Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #11

Tentang Ivans Harsono

Oleh: Amang Mawardi

Seperti pernah saya singgung pada seri sebelumnya, nama Kepala Perwakilan Harian Pos Kota Jawa Timur adalah Ivans Harsono, se-angkatan dengan saya di AWS (Akademi Wartawan Surabaya). Usianya enam tahun di atas saya.

Penjelasan sekilas tentang sosok Ivans Harsono di bagian 8 serial ini (judul: Kapak Emas), diprotes Bondet Santos mantan Koordinator PWI Perwakilan Madiun yang pernah Kepala Biro Jawa Pos di eks ibukota karesidenan tersebut.

“Mbok disampaikan yang jelas, siapa sosok Ivans Harsono itu…” tulis Santoso yang namanya di fesbuk Bondet Santos. Sosok ini di mata saya tak kenal kata menyerah, adik lima angkatan di bawah saya, di AWS.

Meski dalam kondisi –maaf– stroke, Santoso menghasilkan 3 buku. Jadi, total buku yang telah ditulis Santoso ada 14 judul.

Baiklah saya jelaskan:

Ivans pernah menjadi ketua senat AWS. Saat Ivans ketua senat, saya duduk sebagai seksi humas yang membawahi majalah cetak ‘Acta Surya’ dan majalah dinding ‘Dinamika’.

Mungkin jika Anda pernah nonton serial detektif Joe Mannix di TVRI pada tahun 1970-an yang diperankan oleh aktor Mike Connors – nah, mirip itulah Ivans ini. Bahkan menurut saya, Ivans boleh jadi lebih ganteng.

Kampus kami bekas sekolah Tionghoa di Jalan Kapasari nomor 3-5 Surabaya, jadi satu dengan SAA (Sekolah Asisten Apoteker) yang kebanyakan muridnya adalah ciwi-ciwi.

Manakala Ivans dengan sepeda motor laki-laki Honda warna biru memasuki halaman kampus, maka adik-adik SAA ini berebut menyapa: Mannix! Mannix !

Ada yang menyapa langsung. Ada yang begitu menyapa, segera mendelesepkan badan, tertutup oleh tembok di bawah kusen jendela.

Sebelum menjadi wartawan, Ivans adalah kontraktor. Ayahnya orang kaya lama: pengusaha penggilingan padi dan pemilik bioskop Mahkota di Sidoarjo.

Sebelum menikah dan tinggal di Jalan Yasan Praja 18 Surabaya (di sebelah kiri persis penjara Koblen), Ivans tinggal di Jalan Kartini kawasan elit Darmo bersama orangtuanya.

Ivans adalah jebolan tingkat III Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya (maaf kalau salah perihal penyebutan fakultas ini).

Dan Ivans adalah contoh Sukarnois sejati. Di luar hal-hal yang menyangkut pekerjaan kewartawanan, yang diomongkan selalu tentang sosok Bung Karno dan Sukarnoisme.

Ivans punya mentor politik, saya menyebutnya: Pak Kahar. Rumah beliau sederhana, di kawasan kampung Maspati tak jauh dari rumah Ivans di Jalan Yasan Praja. Saya pernah diajak Ivans menemui Pak Kahar di rumahnya.

Pak Kahar mantan anggota DPR GR di zaman Bung Karno, se-partai dengan partai yang diikuti ayah Ivans yaitu PSII (Partai Serikat Islam Indonesia). Kalau tidak salah PSII didirikan oleh HOS Tjokroaminoto.

Dari Ivans saya belajar mengetahui selak-beluk politik dari apa yang tidak terlihat di balik permukaan.

Selain ganteng, idealis (setidaknya di mata saya), disiplin sekaligus senang guyon –Ivans juga korektif terhadap hal-hal yang nampak sepele– misalnya soal kebiasaan merawat mesin motor. “Oli.Oli. Ojok lali sering ngecek oli mesin…”

Pernah motor kongsen (inventaris kantor) berbulan-bulan tak pernah saya cek olinya, akhirnya jebol mesinnya. Ya, gara-gara olinya habis. Motor ini tiap hari saya kelilingkan ngalor-ngidul.

Sesudah dilantik sebagai ketua senat AWS, Ivans mengajak segenap pengurus untuk silaturahmi ke rumah beberapa dosen. Salah satunya ke rumah Pak Adjidarma dosen publisistik yang alumnus UGM.

Di sela acara silaturahmi itu, Pak Adji “menginterupsi” : “Ini ada teman di Jakarta yang korannya sedang mencari tiga koresponden, sudah ada satu. Siapa ya teman kampus yang kira-kira bisa Anda rekomendasikan, Mas Ivans? ”
Langsung Ivans menunjuk saya. Tapi siapa satunya lagi?

Sampai beberapa hari setelah pertemuan di kediaman Pak Adjidarma itu, belum juga menemukan calon satunya lagi. Saya pernah mengusulkan satu nama, teman sekelas, tapi tidak diterima Ivans. Alasan Ivans, sosok yang saya usulkan ini belum terlihat bakat menulisnya. Juga belum pernah menulis di media kampus. (Pada suatu waktu kelak, sosok yang saya usulkan tadi menjadi wartawan Tempo di Biro Medan).

Selang kemudian, saya ketemu Ivans lagi.

“Wis ketemu Vans, calon (koresponden) situk-e?” tanya saya.

“Wis! ”

“Sopo?”

“Aku!”

Sejak saat itu Ivans Harsono sudah tidak lagi menjadi kontraktor. Dia tandem dengan saya menjadi koresponden Pos Kota di Surabaya. Waktu itu belum berbentuk perwakilan, di mana koordinatornya adalah Mas Arie Sukarno karyawan PWI Jawa Timur.

Tentang teman Pak Adji yang mencari dua koresponden itu adalah Pak Harmoko yang Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Pos Kota, juga Ketua PWI Pusat.

Pak Adji waktu itu, pada tahun 1976, adalah salah satu pengurus inti PWI Jawa Timur.

Paviliun rumah Ivans di Jalan Yasan Praja 18 Surabaya, pernah kami jadikan semacam kantor perwakilan. Akhirnya Pak Harmoko menyuruh kami mencari kontrakan, dan ketemu di Jalan Embong Wungu 49 A, salah satu rumah pensiunan kolonel polisi.

Selanjutnya Pos Kota membeli rumah di Jalan Bubutan nomor 7 Surabaya yang dijadikan kantor perwakilan dan toko buku serta usaha stationery.

Saya menjadi koresponden Pos Kota di Jawa Timur sejak 1976 hingga 1987, dimana pada akhirnya Pos Kota Jatim “dikonversi” menjadi Mingguan Surya (cikal bakal Harian Surya).

Para pendiri Mingguan Surya adalah Sofyan Lubis, Ivans Harsono, dan saya.

Pak Sofyan mewakili Pos Kota dengan saham 85%. Ivans Harsono 10% dan saya 5%.

Saham saya yang 5% semacam saham kosong (saham perintis) pada akhirnya saya jual kepada salah satu petinggi Pos Kota. Nanti akan saya ceritakan secara khusus pada seri lainnya.@

Komentar
Loading...