Memoar Wartawan Biasa-Biasa #19
"Arisan"
Oleh: Amang Mawardi
Banyak cara memecahkan problem ekonomi setiap rumah-tangga, termasuk yang kami lakukan.
Saat kami menikah pada tahun 1981, saya bergaji Rp 30.000 sebulan, sementara istri saya Rp 60.000.
Soal gaji yang jomplang ini, saya coba hubungkan dengan cerita yang dialami teman di STM II (Kimia Industri) Surabaya, yaitu Hery Pudjo Tjahjono yang semula bekerja di swasta kemudian pindah ke instansi negeri.
Saat dia bekerja di industri penyedap masakan PT Sasa Inti, Probolinggo, sekitar awal 1980-an, gajinya sebulan Rp 96.000. Sementara saat dia diterima sebagai PNS dengan golongan II A, gaji sebulan cuma sekitar Rp 22.000.
Artinya, jika saya hubungkan gaji saya di sektor swasta yang perusahaan pers, menimbulkan sesuatu yang aneh. Mestinya gaji saya jauh lebih besar dibanding gaji istri saya saat itu yang golongan III B. Tapi itulah perusahaan pers, terkadang gaji disesuaikan dengan banyak sedikitnya oplah koran yang beredar di sekitar koresponden tinggal.
Kebalik kan?
Karena kecilnya gaji saya –meski digabung dengan gaji istri– kemampuan mengkover kebutuhan ekonomi, tidak sampai ke akhir bulan. Biasanya pada hari ke-20 sudah mulai kelimpungan. Padahal saat itu istri saya baru hamil anak pertama.
Bagaimana cara mengatasi?
Istri saya yang guru, akhirnya menerima les sejumlah murid dari sekolahnya mengajar, di rumah.
Lantas, upaya saya apa?
Saya mencoba beternak ayam, tapi tidak berhasil. Sudah saya lakukan dengan membuat kandang dan membeli ayam kampung 10 ekor.
Rumah (kuno) kakak istri saya di kawasan Simo Sidomulyo yang kemudian suruh kami tempati, berhalaman relatif luas (8 x 30 meter), menimbulkan gagasan untuk usaha budi-daya anggrek. Namun, ya sebatas gagasan.
Kemudian coba-coba (akan) membuat usaha afdruk foto. Beberapa alat untuk menunjang usaha tersebut sudah terbeli, tinggal bikin kios dan cari lokasi, tapi saya lupa kenapa tidak berlanjut.
Apa ada gagasan lain yang sekiranya dengan mudah mengeksekusi persoalan ekonomi rumah tangga, dimana saat itu perut istri saya makin membesar. (Dari mana biaya persalinannya nanti?).
Saya mikir. Dan mikir lagi…
Akhirnya saya mencoba mengadu nasib dengan mengikuti lomba karya tulis yang dilakukan instansi pemerintah, yaitu tentang potensi perikanan Jawa Timur, tapi gagal. Yang saya ingat, Juara I diraih Poerwadi guru SMA Santa Maria, Juara II Poppy Retno wartawati majalah Aktuil. Juara lainnya siapa, saya lupa.
Yang kedua, lomba karya tulis dengan tema apa yang saya iikuti, saya tidak ingat. Juga tak menyertakan hasil. Gagal.
Baru pada lomba karya tulis yang ketiga yang saya ikuti, saya berhasil meraih juara harapan II, yaitu tentang potensi generasi muda dalam ikut memajukan peternakan di Jawa Timur.
Pada kaitan itu, kendati sudah ditetapkan sebagai juara, masih harus merepresentasikan di hadapan team juri. Salah satu juri yang masih saya ingat: Happy Indra Kelana, pengurus KNPI Jatim.
Kendati tidak besar –sebagai juara harapan II– saya menerima hadiah sebesar Rp 25.000, hampir sama dengan gaji saya sebulan. Dan ini yang penting, menimbulkan semangat berlebih jika nanti ada lomba lagi.
Tahun 1983, Pemda Tingkat II Kotamadya Surabaya mengumumkan lomba karya tulis tentang problem kota Surabaya dan pemecahannya. Saya tertarik, salah satunya mungkin karena hadiahnya yang besar. Saat itu disebut, juara I akan dapat hadiah Rp 75.000. Wow!
Para peserta tidak langsung terjun ke lomba, tapi diminta bikin proposal. Jika disetujui, mendapat biaya penelitian sebesar Rp 75.000. Proposal saya tentang ‘problem banjir kota Surabaya dan pemecahannya’ lolos, disamping 9 proposal peserta lainnya.
Saya melakukan studi kepustakaan dan lapangan selama 6 bulan. Dan untuk menulisnya, saya butuh waktu 3 bulan.
Hasilnya, saya meraih Juara I.
Berita para pemenang lomba ini dimuat di beberapa media. Kalau tidak salah, juaranya ada lima orang, Juara I – Juara V.
Saya sebagai Juara I direspons oleh seorang wartawan koran harian daerah: “Itu kan arisan!”. Omongan ‘sengak’ ini sampai ke telinga saya.
Tahu arti ‘arisan’? Nah, betul! Konotasinya: giliran. Misalnya tahun depan ada lomba lagi, giliran yang dimenangkan bukan dari Pos Kota, tapi wartawan surat kabar lain.
Entah karena omongan “Itu kan arisan”, atau karena dorongan hadiahnya yang besar, lomba yang dihelat Pemda. Tingkat II Kodya Surabaya ini, tahun berikutnya saya ikuti lagi, dengan saya mengambil topik: ‘problem pedagang kaki-lima di Surabaya dan pemecahannya’. Hasilnya, saya meraih Juara I lagi.
Namun, saya jadi bersalah terhadap Agus Sutomo (Al Fatihah) rekan se-kantor yang ngepos di Humas Pemda Tingkat II Surabaya. Mestinya Agus yang ikut.
Tahun ketiga, tentu saja saya tidak ikut. Kali ini Agus Sutomo mengikuti jejak saya: Juara I. Agus mengambil tema yang cukup rumit: ‘potensi pendapatan daerah.’
He-he-he arisan kok tiga tahun berturut-turut digondol wartawan Pos Kota. Bisa diatur ya pren dengan bandarnya?
Sejak saat itu kalau ingin dapat duit gede, ya ikut lomba karya tulis.
Total prestasi juara selama 40 tahun saya berkarier di dunia jurnalistik: 3 kali Juara I, 3 kali juara II, 3 kali Juara III, 2 kali Juara Harapan II, dan 1 kali Juara Harapan (tanpa urutan). Itu meliputi bidang: perkotaan, kesetia-kawanan sosial, keluarga berencana, statistik, lalu-lintas, pariwisata, peternakan, heterogenitas budaya, dan lain-lain.
Untuk lomba karya foto jurnalistik meraih Juara II dan Juara Harapan I.
Semua kejuaraaan tersebut untuk tingkat regional.
Pada penggal kurun waktu, di kalangan wartawan saya mendapat sebutan “wartawan lomba”, karena dianggap menghasilkan karya berkualitas kalau ada lomba karya tulis/jurnalistik saja.
Saya tidak masalah disebut “wartawan lomba”. Toh saya sudah lama menganggap diri saya wartawan biasa-biasa. Bukan wartawan hebat nan idealis macam Peter Apollonius Rohi, Moh Anis, Anshary Tayib, Tjuk Suwarsono, Mochamad Djupri, dan beberapa lagi yang jumlahnya tidak banyak di Surabaya — daripada disebut “wartawan amplop”.@