Rekayorek.id, Portal berita dan wadah berbagi kreativitas

Memoar Wartawan Biasa-Biasa #25

Jodoh Saya Tetangga Kantor Perwakilan

Oleh: Amang Mawardi

Urusan cinta, ternyata bukan bidang saya. Atau kalau dikerucutkan: bukan keahlian saya.

Tiga kali naksir cewek, tiga kali itu pula: zonk!

Yang pertama teman sekelas, sebut saja: R.

Ya, R cinta pertama saya yang bertepuk sebelah tangan.

Dari R inilah saya mengenal puisi: puja-puji tentang cinta utopis yang lahir berlapis-lapis, dengan hampir setiap Rabu malam dimuat di Radio Rajawali Surabaya dan sejumlah koran lokal, seperti yang dimuat di Harian Bintang Baru pada 12 April 1975:

Kepada R

Seperti yang kau lihat
Aku tak pernah sampai pada tepi itu
Meski kucoba singkap segala makna

1975.

Meski demikian, secara eksplisit saya tidak pernah mengatakan R menolak cinta saya, tapi dengan istilah: tidak memilih saya.

Sebab, selain saya, ada dua teman sekelas yang juga naksir.

Suatu hari saya mengajak teman-teman sekelas untuk bergabung dengan klub English Conversation Patria yang menempati salah satu kelas SD Mardi Putra di Jalan Tambang Boyo, Surabaya.

Tidak semua mau bergabung. Di antara yang bergabung terdapat R.

Di Patria ada HM anggota klub yang juga naksir R.

Jadi selain saya, ada tiga orang lagi, teman sekelas  –H dan D– serta HM yang “orang luar”.

Pada akhirnya R memilih HM.

Begitulah konteknya.

Namun faktor R yang halus budi pekerti, juga menjadikan saya tidak tega untuk mengatakan R ‘menolak cinta’ melainkan ‘tidak memilih’. Karena kalimat ‘menolak cinta’ tidak paralel dengan wataknya yang lemah-lembut. Absurd kah saya? Bisa jadi …

Saat kelas 3, H yang duduk sebangku dengan saya, mengajak saya dan Agung serta Kusnadi –keduanya teman sekelas juga– ndekor janur pada mantenannya  Bu Srimulatsih guru fisika kami di Kertosono, Nganjuk.

Kami berempat anggota grup dekor manten Sanggar Truntum yang dikoordinasi Mbak Tatik salah satu mbaknya H.

Dari aktivitas ndekor manten di Kertosono itu menjadikan H dan (dik) Suti Rahayu adik Bu Srimulatsih akrab, yang akhirnya berpacaran — meski pada akhirnya setelah tiga tahun, mereka putus.

Saat H berpacaran dengan Dik Suti Rahayu, saya masih saja njomblo. Lantas saya berusaha didekatkan H terhadap P yang mbaknya Suti Rahayu, atau adiknya Bu Srimulatsih.

Karena didorong-dorong, akhirnya saya berusaha mendekati P. “Siapa tahu jodoh… ” begitu pikiran saya yang masih menyisakan galau sejak tidak dipilih R.

P yang pada kemudian hari mahasiswi Sastra Indonesia IKIP Surabaya, tinggal serumah dengan keluarga Bu Srimulatsih di kawasan Legundi DKA, Surabaya.

Saat itu saya sudah bekerja di PT Wing On anak perusahaan pabrik rokok Wismilak sambil kuliah di Akademi Wartawan Surabaya/AWS.

Lama-lama ‘pedekate’ saya makin rapat frekwensinya, sehingga prediksi saya : P kalau saya “tembak”, pasti akan mengiyakan.
Ternyata saya keliru. Dia menjawab: aku ora isa. Saya tidak bisa (menerima cinta Anda).

Saya mundur pelan-pelan.

Oia, cinta lagi-lagi melahirkan puisi. Kemisteriusan P ini lantas saya manifestasikan dalam puisi yang dimuat di majalah Dewi Nomor 91 Tahun V 25 Juli – 7 Agustus 1978.

Kepada P

(memulai lewat rasa lebih indah daripada lewat kata
tapi lewat sajak aku bilang paling indah!
maka kutulis sajak ini buatmu)
adakah keberanian mengetuk pintu
lantas membukanya?
saat kegarangan menyekap
dan kelembutan berjaga sampai larut
kucoba mengetuk
tapi kapan kubuka
keraguan membayang
lantaran ada dan tiada

1977

Tahun 1978 Pos Kota Perwakilan Jawa Timur makin berkembang, sehingga oleh manajemen Pos Kota (pusat) kami dikontrakkan tempat di Jalan Embong Wungu nomor 49 A, Surabaya.

Tempat ini lumayan luas. Akhirnya kami bagi menjadi: ruang depan untuk usaha penjualan alat-alat tulis (stationery), ruang tengah untuk redaksi, ruang belakang (kecil) untuk istirahat yang pada kemudian hari sebagai ruang tidur saya dan DS Yono (personel pemasaran; Al Fatihah) dan toilet yang terpisah dengan bangunan induk.

Pos Kota Group punya anak perusahaan pers, di antaranya: Harian Pos Sore yang kemudian menjadi Harian Terbit, Mingguan Pos Film, majalah Serasi, majalah Warnasari (seukuran Intisari), penerbitan buku, perusahaan film, dan  beberapa lagi yang saya lupa.

Nah, Pos Film punya rubrik ‘Calon Bintang’ (semacam fans klub/penggemar mingguan ini) yang salah satu tujuannya  mengikat oplah dan menggiatkan kawula muda di bidang seni.

Kami yang di perwakilan ikutan membentuk (cabang Surabaya) dengan divisi musik, teater, menulis, dan lain-lain.

Untuk kegiatan latihan dan lain-lain, kami pinjam kampus AWS di Jalan Kapasari nomor 3 – 5, Surabaya.

Pada suatu malam di kantor perwakilan, saya buka-buka ‘Buku Induk Calon Bintang’.

Saya perhatikan banyak anggota CB (Calon Bintang) yang milih divisi musik dan teater. Hanya satu orang yang milih divisi tulis-menulis (semacam sastra). Saat melihat fotonya, timbul getaran. Sebut saja initial pemilik foto itu: S.

Maka saya nantikan ‘meeting’ anggota seluruh divisi setiap sebulan sekali yang dipimpin oleh Errol Jonathans ketua CB  Cabang Surabaya yang juga koresponden Pos Kota (kelak Errol menjadi tokoh pers di Jawa Timur yang disegani).

Setelah melihat langsung sosok S, semakin menghebat rasa itu.

S makin menunjukkan bakatnya setelah bergabung dengan CB.

(S yang usianya 4 tahun di bawah saya, kelak menjadi wartawati Jawa Pos dan menikah dengan redaktur pelaksana Jawa Pos yang pada akhirnya mas redpel ini Ketua PWI Pusat).

Pada akhirnya S beberapa kali mau diajak bareng, antara lain saya jemput dari tempat kerjanya di salah satu lembaga sosial di Jalan Sumatra, Surabaya, untuk kemudian saya antar pulang di kawasan Banyu Urip.

Secara tersamar, lama-lama saya mulai sadar bahwa S mau diajak bareng, tapi tak mau diajak menyerahkan cintanya.

Saya sulit menebak hatinya.

Saya mulai gamang. Atau barangkali jangan-jangan saya kurang sabar.

Oia, saat hati saya mulai condong ke S, ketika mengikuti kunjungan gubernur di Bojonegoro, di “kesenyapan” bangunan kuno sesudah jamuan makan malam, saya memisahkan diri. Duduk di sebuah bangku jati, di koridor.

“Kesenyapan” ini lantas melahirkan puisi gamang yang lantas dimuat di majalah Dewi Nomor 103 Tahun VI 9 Januari – 22 Januari 1979,  merefleksikan perasaan saya terhadap S.

Koridor

memanjang
membiaskan sepi
seperti hari-hariku
yang merindukan tembang asmaradana
adakah gadis berkulit kuning
melintasi tempat ini
menyenandungkan tembang itu?
ah, semakin sepi sajakah hari-hariku
ataukah ada gema yang memantulkan rindu

September 1978

Di Jalan Embong Wungu kami bertetangga dengan Radio Cakra Awigra.

Di belakang radio tersebut terdapat semacam perumahan klaster yang agaknya terbentuk secara alami. Penghuninya ada 5 KK: perwira TNI AD, perwira TNI AU, notaris, pejabat eselon III Depdikbud, dan satu lagi yaitu dosen matematika IKIP Surabaya.

Adik ipar dosen matematika tersebut seorang gadis sederhana yang kemudian saya tahu namanya (berinitial) K. Beberapa  kali saya ketemu K mengantar keponakannya untuk membeli keperluan sekolah di toko Pos Kota.

Suatu hari Mushadi personel pemasaran yang mantan penyiar Radio La Victor, Surabaya, giliran piket jaga toko Pos Kota.

“Mas, ini Mbak K tanggal (saya lupa persisnya) akan diwisuda di Gelora Pancasila, Surabaya. Apa sampeyan juga diundang oleh Humas IKIP?” Saat itu ada K berdiri depan bufet etalase.

Saya jawab sekenanya: “Ya, saya diundang…” Padahal tidak ada undangan dari Humas IKIP Surabaya.

“Mbak K sampeyan barengi, sampeyan bonceng ya…” kata Mushadi.

“Boleh,” timpal saya.

K adalah sarjana muda Sastra Inggris, sudah mengajar di salah satu SMA negeri di Surabaya.

Di Gelora Pancasila pagi itu ribuan alumni IKIP Surabaya ‘tumplek bleg’. Kami berpisah. K menuju lokasi kelompok Sastra Inggris, saya sibuk motret sana-sini.

Tiba-tiba: “Mas Amang ! Mas Amang!”

Saya cari arah suara.

Eladalah. Ternyata teriakan Dik Suti Rahayu. Dia ikut diwisuda sebagai sarjana muda Pendidikan Kimia. Di sebelah Dik Suti duduk P yang tiga tahun lalu  nolak cinta saya. P juga ikut diwisuda sebagai sarmud Sastra Indonesia.

“Sombong ya, sekarang gak pernah ke rumah,” kata P.

Di situ saya juga bertemu dengan Wahyu Suhantiono teman sekelas di STM II (Kimia Industri) Surabaya sebagai sarmud Pendidikan Kimia.

“Amang…foto Amang. Foto saya!” sapa Wahyu yang bapaknya tentara di Koramil Wonoayu, Sidoarjo. Saat itu Wahyu duduk di bangku bagian atas.

Kami –saya, dik Suti, P– lantas sibuk foto-fotoan, disusul dengan Wahyu.

Saat bubaran, rupanya K tahu dimana posisi saya. Lantas K berjalan menuju kami duduk. Dan berhenti di depan kami berempat.

“Kode” ini, lantas menjadikan kami berpisah dengan tiga orang tadi. Saya hampiri K.

Saya dan K lantas berjalan menuju parkiran motor.

Sejak pertemuan dengan P di Gelora Pancasila, kontak terbuka lagi. Kami sering telpon-telponan. P sering ngontak via telepon umum ke kantor. Saya kemudian sering ke rumah kakaknya di Legundi DKA, untuk nemui P.

Pernah saat dia kontak saya ke telepon kantor, iseng-iseng saya katakan: “Saya masih suka lho sama situ…”

Jawabnya: “Halah…omong thok! “.

Saat P mendapat penempatan di SMA Negeri 2 Nganjuk, saya mengantar untuk menyerahkan surat-surat.

Kenapa dulu dia nolak saya, ternyata sudah punya pacar yang kuliah di Jogja, adik dokter gula yang tinggal di Kertosono.

Peluang pertemuan-pertemuan pasca-wisuda di Gelora Pancasila tersebut pada akhirnya tidak saya manfaatkan. Mungkin karena saya masih trauma dengan penolakan P di masa lalu. Atau saya masih terobsesi dengan S yang anggota CB itu?

Setiap pagi, saya lihat K melintas depan kantor menuju Jalan Basuki Rahmat untuk nyegat angkot, lantas mengantarnya di depan SMA di Jalan Ngaglik tempat dia mengajar.

Kalau pas se-jurusan, saya ajak K untuk bareng.

Apa saya mulai suka? Belum.

Mungkin saya masih gamang, lantaran kegagalan-kegagalan masa lalu. Mungkin juga lantaran perbedaan status sosial.

Kendati K sosok yang sederhana, dia berasal dari status sosial berbeda. Tinggalnya di embongan, ortu saya tinggal di sebuah kampung kawasan padat penduduk.

Dari membonceng lantaran satu jurusan, akhirnya saya tetap ngaku satu jurusan, padahal jurusannya lain.

Di sela “ritual” mbonceng harian itu, saya memberanikan diri untuk “nembak”. K tidak menjawab. Sampai saya turunkan di halaman sekolah, K tetap tidak menjawab.

Besoknya saya mengintai dari balik kaca toko Pos Kota. K yang biasanya lewat depan toko Pos Kota jalannya pelan, kali ini langkahnya dipercepat menuju Jalan Basuki Rahmat. Tujuannya untuk nyegat angkot.

Langsung Honda bebek yang ada di samping kantor, saya keluarkan, saya starter, saya gas, saya pepet K.

“Ayo, naik!”. Lantas… terasa perut saya ada yang melingkari. Eladalah! Biasanya tangannya megang jok motor.

Motor pun melaju sampai halaman sekolah SMA 7 tempat K mengajar.

Satu setengah tahun setelah peristiwa tangan melingkar, kami menikah di rumah ortunya di Magelang, Jawa Tengah.

Teman-teman Pos Kota Perwakilan Jawa Timur berangkat dengan tiga mobil. Mereka menginap di Hotel Safari.

Ivans yang kepala perwakilan bilang begini saat saya temui di hotel.

“Anda cari jodoh kok jauh amat, Mang. Sampe teman-teman semobil bilang ‘kok ga nyampe-nyampe sih’ ” Mungkin saking jauhnya.

Saya jawab: “Kan dapetnya dekat, tetangga sendiri… ”

Adakah puisi yang saya tulis untuk K? Tidak ada.

Saat K(ustantinah) ulang tahun, sekian bulan setelah “penembakan” itu, saya  beri “kado” se-bouquet bunga yang uang pembelian bouquet itu separuh hasil ngebon Mbak Retno Listyo  sekretaris perwakilan. Kemudian saya sertakan kartu nama saya dan saya tulisi: Selamat ultah. Semoga sukses.

(Gak puitis blas!).

Tetapi selama kami menikah 42 tahun, sudah ratusan puisi lahir dan dimuat di koran maupun di 7 buku antologi puisi bersama, serta 1 buku kumpulan puisi tunggal saya. Puisi tentang apa saja.@

Komentar
Komentar sepenuhnya tanggung jawab pribadi. Hindari penggunaan kata yang mengandung pelecehan, intimidasi, dan SARA.
Loading...