Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #23

Ternyata Tak Beredar di Jakarta

Oleh: Amang Mawardi

Ketika kami –Ivans Harsono dan saya– mengawali sebagai koresponden Harian Pos Kota di Surabaya pada tahun 1976, sulit untuk membeli Pos Kota dari kios koran & majalah yang ada di kota Surabaya.

Kalau pun ada, mungkin oplahnya tak banyak, sehingga kami acapkali tak menemukannya. Dan siapa yang menjadi agen Pos Kota, kami tidak tahu.

Bagaimana supaya kami tahu berita-berita yang kami kirim dimuat atau tidak?

Satu-satunya cara dengan mendatangi Balai Wartawan di Jalan Taman Apsari nomor 17, Surabaya.

Di situ Pos Kota dibendel dan digantung pada semacam rak, dipisahkan dengan koran lainnya.

Ivans yang sebelumnya kontraktor, dengan cepat mencium peluang bisnis.

“Bagaimana kita bisa tahu seberapa banyak koran kita beredar di Surabaya, kalau kita bukan bagian dari peredaran Pos Kota,” tutur Ivans pada suatu hari.

Apa yang disampaikan Ivans itu, tak bisa saya maknai begitu saja.

Setelah Ivans mengatakan ini, baru saya paham.

“Kita harus merangkap jadi agen, Mang. Tidak sekadar wartawan. Kita mesti menghadap Pak Harmoko, supaya kita bisa jadi agen juga. Syukur kalau untuk permulaan, sistemnya konsinyasi,” kata Ivans.

Apa itu ‘konsinyasi’, saya tidak paham. Setelah dijelaskan Ivans, baru ngerti, yaitu: sistem titip, yang laku yang dibayar. Jadi bukan sistem ‘beli putus’ atau tepatnya: kontan.

Maka berangkatlah Ivans dan saya ke Jakarta dengan bus malam.

Setiba di Terminal Pulo Gadung, lantas kami menuju kawasan Grogol di rumah kakak istrinya.

Suami-istri di Grogol ini punya usaha toko alat-alat tulis, foto copy, penjilidan dan semacamnya.

Rumah dan tempat usaha itu jadi satu. Makanya terlihat begitu pepat, semrawut.

Sang istri pengusaha UMKM ini, adalah mbak-nya Mbak Azi (Fauziah) yang istri Ivans. Pernah kuliah di Fakultas Kedokteran Unibraw tidak selesai.

Setelah mandi membersihkan diri lantas istirahat sebentar, baru melanjutkan perjalanan ke kantor pusat Pos Kota di Jalan Gajah Mada nomor 100, Jakarta.

Sekedar catatan, Ivans yang rumahnya meski tidak sangat besar tapi bersih dan rapi itu, kok ya “tega” bisa tidur nyenyak di lokasi yang –maaf– sumpek ini. Kalau saya mungkin bisa diterima, mengingat saya warga kampung berpenduduk padat, beda dengan kawasan rumah Ivans yang kategori kelas menengah itu.

Di kantor pusat, setelah bertemu dengan jajaran redaksi, lantas kami menunggu kehadiran Pak Harmoko untuk beberapa saat.

Pak Harmoko menyambut baik gagasan kami. Kemudian manager pemasaran diminta menghadap supaya maksud dan tujuan kami dipahami dan dibantu.

“Ini teman-teman Jawa Timur punya ‘aparat’ untuk mengembangkan koran kita, tolong dibantu,” perintah Pak Harmoko.

Kosakata ‘aparat’ yang diistilahkan Pak Harmoko begitu saya ingat.

Dalam konteks posisi kami, untuk memasarkan koran ini, Ivans menjelaskan akan dibantu oleh sejumlah mahasiswa AWS (Akademi Wartawan Surabaya). Bagi Ivans bukan perkara sulit, mengingat dia ketua senat mahasiswa, akan mudah menggerakkannya.
Nah, sejumlah mahasiswa AWS itu yang oleh Pak Harmoko diistilahkan ‘aparat’.

Sesudah ketemu Pak Harmoko, saya diajak bertamu ke rumah famili Ivans di kawasan Cilincing, Jakarta Utara, dan satunya lagi di bekas Hotel Des Indes di bagian belakang untuk menemui Om-nya yang pernah ditahan di awal Orde Baru karena dianggap pengikut Bung Karno.

Setelah didahului dengan selamatan di rumah Ivans, dua hari kemudian kami bergerak ke Bandara Juanda untuk mengambil 2 koli koran Pos Kota dimana 1 kolinya berisi 250 eksemplar koran.

Tenaga baru yang kami rekrut: Edy Subagijo (Al Fatihah), Ferry Suharyanto (Pei’i), Didied Wardojo dan Hardjono (Al Fatihah). Semuanya mahasiswa AWS. Edy Subagyo teman se-angkatan, selebihnya adik satu angkatan.

Ivans dan mereka berempat bergantian berboncengan motor: sekoli ditaruh di pangkuan yang membonceng, sekolinya lagi diletakkan di atas tangki bensin depan pengemudi. Lantas koran diedarkan dan dititipkan di sekian kios koran&majalah serta sub-agen.

Saya tidak menjadi bagian perkara ambil dan edar koran ini, tetapi jaga pos berita alias setiap hari wajib mencari dan mengirim berita.

Lama-lama dari oplah 500 ekslempar per hari menjadi 1.000 ekslempar.

Saya lupa kapan persisnya berada pada “titik sentak”, dimana peredaran Pos Kota melejit hingga 12.000 ekslempar per hari yang akhirnya perwakilan bisa membeli sejumlah motor dan melengkapi dengan mobil box.

Jumlah oplah sekian, jauh melebihi oplah Jawa Pos saat itu yang cuma se-becak, sekitar 6.000 ekslempar.

Salah satu contoh yang pernah saya lihat, toko buku koran & majalah milik Pak Amin di Jalan Kapas Krampung, Surabaya, setiap seputar pukul 10.00 senantiasa diantre banyak orang hanya untuk menunggu mobil box kami yang mengangkut Pos Kota.

Kenapa bisa begitu? Ada faktor apa?

Faktor rubrik Anekdot di halaman 3 !

Apa lucu konten rubrik Anekdot itu? Memang lucu!

Namun, sesungguhnya yang ditunggu adalah kode penulis rubrik ini yang lantas disusul dengan enam deretan angka di belakangnya. Kurang lebihnya begini: (Fhs/01/22/93). Sekedar contoh.

‘Fhs’ adalah nama penulis Anekdot (hari ini), tapi enam angka itu: apa artinya?

Ternyata itu nomor juara-juara Grey Hound (balapan anjing) di Pulo Mas, Jakarta, yang setiap hari berlangsung dan berakhir pada malam hari. Dan itu yang lantas jadi semacam judi buntut yang meledak –mungkin– di seluruh Indonesia dengan patokan enam deretan angka tersebut.

Jadi oplah Pos Kota di Jawa Timur “meledak” karena faktor “buntut”, bukan karena beritanya? Boleh jadi. Atau mungkin setengah benar.

Pada akhirnya Grey Hound yang balap anjing ini ditutup oleh Pemerintah.

Setelah balap anjing ditutup, oplah Pos Kota di Jawa Timur lama-lama merosot hingga tinggal 500 ekslempar saja, tetapi tidak untuk oplah Jakarta.

Berita-berita Pos Kota di Jakarta telah begitu mengikat warganya, apalagi dengan ‘lembergar’-nya, lembaran bergambar.
Karena sulit untuk naik oplah, kami usul untuk diberi 1 halaman khusus yaitu ‘Halaman Jawa Timur’ dan disetujui.

Jumlah pengiriman berita terus kami genjot untuk memenuhi halaman ini. Akhirnya oplah naik menjadi 1.000 ekslembar.

Keleluasaan mengelola halaman yang dieditori Pak Karyanto dimana Pak Kar harus hijrah ke Jakarta untuk jaga gawang halaman ini, rupanya menjadikan keuntungan benefit dan boleh jadi profit bagi sejumlah koresponden, sebagaimana yang dialami (juga) oleh teman yang ngepos di Polwiltabes.

Saat itu Kapolwiltabes Surabaya dijabat oleh sosok berkumis, tegas, ramah dengan sesekali melontarkan guyonan-guyonan.

Setiap kali mengadakan jumpa pers, sering mengatakan: “Selamat siang/malam teman-teman wartawan dalam dan luar negeri…”

Maksud pengucapan ‘luar negeri’ sekedar guyon, karena beliau tahu tak satupun jurnalis luar negeri yang hadir pada jumpa pers itu.

Yang jadi ciri khas lainnya, beliau sadar kamera. Saat difoto “action”-nya selalu menarik, antara lain dengan kedua tangan terangkat berposisi di samping kanan kiri wajah, apalagi dengan kumisnya setengah tebal yang ‘mbaplang’ melintang itu.

Pada suatu hari: “Jadi, ‘Halaman ‘Jawa Timur’ tidak terpasang di Pos Kota yang beredar di Jakarta ya, Dik?”, kata beliau kepada teman koresponden yang ngepos di Polwiltabes itu. Maksudnya ‘Halaman Jawa Timur’ tidak terbit jadi satu dengan induknya yang beredar secara nasional.

Ya, ‘Halaman Jawa Timur’ memang hanya beredar di provinsi yang beribukota di Surabaya ini.

Sejak saat itu hubungan koresponden Pos Kota dengan ‘Sikatan 1’ (sebutan untuk Kapolwiltabes) yang kantornya di Jalan Sikatan, Surabaya, ini tidak semesra dulu.

Mungkin Pak Kapolwiltabes tadi berharap pernyataan-pernyataannya dibaca oleh para petinggi Polri di Jakarta, kenyataannya…

“Sistem” ‘Halaman Jawa Timur” pada sekian puluh tahun kemudian “ditiru” oleh koran Republika dan Sindo.@

Komentar
Loading...