Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #18

Nonton Film Ho Ho Hi He

Oleh: Amang Mawardi

Umur saya 23 tahun ketika resmi bergabung dengan institusi pers. Persisnya pada tahun 1976.

Saya ditempatkan (atau persisnya menempatkan diri) di “pos” Polda Jatim dan Polwiltabes.

Sementara Ivans Harsono di Pemprov. Jawa Timur (dulu masih menggunakan “istilah” Pemda. Tingkat I Jawa Timur) dan “pos” lain yang saya sudah lupa.

Meski saya dan Ivans sama-sama nyambi kuliah di AWS (Akademi Wartawan Surabaya), pada tataran praksis kami berdua ibarat orang setengah buta, tidak bisa dengan jelas memandang bagaimana perspektif jurnalistik sebenar-benarnya. Kami hanya mengenal jurnalistik praktis secara teori dalam mata kuliah di AWS.

Secara bagaimana kami seharusnya bertindak di lapangan, mula-mula tanpa pengarahan dari redaksi yang membawahi kami. Karena mereka berada “jauh” di Jakarta sana.

Mungkin mereka menganggap “tidak usah” diberi pengarahan, toh kami dianggap sudah cukup tahu bagaimana seharusnya menulis berita dan bertindak secara tepat di lapangan, mengingat kami adalah mahasiswa AWS.

Di samping itu, upaya komunikasi dengan redaksi di Jakarta masih ‘grathal-grathul’. Belum lancar.

Jangankan telepon untuk alat komunikasi, sepeda onthel saja saya tak punya, sering nunut Ivans yang punya motor.
Apalagi, saat itu, di rumah Ivans belum terpasang telepon.

Tentu, berbeda dengan rekan-rekan se-kampus yang sudah nyambi bekerja di koran daerah. Mereka bisa mendapat bimbingan langsung dari redaktur yang membawahinya.

Jadi, saat itu, menulis berita bagi kami masih perkara sulit, kecuali untuk kategori ‘strait news’.

Suatu hari saya ke kantor dispen institusi non-sipil di Jalan Sumatra untuk mencari berita. Pada kesempatan tersebut oleh salah seorang staf, saya diundang secara lisan agar hadir pada acara perkenalan kepala penyelidik dan penindakan kriminalitas (PPK – istilah dan singkatan dari saya, sekedar perumpamaan) yang baru, sekaligus akan ada keterangan pers.
Tempatnya di kantor utama di Jalan M. Duryat.

Pada hari dan jam yang ditentukan, saya hadir di salah satu ruangan lantai II kantor utama tersebut.

Malam itu, sebelum saya, di situ sudah ada beberapa wartawan. Kemudian disusul teman-teman yang lain. Kebanyakan para senior. Rasanya yang paling muda saya sendiri. Jumlah total sekitar 35 orang. Pokoknya “formasi lengkap”.

Di ruangan kami berkumpul, di salah satu sudut, berdiri menghadap ke barat proyektor ukuran sedang, moncongnya diarahkan ke bidang tembok kosong.

Saya yang baru sekira 6 bulan jadi wartawan, mengganggap adanya proyektor di situ, nantinya akan diputarkan film dokumenter yang ada kaitan dengan kinerja PPK.

Setelah undangan selesai santap malam, beberapa menit kemudian Pak Kepala PPK dalam pakaian casual memasuki ruangan diiringi beberapa staf.

Setelah memperkenalkan diri tidak lebih dari 5 menit, lantas beliau bilang: “Institusi kami telah berhasil menyita dalam sebuah operasi bla bla bla bla… ”

Lantas proyektor yang posisinya ada di belakang (agak menyamping kanan) saya, mulai berbunyi, tanda mulai berputar.
Sementara layar di tembok mempertontonkan adegan beberapa pasangan laki-perempuan muda bule dalam kapal kecil (speed boat) berlayar menuju laut lepas.

Nah, dalam perjalanan laut itu, pasangan-pasangan tersebut lantas melepas pakaian satu per satu dan melakukan adegan: SENSOR!

Pikiran saya berkecamuk, antara lain: “Ini acara apa… “. Rupanya daya tarik kejadian-kejadian ho ho hi he di film itu, begitu kuat menutup pertanyaan lanjutan dalam benak “acara perkenalan kok isinya beginian… ”

Seumur-umur baru kali ini saya nonton film ‘ho ho hi he’ alias ‘unyil’ alias ‘blukuthuk’ alias BF dan entah alias apa lagi yang analogis.

Setelah (kalau tidak salah) empat rol, yang rata-rata per rolnya sekitar 15 menit dalam judul lain-lain, salah satu wartawan ngomong: “Sudah…sudah…” Maksudnya untuk distop saja.

Sementara di sisi kiri gedung, persisnya di halaman belakang, terdengar 2-3 kali suara gaduh seperti dari kaleng yang dijatuhkan. Saya yakin, itu dilakukan bukan oleh tetangga kantor utama, tapi sesama korps institusi yang tinggal di komplek situ yang bertindak semacam protes.

Rupanya beberapa wartawan senior sebelumnya sudah mendapat bocoran, apa sebetulnya “materi” perkenalan malam itu. Atau jangan-jangan pemutaran film ini atas permintaan satu-dua oknum wartawan.

Indikasinya, ketika mengisi nama dan tanda-tangan di daftar kehadiran, penulisan dua jati diri tersebut tidak jelas dilakukan banyak wartawan: tulisan cakar ayam, disamarkan, asal njleret.

Rupanya ini upaya untuk “menghilangkan jejak”, termasuk yang dilakukan dosen saya yang kepala perwakilan salah satu koran harian terkenal di Ibukota.

Beberapa waktu kemudian, saya berkesimpulan bahwa banyak cara memperkenalkan diri, antara lain dengan selingan hiburan. Tapi hiburan yang ini, sungguh ekstrem. Kalau mau dibelokkan dan dikerucutkan: inilah menonton barang terlarang tapi “dilindungi undang-undang”. Eladalah!

Mestinya barang sitaan itu cukup diputar sekian detik. Atau cukup mempertontonkan gambar kover film BF itu. Atau kenapa tidak menghadirkan pengedarnya dengan mata tertutup?

Pada sekian tahun kemudian, Pak Kepala PPK tersebut menjadi bupati di salah Dati II di kawasan tapal kuda.@

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...