, meski ia memiliki wajah yang menarik, jika dia bersikap seperti itu orang tetap akan menilainya sebagai gadis tidak waras. dan aku tak mungkin mengatakan itu pada perempuan yang baru saja kukenal, juga karena wajahnya nampak normal dan baik baik saja, bahkan setelah mengatakan hal konyol tadi.
“Lalu, siapakah dia orang yang memaksamu itu?” tanyaku untuk membuatnya melanjutkan cerita.
“Seorang laki-laki dari masa lalu. Dia yang membuatku jatuh cinta pada banyak nama, untuk membuang duka.”
“Berapa banyak laki-laki yang kamu cintai?”
Lentera menatap ke luar jendela, melihat orang yang lalu lalang dengan membawa koper. Ada kesunyian yang sementara diantara kami di restoran. Kedamaian pecah oleh pengunjung yang tadi datang, sebab dia menjatuhkan sebuah garpu. Lentera berhenti melihat keluar jendela.
“Katakan, apakah perempuan tidak berhak memilih kebebasannya?”
“Entahlah,” kataku dengan datar.
“Mengapa bapak mau berbicara dengan saya?” Tanya lentera.
“Kamu menarik. Aku suka.” Kataku.
Kami tak bergerak. Aku melihat wajahnya dengan ekspresi kesedihan yang terlihat murahan itu. Suaranya tipis seperti seseorang yang lemah. Perbincangan kami adalah sesuatu yang ajaib.
“Tapi dia tidak,” jawabnya sedih.
“Apa kamu tak punya teman?” tanyaku lagi. Pelayan restoran itu kembali datang dengan menghidangkan sup ayam yang panas. Lentera memakannya dengan buru-buru.
“Sup ayam panas, baik untukmu saat ini. Tubuhmu gemetar, dan wajahmu pucat. Makanlah yang banyak, jika masih kurang aku bersedia menambahkan.”
“Bapak sudah menikah?” Aku mengangguk malas-malasan. Pertanyaan ini sering kuhindari jika ditanyakan orang asing. Sebab, aku tak terlalu suka seseorang peduli pada hal pribadi seperti itu.
“Aku cemburu pada keluargamu, Roun.” Katanya lebih berani.
“Kamu sedikit berlebihan nona, jangan seperti itu, aku tahu kamu sedang sedih tapi kamu sedikit kasar.”
“Bukankah bapak menyukai saya?” aku diam saja.
“Itu bukan berarti kamu bisa berkata kurang pantas padaku, saya bahkan jauh lebih tua darimu.” Kataku lebih formal.
“Usia bukan sesuatu yang menghalangi kita berkata dengan jujur,”
“Lentera,”
“Aku gadis yang mencintai banyak nama. Kutambahkan nama bapak dalam daftarku,” katanya dingin tanpa ekspresi dan tidak lagi formal. Perempuan itu sungguh ajaib. Setiap kalimatnya lugas tanpa emosi.
Dia terlihat tenang namun bersedih, aneh.
“Apakah hidupmu cukup berat?” Ekspresi Lentera berubah. Pada keadaan itu, percapakan kami sudah mulai memanas. Aku bahkan bingung harus bersikap bagaimana. Wajahnya yang tegak seolah meruntuhkan segala omong kosongku. Pikiran sehatku mulai berubah, aku merasakan banyak ular yang mulai bergerak di otakku. Lentera memahaminya, pasti.
“Bisa kah kita berciuman?” Kata lentera sambil menyondongkan badannya ke depan.
Gila! Perempuan muda ini kupastikan sudah gila.
“Aku mau!” Jawabku lantas mengecup keningnya dengan hangat. Pada keadaan itu, wajah murahannya tak lagi memuakkan. Pada akhirnya tak hanya dia yang terlihat tak waras, akupun begitu. Tubuh, tangan dan kakiku menjadi seperti tak bertenaga.
“Ini sangat tidak masuk akal Lentera, kita adalah orang asing lima belas menit yang lalu.” Lentera masih saja diam.
“Kamu baik-baik saja? Agh, aku minta maaf. Aku tak bermaksud mencari keuntungan darimu.”
Aku menjadi salah tingkah melihatnya begitu lama terdiam. Mungkinkah tadi dia hanya bercanda, sedangkan aku justru tak sanggup menahan banyaknya ular di kepalaku.
“Aku malu Lentera,”
“Apakah bapak mau mendengarkan kebohonganku?” Aku mengangguk.
“Badanku bergetar, bukan karena lapar.”
Aku tertawa. Dalam hatiku lega sebab dia tak marah dengan kecupan bibirku.
“Lalu?”
“Aku pergi dengan terburu-buru dari rumah dengan ketakutan dan kesedihan, dengan gemetar karena meminum banyak obat flu.”
“Baik, lalu…” kataku memintanya terus bercerita.
“Jika ada yang bertanya padamu, berapa lama kita bersama hari ini, maukah bapak katakan kita bertemu sejak pagi tadi, bukan lima belas menit yang lalu seperti yang terjadi saat ini.”
“Baik Lentera, seperti maumu. Tapi siapakah yang akan bertanya itu padaku,” Lentera melihatku dengan tatapan sayu.
“Polisi, mungkin.”
“Apa maksudmu?” Perempuan itu menangis lalu memegang tanganku seraya meminta maaf.
“Seorang laki-laki mati di rumahku, tadi siang.”
“Siapa dia dan apa hubungannya denganmu?”
“Katakan kita sudah saling kenal dan bersama sejak pagi, jika ada yang bertanya buatlah alasan apapun jika ada yang menanyakannya.”
“Kamu melibatkanku? Kita tidak bersama ketika masuk di restoran ini.”
“Bapak sudah menciumku.”
“Tapi…”
“Nafasku tak genap, bapak. Aku terlalu banyak obat flu.”
Lalu Lentera jatuh pingsan di depanku.
Seluruh penghuni restoran terkejut dan melihatku. Pandangan itu seakan sebuah pertanyaan, ada apa. Tubuh Lentera mengejang, pelayan dan beberapa orang mulai datang mendekat.
Mereka segera memberi pertolongan. Pak satpam menghampiri dan mulai bertanya-tanya. Aku berpaling dan melihat jam di dinding restoran, pada para pelanggan dan orang yang berlalu lalang.
Kesibukan stasiun mendadak terhenti. Aku duduk melemas di kursi restoran, melihat dengan tatapan kosong tubuh Lentera yang dibawa menjauh untuk ditolong. Di sampingku masih ada seorang Satpam menungguku yang masih kebingungan. Kemudian telepon genggamku bergetar. Pesan singkat datang dari istriku.
“Hari ini jadi pulang?”[]